Last Day

1053 Words
“Itu ‘kan mau ngomongin kita, cuma jalannya aja belok dulu,” balasku cuek. “Udah jangan ngomongin itu,” ucapnya kesal. Aku tertawa dan sepertinya pertanyaan tadi tak membutuhkan jawaban. Aldar beranjak dan langsung beraksi dengan kamera. Yes! Selamat aku kali ini. “Kesh! Pindah ke sana! Bagus banget viewnya,” serunya, lalu aku menuruti ucapannya dan berpose asal-asalan. Kadang Aldar menyeting kamera dan mengambil gambar kami berdua dengan bantuan tripod. “Aldar ... kita turunnya gimana ini?” ucapku setelah puas menikmati suasana puncak. “Ya jalanlah,” ucapnya enteng, dalam hati aku berharap digendong lagi. “Kenapa? Minta digendong lagi ya?” katanya sambil menyentil pelan topi ini. “Iya, tentu saja, of course,” jawabku tegas tanpa tedeng aling-aling. “Huh ... ya nanti kalau capek lagi kugendong,” ucapnya nyerah setelah menghela napas panjang. Beberapa saat kemudian kaki ini sudah mencapai campervan dan rumah berjalan ini sudah bergerak menuju destinasi berikutnya yang hanya beberapa menit dari tempat semula. “Kamu gak capek ya ... hei! Aldar!” seruku sambil memperhatikan laki-laki yang sedang menghidupkan gas dan perlistrikan untuk keperluan malam ini. “Bentar lagi selesai,” ucapnya lalu laki-laki itu mengelilingi campervan seperti biasa untuk memastikan semuanya oke. Langit mulai mendung dan angin mulai bertiup kencang, udara tambah menggigit. Beberapa menit kemudian laki-laki ini sudah berada di dalam campervan. “Makan apa kita hari ini, Sayang?” serunya ketika keluar dari kamar mandi. “Semua makanan yang dipanasin di microwave,” jawabku. “Capek ya, perasaan tadi banyak digendong,” ucapnya mengomentari makanan cepat saji yang terhidang di meja. “Tetap aja pegel kaki ini, Tuan Muda ...,” ucapku mengatakan kondisi yang sesungguhnya. Aldar hanya tertawa dan langsung membuka kotak-kotak itu lalu memasukkan makanan ke mulut dalam suapan yang besar-besar. Aku meninggalkan meja begitu makananku habis. “Aldar ... masukin ke kantong saja ya kotak makanan itu,” ucapku sambil bergerak ke bagian belakang campervan ini yang merupakan tempat tidur yang cukup luas. Diluar cuaca tak mendukung, angin laut kencang sekali dan menerpa mobil ini hingga bergetar. Hujan deras ikut serta mendukung kebisingan angin. “Minus berapa derajat sih ini?” ucapku sambil menggigil kedinginan, padahal pemanas ruangan sudah dinyalakan. “Minus banyak,” jawab Aldar enteng, padahal matanya sudah melihat layar penunjuk temperatur. “Jadi hari ini suhu udara minus banyak celcius, gitu? Sebuah berita yang tak memberitakan,” ucapku sambil mengintip jendela. Di luar gelap sekali, tak tampak selarik cahaya pun menerangi daerah ini, seram. “Bilang saja kalau mau dipeluk,” balas Aldar sambil duduk di sampingku lalu menarik selimut. “Kenapa bagianku jadi sedikit?” protesku ketika bagian selimut ini lebih banyak ke arahnya dan kalimatnya barusan tak kupedulikan. Aldar tertawa. “’Kan katanya mau dipeluk,” ucap Aldar sambil memelukku. “Siapa yang bilang begitu?” protesku sambil menarik kembali selimut ke posisi semula. “Ini,” ujarnya sambil menggambar sesuatu di kaca yang berembun. “Siapa? Gambar siapa? Gambar apa?” ucapku sambil mencoba menerka gambar tak berbentuk itu. “Hahaha,” tawaku pecah ketika gambar tak jelas itu adalah gambar singa laut yang sedang tidur di jalan. “Nggak ya, enak aja,” ucapku setelah tawaku selesai, tapi malam ini, dengan cuaca ekstrim ini, berada di pelukannya, terasa sangat menyenangkan. Waktu memang berlari kencang, bahkan perpanjangan satu setengah bulan ini sudah hampir terlalui. Malam ini malam terakhir di campervan. “Kesh ... gimana kalau Kamu ikut aku saja?” ucap Aldar sambil minum dan meluruskan kaki di kursi tengah. “Ke?” jawabku pendek, tangan ini sibuk mengemas dan membereskan barang-barang di tempat-tempat penyimpanan mobil ini. “Ke mana aja, nanti biar diupayakan em ... diatur semua,” jawabnya sambil berjalan ke arahku. “Dari jawaban itu menunjukan bahwa Bapak Aldar belum memiliki konsep Hidup Bersama selamanya,” jawabku dengan suara pelan. “Kesh!” ucap Aldar sambil mengambil sedikit rambut, lalu memutar-mutarnya dengan satu jari. “Ihh!” ucapku sambil berpindah ke belakangnya dan mendorong laki-laki ini hingga jatuh ke kasur di bagian paling ujung mobil ini. “Kesh ...,” keluhnya panjang, lalu mengambil bantal memeluknya sambil berbaring miring. Benar-benar ... laki-laki yang bersamaku itu mirip dengan anak kecil yang sedang merajuk. Aku melanjutkan membereskan semua. “Andai ...andai saja semuanya mungkin ... Aldar,” bisikku dalam hati. Pagi tiba dan sesuai jadwal siang ini campervan penuh kenangan ini harus dikembalikan ke tempat penyewaan. Camperground yang memiliki berbagai fasilitas ini menjadi tempat untuk mengembalikan rumah berjalan ini seperti keadaan seperti ketika dipinjam. Aldar sibuk membuang grey water, black water, mengisi fresh water, mengisi bahan bakar dan lain-lain. “Semangat Aldar!” teriakku sambil duduk dan menikmati snack. Dengan bantuan tripod, aku mengabadikan kesibukannya ini. “Oh!” seruku perlahan mendadak ada rasa perih yang menyeruak dalam hati. Sebentar lagi aku akan bangun dari mimpi dan berpisah dengan laki-laki ini. “Kamu nggak bisa bantuin aku, Kesh?” serunya sambil masih sibuk dengan kegiatannya. “Nggak!” balasku kencang. Aku tertawa ketika melihatnya menghela napas lalu bahunya terlihat bergerak turun. “Kamu tetap ganteng walaupun begitu Aldar!” teriakku sambil mengacungkan jempol. Aldar membesarkan mata dengan ekspresi marah buatan, aku kembali tertawa. Pengembalian campervan tidak membutuhkan waktu lama. Setelah itu, kami kembali ke tempat menginap di hari pertama kali datang ke negara ini. “Kembali ke kehidupan normal setelah hidup di campervan yang indah,” keluh Aldar sambil merebahkan badan ke kasur super empuk yang nyaman ini. Ini mungkin kehidupan yang normal baginya tetapi bukan untukku. “Kesh ... sini!” teriaknya seperti biasa. Harusnya aku bahagia, kesepakatan ini besok berakhir, tetapi entah rasa nyeri kembali muncul kepermukaan. “Teriakan yang kemarin terasa menyebalkan ini besok nggak akan terdengar lagi,” gumanku pelan. “Apa Kesh?” ucap Aldar yang mungkin melihat bibirku bergerak-gerak tanpa suara. “Lagi baca mantra,” jawabku cuek. Laki-laki yang sedang berbaring sambil bersandarkan tumpukan bantal itu tertawa terbahak-bahak. “Ya udah, tuh mantra dibaca di dekatku saja,” ucapnya sambil menepuk kasur di sebelahnya. “Sini Kesh!” Kembali perintah yang tidak boleh ditolak itu terdengar. “Nggak mau,” seruku sambil tetap berada di tempatku berdiri. “Kesh!” seru Aldar sambil beranjak dan dalam beberapa detik langsung menangkap dan menarikku. “Ikut aku ya Kesh!” bisiknya sambil meletakkan tubuhku di tempat yang tadi ia tunjuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD