Mungkinkah Hidup Bersama Selamanya?

1028 Words
“Haduh ... apa lagi sih ...?” jawabku tanpa menghentikan gerakan tangan, walaupun Aldar membantu mencuci piring masih ada bekal makan siang yang harus disiapkan. “Ya kayak gini, berdua, selamanya,” jelasnya sambil menghentikan gerakan tangannya dan tambah mendekat ke arahku. “Mau, kalau kamu punya mata air emas,” balasku sambil melirik. “Kenapa harus mata air emas, sepertinya Kamu bukan tipe matre stadium akhir,” ucapnya sambil melingkarkan kedua tangan ke pinggang ini. “Hei Bapak Aldar ... tolong ya, hidup seperti ini juga butuh biaya banyak,” ucapku pelan. “Tanpa memiliki mata ar itu, sepertinya aku masih bisa melanjutkan hidup seperti ini, bener deh, aku akan berusaha dan berjuang,” bujuknya sambil mempererat pelukan dan meletakkan kepala tepat di atas ubun-ubunku. “Jadi tracking gak sih?” ucapku pelan sambil menghentikan gerakan tangan di depan kompor ini. “Ya, jadi dong,” jawabnya yakin. “Ya sudah sana siap-siap! Udah belum mandi, peluk-peluk lagi,” omelku sambil mencubit tangannya. Laki-laki ini pergi setelah lebih dulu memainkan rambut ini dengan mengacak-acaknya. “Huh ... untunglah pertanyaan itu teralihkan,” gumanku pelan. Campervan ini kembali bergerak menuju sebuah gunung yang akan kami jelajahi. “Woi! Woi! Kesh! Marakesh!” teriak Aldar tiba-tiba. Aku yang berada di sebelah kursi kemudi sambil memegang kamera otomatis menoleh. Mobil berhenti dan sopir ini menjulurkan kepala ke luar sambil melanjutkan teriakan yang sama. “Siapa yang dipanggil dengan namaku?” kataku sambil berusaha mengintip lewat celah kosong. “Lihat! Mirip kamu, kan?” ucapnya sambil kembali bersandar di kursi kemudi. “Hah! Apanya yang mirip?” protesku ketika di seberang jalan terlihat satu singa laut yang sedang berbaring dan mengeliat-liatkan badan. “Enak aja!” teriakku sewot. “Hahaha ..., itu Kamu kalau marah mirip kayak gitu, lucu banget ‘kan?” balasnya dengan ekspresi wajah riang tanpa dosa. “Teori apa yang diterapkan untuk pengambilan penyerupaan itu? Ah! Kok nggak ada binatang lain yang muncul yang bisa kupanggil dengan namamu ya?” ujarku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk balas dendam. Aldar tertawa melihat keinginanku. “Oke, bye Marakesh ... see you ... love you ...,” teriaknya sambil melambaikan tangan lalu menjalankan mesin campervan ini. “Ihh! Gak masuk akal banget,” protesku yang dibalas dengan tawa kemenangannya. Tiga puluh menit kemudian campervan ini berhenti di camperside dan kami berdua melanjutkan kegiatan tracking yang sudah kami rencanakan. Gunung ini memang tidak setinggi gunung-gunung di negara sendiri yang tingginya bisa mencapai ribuan kilometer. Tetapi, yang tidak mencapai ribuan kilometer ini pun cukup membuat simpanan tenaga ini hampir habis. “A-Al-dar,” seruku sambil terengah-engah pada laki-laki yang beberapa meter lebih jaraknya di depanku. “Panggil sayang dong,” protesnya setelah menghentikan langkah dan tersenyum lebar. “Ya ampun ... di saat-saat seperti ini masih juga modus,” balasku sambil berkacak pinggang, lalu berjongkok di jalan kecil yang sebagian permukaannya tertutup salju. “Lo? Kapan lagi?” jawabnya sambil terkekeh. “Aku sampai sini aja, sana naiklah sendiri!” seruku sambil tetep jongkok dan mencoba kembali memasukkan pasokan oksigen yang terasa berkurang. Aldar tertawa sambil mendekat dan ikut jongkok di depanku. “Terus nanti aku merayakan kesuksesan di puncak sendiri gitu?” ujarnya sambil tersenyum menyeringai. “Ya gak papa, direkam saja suasana puncak itu, biar nanti kulihat. Bener deh ... capek banget aku,” kataku memberi alasan. “Nanti kupijat kalau capek, kayak kemarin-kemarin,” bujuknya sambil mencoba membuatku berdiri. “Pijat apaan, pertamanya aja pijat, ujung-ujungnya gak jelas,” sanggahku sambil berusaha menolak tarikannya untuk berdiri. “Hahaha ... gimana lagi, istriku ‘kan cuma Kamu Kesh,” ucapnya sambil tergelak. Aldar kembali berjongkok dan berbalik lalu memindahkan tas punggungnya ke depan. “Sini kugendong,” ucapnya setelah meletakkan kedua tanganku di bahunya. Kini aku berada dalam gendongannya. “Tenagamu dari mana sih?” ucapku sambil menikmati transportasi tenaga manusia ini. “Dari singa laut tadi, tenaganya aku serap,” jawabnya enteng. “Ihh mulai kambuh deh penyakit halusinasi,” balasku sambil tersenyum, untung saja ia tidak melihat raut wajahku. Beberapa menit kemudian, setelah kadang digendong dan kadang berjalan kaki, sampailah kami di puncak gunung yang ternyata sebagian tertutup salju ini. “Wah! Indah banget ...,” seruku takjub. “Tuh ‘kan, bisa menyesal Kamu kalau gak sampai sini,” ucapnya sambil mengusap kepala ini, untung saja aku pakai topi hingga rambut ini selamat dari kondisi awut-awutan. “Ya, makasih ya, alat transportasi darat,” ucapku cuek. “Ye ... enak aja, transportasi darat pula katanya,” protes Aldar sambil menarik bahuku merapat ke tubuhnya, aku tertawa melihat kekesalannya, sepertinya peristiwa singa laut itu terbalaskan. Aldar membawaku duduk untuk menikmati keindahan alam, tak lupa menyikat bekal makan siang yang sudah disiapkan. “Jadi apa jawabannya?” ucap Aldar setelah semua bekal tandas. “Emang pertanyaannya apa?” jawabku pura-pura gak tahu. “Pertanyaan yang Kamu hindari jawabannya,” terangnya. “Ya yang mana? Pertanyaanmu ‘kan banyak,” kilahku tak mau kalah. “Hidup bersama selamanya,” ucapnya setelah membuka bagian samping topi wol ini dan mendekatkan mulutnya ke kuping. “Perlu sedekat itu? Aku ‘kan gak budeg ...,” protesku sambil menarik kepala agar jauh. “Makanya kalau ada pertanyaan itu langsung dijawab bukannya muter-muter,” rajuknya lalu memonyongkan mulut. “Bener deh kayak anak-anak,” komentarku pada bentuk wajahnya kini. “Kesh!” serunya geram. “Iya, bentar aku mikir dulu,” ucapku mengulur waktu. Sedetik kemudian terbayang wajah-wajah para tamu di resepsi pernikahan terbatas beberapa saat lalu yang ekspresi wajahnya seperti para juri pengadilan. “Em hidup bersama selamanya ya? Em ... tamu-tamu itu siapa?” ucapku, berharap laki-laki ini mengerti apa yang terbayang di pikiranku ketika menyebut frasa bersama selamanya itu. “Huh ...,” seru Aldar lalu mengembuskan napas hingga serupa asap keluar dari mulutnya karena cuaca dingin. Laki-laki ini diam sejenak, tentu sekarang dia tahu ada jarak membentang di luar apa yang dialami sekarang. Dunia yang benar-benar tidak bersinggunggan, terpisah dan sulit disatukan. “Jadi, siapa mereka?” kejarku merasa punya peluang untuk menghindar. “Kenapa harus membicarakan mereka? Di sini membicarakan kita saja!” ucapnya sewot. Aku perpikir, mungkin saja ... em apakah pernikahan ini adalah pernikahan rahasia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD