Part 3

1146 Words
2 Minggu kemudian, Alvian mengancingkan kemejanya, lalu setelah itu Alvian menyisir rambutnya ke belakang hingga jidatnya terlihat. Kemarin Alvian mendapatkan panggilan interview dari perusahaan Net-Lix Group cabang Indonesia. Sepertinya direktur Net-Lix itu menepati janjinya untuk meloloskannya. Tok tok tok “Masuk!” Ceklek Mama Alvian tersenyum melihat putra sulungnya tampak ganteng dan rapi. “Ma.” “Anak Mama ini ganteng banget,” puji mama Alvian. Bibir Alvian berkedut membentuk sebuah senyuman. “Mama harap kamu keterima di Net-Lix Group dan betah kerja di sana,” ucap mama Alvian. “Aamiin, Ma.” Alvian mengaminkan ucapan mamanya. “Mama udah siapin sarapan buat kamu,” ucap mama Alvian. “Iya, Ma.” “Kalau gitu Mama mau pergi ke pasar dulu. Nanti kuncinya simpan di bawah keset,” pesan mama Alvian. “Iya, Ma.” Mama Alvian pun keluar dari kamar putra sulungnya. Tak berselang lama setelah mama Alvian pergi, Alvian pun keluar dari kamarnya. Alvian langsung berjalan menuju dapur, lalu membuka tudung saji. Dalam hati Alvian tersenyum, lebih tepatnya tersenyum miris melihat lauk pauk yang tersaji di meja makan. Di meja makan hanya ada telur balado, ikan asin, sayur sop, dan juga kerupuk. Tidak ada ayam, tidak ada daging sapi, atau pun makanan mewah lainnya, seperti makanan yang sering ia santap dan keluarganya sehari-hari sebelum keluarga mereka bangkrut. Namun Alvian tetap bersyukur walaupun hanya makan dengan lauk pauk sederhana, karena yang pasti ia dan keluarganya tetap bisa makan. Alvian pun makan dengan khidmat walaupun makan dengan lauk pauk seadanya. Hanya ada Alvian di sana, karena semua anggota keluarganya yang lain sudah berangkat—menjalankan aktivisnya masing-masing. Papanya sudah berangkat bekerja satu jam yang lalu. Kini Papa Alvian bekerja sebagai staff gudang di salah satu pabrik. Sementara itu, Airin sudah berangkat ke kampus pagi buta sekali karena menjadi panitia event yang dilaksanakan di kampusnya. Dan barusan mamanya pergi ke pasar membeli bahan makanan yang sudah habis. **** Alvian tampak gugup memandang sebuah gedung pencakar langit di hadapannya itu. Gedung yang sangat diinginkan oleh para pencari kerja sepertinya. Ribuan para pencari kerja yang berada di Jakarta dan luar Jakarta berlomba-lomba untuk bisa diterima di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia itu. Selain karena gajinya sangat besar, fasilitas yang diberikan perusahaan kepada para karyawannya sangat memuaskan. Trip luar negeri tiap tahun, THR, bonus tahunan, Mess bagi karyawan dari luar Jakarta, kendaraan inventaris bagi para pemegang jabatan tinggi perusahaan, dan terakhir adalah fasilitas kantor yang tidak akan mengecewakan karyawannya. “Permisi Mbak, saya Alvian Mahendra. Saya diundang oleh Bapak Yanuar untuk menjalani interview,” ucap Alvian pada resepsionis. “Tunggu sebentar ya, Mas,” balas resepsionis itu dengan ramahnya. Resepsionis itu tampak menghubungi seseorang, mungkin sedang menghubungi pak Yanuar untuk mengkonfirmasi kehadirannya. “Sebentar Mas, Pak Yanuar akan segera turun ke sini. Mas boleh duduk di kursi tunggu,” ucap resepsionis itu sembari menunjuk sebuah sofa yang berada tak jauh dari meja resepsionis. “Baik, Mbak.” Alvian pun duduk di sofa itu, menunggu pak Yanuar yang akan turun menemuinya. Namun dalam hati Alvian bertanya-tanya, kenapa pak Yanuar—direktur Net-Lix Group datang menghampirinya? Bukannya seharusnya ia yang menghampirinya di ruangannya, ya? Tak berselang lama pak Yanuar datang. Ia berjalan menghampiri Alvian yang sedang berkutat dengan keheranannya. “Selamat pagi, Mas Alvian,” sapa pak Yanuar dengan ramahnya. “Selamat pagi, Pak,” balas Alvian yang tak kalah ramahnya. Pak Yanuar pun langsung menyuruh Alvian untuk mengikutinya. **** Lift berhenti di lantai paling atas gedung Net-Lix Group. Alvian dan pak Yanuar keluar dari dalam lift tersebut dan berjalan menuju sebuah ruangan yang tampaknya sangat besar. Alvian melihat pak Yanuar berbicara pada seorang laki-laki berwajah oriental. “Mas Alvian.” Alvian terkesiap mendapat panggilan dari pak Yanuar. “Iya, Pak?” “Mas masuk aja ke dalam, di dalam sudah ada seseorang yang akan menginterview Mas. Mas ikut dengan Mr. Min Dae Joon,” ucap pak Yanuar. Alvian mengerutkan keningnya, tapi tak urung menuruti perintah pak Yanuar. Seorang pria berwajah oriental itu pun menyuruh Alvian mengikuti langkahnya. Entah kenapa Alvian merasakan deg degan. Ceklek Mata Alvian terbelalak melihat seorang pria yang tengah duduk di kursinya. Alvian mengenal pria itu, pria itu adalah— “Mr. Alvian Mahendra?” Alvian terkesiap, ia pun berjalan mendekat ke arah sosok pria itu, CEO utama Net-Lix Group. “Silakan duduk!” titah Seano Anatama Kim, CEO utama Net-Lix Group. Alvian pun mengangguk, ia duduk di kursi yang sudah disediakan. Alvian sangat gugup sekali, tubuhnya bahkan sampai keringatan karena saking gugupnya. Ayolah siapa yang tidak akan gugup berhadapan dengan seseorang yang paling berpengaruh di dalam dunia perbisnisan. “Kamu saya terima menjadi sekretaris kedua saya!” Eh? Alvian terkesiap. Apa katanya tadi, diterima? Sean yang melihat wajah kebingungan yang tampak dari wajah Alvian pun terkekeh geli. “Tidak ada interview, kamu saya langsung terima bekerja sebagai sekretaris kedua saya. Tapi sebelum itu, kamu akan saya training selama satu Minggu.” Alvian mengerjap. Apakah segampang itu masuk ke Net-Lix Group? Sean menghela napasnya melihat Alvian yang masih kebingungan. “Saya langsung terima kamu, karena saya sudah menyelidiki latar belakang kamu. Kamu adalah salah satu kriteria calon sekretaris saya. Selain karena latar belakang kamu yang sangat bagus, kamu juga sudah berjasa menyelamatkan salah satu bawahan saya yang sedang membawa file penting perusahaan,” jelas Sean. Alvian mengangguk. Sekarang ia paham kenapa CEO utama Net-Lix Group itu langsung menerimanya, ternyata Presdir Kim sudah menyelidiki latar belakangnya secara diam-diam. Harusnya Alvian tahu itu. “Baiklah, training akan dimulai hari ini sampai enam hari ke depan. Jika kinerja kamu tidak sesuai dengan saya inginkan, kamu tidak jadi menjadi sekretaris kedua saya. Tapi jangan khawatir, walaupun kamu tidak jadi menjadi sekretaris kedua saya, kamu tetap akan bekerja di Net-Lix Group.” “Baik, Presdir.” **** 1 Minggu kemudian, “Nak, jaga diri kamu selama di Korea. Mama dan Papa akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu,” pesan mama Alvian. “Iya, Ma. Mama sama Papa enggak usah khawatir, Al ‘kan sudah terbiasa hidup jauh dengan keluarga.” Mama dan papa Alvian pun terkekeh geli mendengar perkataan Alvian. Ya, memang benar sih mereka tidak usah khawatir karena Alvian sudah terbiasa hidup mandiri. “Sekretaris Al, Anda sudah ditunggu Presdir dan sekretaris Min,” ucap salah satu pengawal Sean. Alvian pun mengangguk. “Ma, Pa, Al pergi dulu. Al janji akan sering kirim uang ke kalian dan bantu ngelunasin hutang-hutang Papa,” pamit Alvian. “Iya, Nak. Ingat pesan Mama dan Papa,” balas Papa Alvian. “Iya, Pa.” Alvian pun pergi menghampiri kedua atasannya yang sudah menunggunya. “Sudah?” Alvian mengangguk. “Sudah, Presdir.” Alvian pun berjalan di belakang Sean dan sekretaris Min, masuk ke dalam jet pribadi milik CEO utama Net-Lix Group itu. Setelah menjalani training selama satu Minggu, akhirnya Alvian berhasil diterima menjadi sekretaris kedua Presdir Kim, dan akan ikut beliau ke Seoul yang mana perusahaan inti Net-Lix Group berpusat di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD