Part 7

1328 Words
Saat ini Alvian dan Ilena berada dalam mobil yang sama. Ilena sengaja menjemput Alvian ke kantor tanpa sopir, karena Ilena ingin membicarakan sesuatu yang sangat serius dengan Alvian. Selain itu Ilena tidak ingin gangguan dari mata-mata suaminya yang dua puluh empat jam selalu siaga mengawasinya. “Sekretaris Al, kau tahu masalah suamiku dan adik iparku?” Tiba-tiba Ilena bertanya seperti itu kepada Alvian. “Emm, saya tidak tahu Nyonya,” jawab Alvian. Jawaban Alvian tidaklah bohong, Alvian memang tidak tahu permasalahan antara atasannya dengan adik atasannya itu. Presdir Kim tidak terlalu terbuka kepadanya, Presdir Kim seakan membatasi dirinya dari orang lain termasuk ia sendiri. Ilena menaikkan sebelah alisnya, ia tidak sepenuhnya percaya dengan perkataan Alvian. Mana mungkin sekretaris kedua suaminya itu tidak mengetahui masalah inti seperti ini, padahal masalah ini ada kaitannya dengan perusahaan. “Kau tidak berbohong ‘kan, Sekretaris Al,” sindir Ilena. “Tidak Nyonya, saya tidak berbohong. Presdir Kim tidak pernah mengatakan kepada saya mengenai masalahnya dengan Nona Kim. Lagi pula saya orang baru, Presdir Kim belum sepenuhnya percaya kepada saya,” jelas Alvian. Ia berkata sejujur-jujurnya kepada istri atasannya itu. Ilena menelisik wajah Alvian mencoba mencari kebohongan dari ucapannya itu, namun ia tidak menemukan tanda-tanda Alvian gelisah atau semacamnya, wajah Alvian benar-benar terlihat sangat sungguh-sungguh. “Baiklah, aku anggap ucapanmu itu benar tidak bohong, karena jika kamu bohong, saya benar-benar kecewa sekali dengan kamu.” Alvian menghela napasnya lega. Jujur saja berdekatan dengan orang-orang yang berkaitan dengan Presdir Kim, membuat kesehatan jantungnya tidaklah baik-baik saja. Tatapan dan perkataan mereka sangat mengintimidasi Alvian yang hanya seorang upik abu. Apalagi mereka seperti menyembunyikan rahasianya masing-masing, dan sewaktu-waktu bisa mengancamnya. “Ya Allah, kenapa hamba harus berada di antara orang-orang seperti ini,” batin Alvian. Mungkin dulu Alvian akan merasa bangga bisa bekerja di Net-Lix Group, apalagi dapat bekerja di perusahaan pusat dengan jabatan sekretaris yang setiap harinya akan bertemu dengan orang-orang penting di dunia perbisnisan. Namun itu dulu sebelum Alvian tahu di balik layar sesungguhnya Net-Lix Group dan perusahaan besar lainnya. Jika Alvian tidak membutuhkan uang untuk melunasi hutang-hutang ayahnya, mungkin Alvian akan segera resign dari Net-Lix Group. “Sekretaris Al!” Alvian terkesiap. “Iya Nyonya?” “Apakah kau percaya jika Stefannie gila?” Alvian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, jujur ia bingung harus menjawab apa. Setelah melihat kondisi Stefannie tadi pagi, Alvian sempat ragu, apalagi setelah Stefannie mengatakan masalah perusahaan. “Hello, Sekretaris Al! Kenapa kau malah melamun?” Suara Ilena kembali menginterupsi. “Saya tidak tahu Nyonya, jujur saya merasa bingung,” jawab Alvian dengan jujur. Ilena tersenyum, sepertinya ada celah bagi Ilena untuk bisa bertemu dengan adik iparnya itu. “Stefannie tidak gila Alvian, dia sengaja dibuat gila oleh kakaknya.” Senyum miring tercetak jelas di bibir Ilena. Alvian jelas terkejut mendengar perkataan Ilena. Jadi mana yang benar? Ilena terkekeh geli melihat raut wajah Alvian yang menunjukkan rasa keterkejutan berlebihan. Satu fakta telah ia ungkap kepada Alvian. “Sebenarnya sejak lama aku ingin melihat kondisi Stefannie, namun suamiku tidak pernah mengizinkanku bertemu dengan Stefannie, bukan hanya aku saja sih, para petinggi Net-Lix Group lainnya juga tidak diizinkan bertemu dengannya. Entah apa yang tengah disembunyikan oleh suamiku tentang Stefannie, mungkin jika aku bertemu dengan Stefannie, aku akan tahu apa yang tengah direncanakan oleh suamiku.” Ah, sekarang Alvian mengerti. Ilena sedang membujuknya agar memberikan kunci pintu kamar Stefannie. “Jadi, apakah aku boleh bertemu dengan adik iparku?” Ilena menatap netra Alvian. Mencoba menampilkan raut wajah memohon agar Alvian luluh dan mengizinkannya bertemu dengan Stefannie. “Maafkan saya Nyonya, saya tidak bisa memberi izin karena Presdir Kim tidak memberi izin Nyonya bertemu dengan Nona Kim.” Alvian tidak boleh percaya dahulu kepada semua ucapan Ilena, bisa saja Ilena mengada-ada dan akan menyulitkannya nanti. Lagi pula ia dibayar oleh Presdir Kim, jadi sudah seharusnya ia mengabdi kepada Presdir Kim. Ilena mencengkeram erat setirnya. Sangat sulit sekali meluluhkan Alvian dan berbalik memihak kepadanya. **** Terdengar suara teriakan yang sangat nyaring dari dalam sebuah ruangan. “Kurang ajar! Kenapa kau tidak membuntuti istriku!” “Maafkan saya Presdir, tadi saya ke toilet sebentar. Sekembalinya saya dari toilet, Nyonya sudah tidak ada.” Brak! Sean menggebrak meja kerjanya. Ia kesal karena salah satu anak buahnya yang bertugas memata-matai Ilena malah lalai. “Cepat cari istriku. Jangan sampai dia bertindak lebih! Cepat lacak di mana istriku berada!” “Baik Presdir, saya akan segera melacak keberadaan Nyonya—“ Pip Tanpa repot-repot mendengar ucapan anak buahnya, Sean pun langsung mematikan sambungan teleponnya. “Ilena Sayang, kau tidak boleh ikut campur dengan masalahku,” gumam Sean sembari mencengkeram erat sisi meja kerjanya. **** Alvian melangkahkan kakinya menuju mansion bagian timur. Pikirannya mendadak kacau setelah terlibat dengan Stefannie. Entah kenapa Alvian sudah mempunyai firasat jika ia akan terseret dengan masalah Stefannie dan atasannya itu. “Selamat malam Sekretaris Al, apakah Anda ingin melihat Nona Kim?” Alvian tersenyum. “Iya Bibi Choi, saya ingin melihat Nona Kim.” Alvian pun melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti saat berpas-pasan dengan bibi Choi. Alvian menatap pintu besar di hadapannya. Entah kenapa Alvian sangat ingin sekali menemui Stefannie sekarang juga. Ceklek Alvian melihat Stefannie tengah melukis di dekat jendela. Bibir Alvian tersungging ke atas, di lihat dari samping saja Stefannie sungguh menawan. Aura sultan memang beda. “Aku sudah makan, beberapa menit yang lalu, bibi Choi membawa makan malam untukku,” ucap Stefannie. Netranya masih fokus pada lukisannya, sementara itu tangannya masih fokus menggenggam sebuah kuas. “I-iya.” Suasana di ruangan itu mendadak menjadi canggung, Alvian semakin yakin jika Stefannie tidaklah mengalami gangguan kejiwaan seperti apa yang dikatakan oleh Presdir Kim. “Kenapa? Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?” Lagi-lagi Alvian terkesiap. “Emm ... i-itu—“ Drt drt drt Alvian langsung merogoh ponselnya yang ia simpan di saku depan celana bahannya. “Papa?” Alvian pun langsung menekan ikon berwarna hijau di layar ponselnya. “Assalamualaikum, Pa.” “Waalaikumsalam, Nak. Kamu lagi sibuk enggak?” Alvian menoleh sebentar ke arah Stefannie yang terlihat asyik dengan kegiatannya, bahkan keberadaannya seperti tak terlihat di mata Stefannie. “Enggak Pa, Al baru aja pulang kerja. Ada Pa?” Alvian yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan keluarganya di Indonesia. “I-itu, tadi pagi pihak bank datang ke rumah mengambil motor adik kamu sebagai jaminan, katanya motor itu dibawa karena Papa masih kurang membayar cicilan untuk bulan ini.” Alvian menghela napasnya. “Oh, nanti AL bakal transfer uang buat beli lagi motor buat si adek.” Ya, Alvian akan mentransfer uang untuk membeli motor adiknya, Alvian tahu jika adiknya itu sangat membutuhkan motor untuk ia berangkat kuliah ke kampus, apalagi jaraknya yang bisa dibilang cukup jauh. “Tidak usah Nak, lebih baik uang itu simpan saja buat tambah-tambah bayar cicilan ke bank. Hutang kita masih banyak, uang yang baru masuk pun belum ada setengahnya dari hutang Papa pada bank.” Alvian tercenung selama beberapa saat. Hutangnya pada bank yang baru terbayar belum ada setengahnya, sementara itu waktu terus berjalan sangat cepat. Jika hanya mengandalkan uang dari gajian Alvian tentunya tidak akan cukup, mengingat biaya hidupnya di Seoul terbilang cukup mahal, belum lagi ia harus membiayai kuliah adiknya. “Ya sudah Nak, Papa tutup dulu teleponnya, sepertinya kamu kelelahan setelah seharian sibuk bekerja.” “Iya Pa, salam untuk mama dan adek." “Iya, nanti Papa sampaikan. Udah dulu ya, Nak.” “Iya Pa.” Pip Sambungan telepon pun terputus. Beban yang ditanggung oleh Alvian pun semakin besar. Dari mana Alvian harus mendapat uang yang sangat banyak untuk melunasi hutang-hutang ayahnya pada bank dalam waktu tiga bulan lagi. “Aku bisa membantumu melunasi hutang-hutang keluargamu.” Alvian mendongakkan wajahnya, netranya bertemu dengan netra cokelat milik Stefannie. “Katakanlah aku tidak sopan karena telah menguping pembicaraanmu dengan ayahmu. Aku akan membantumu melunasi hutang-hutang keluargamu pada bank, kebetulan aku mempunyai rekening rahasia yang jumlahnya sangat besar di luar negeri. Tapi tentunya itu tidak gratis, kau harus membantuku keluar dari sini dan membantuku merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD