PART 8 | Queen Mengasingkan Diri

2493 Words
Mansion Alexander's | London, UK,. Beberapa hari kemudian,. Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak terasa jika sudah beberapa hari telah berlalu sejak malam dimana Queen memeriksa rekaman CCTV waktu lalu. Sampai saat ini, belum ada perubahan yang berarti dalam kesehariannya. Queen masih tampak murung dan terus mengurung diri didalam kamarnya. Sehingga hal itu membuat kedua orang tua dan keluarga yang lain terus mengkhawatirkannya. Bahkan, Queen tidak dibiarkan tidur sendiri karena mereka takut jika Queen akan kembali menyakiti dirinya sendiri. Bukan hanya rasa sedih yang membuat Queen seperti ini, tapi juga malu. Dia malu bertemu dengan orang-orang yang dia pikir akan mencibirnya. "Kasihan sekali dia, belum dinikahi tapi sudah dikhianati." "Mungkin dia kurang menarik, makanya calon suaminya mencari hiburan lain." Kalimat-kalimat seperti itu mulai dia pikirkan. Padahal, sampai saat ini pun, Queen belum pernah mendengar bisikan-bisikan yang tidak mengenakan dari orang lain seperti apa yang ada dalam bayangannya, tapi dia sudah panik memikirkan hal tersebut. Karena rasa khawatirnya yang berlebihan seperti itu, Akhirnya Queen membuat keputusan yang akan dibicarakannya dengan orang tua dan keluarganya hari ini. Bahkan mereka semua sudah berkumpul di dalam kamar Queen yang luas. "Nak? Apa yang ingin kau sampaikan pada kami, hmm?" tanya Kayla sambil mengusap pelan sisi wajah putrinya. Sedangkan Queen, dia menatap wajah sang Mama, Kayla lalu kemudian menatap papanya, Marchell. "Tolong izinkan aku untuk ikut tinggal dengan Kak El di Indonesia, Ma, Pa," ujar Queen dengan suara bergetar. Deg! Sejenak, mereka tertegun terutama Marchell dan Al. Sementara El, pria itu hanya diam saja membiarkan adiknya mengungkapkan keinginannya. "Sayang?" panggil Kayla, pelan. Queen tahu akan kekhawatiran mamanya. "Aku tahu, Ma. Disana, aku juga pernah mengalami hal buruk, tapi aku juga tidak bisa tinggal disini untuk sementara waktu. Tolong izinkan aku, Ma, Pa. Aku mohon?" Queen mengiba pada kedua orang tuanya. Sungguh dia tidak akan sanggup tinggal di London setelah apa yang sudah menimpanya. Kabar pernikahannya sudah menyebar kemana-mana, bahkan juga kabar buruk itu. Lalu, bagaimana bisa dia tinggal ditempat yang hanya akan membuatnya malu? "Sayang, dengarkan Papa," kali ini, Marchell mulai membuka suara. Queen mendongak saat melihat papanya mulai mendudukan diri di dekatnya. "Kalau kamu tidak merasa nyaman disini, kita bisa pindah, Nak. Mungkin kita akan tinggal di tempat lain, seperti New York, mungkin?" ujar Marchell, perlahan. Queen menggeleng pelan saat mendengar saran papanya. "Tidak, Pa. Kalian tetaplah disini. Lagipula aku hanya akan sementara disana. Aku ingin menenangkan diriku, Pa. Biarkan Kak El membawaku. Secepatnya," ucap Queen dengan suara bergetar. Sejenak, mereka semua saling melempar pandangan. Sepertinya tidak ada cara lain, selain memberi izin pada Queen. Mereka juga tidak ingin jika Queen sampai kenapa-kenapa. Apalagi berbuat nekat seperti waktu lalu. Sejenak, Marchell berusaha meredam rasa sesak dalam dadanya. Demi Tuhan, sebenarnya Marchell tidak ingin jika sang putri harus kembali menginjakkan kaki di Negara itu. Marchell tidak rela. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Memaksa putrinya? Lalu perempuan itu akan kembali melukai dirinya sendiri? Tidak! Marchell tidak sanggup jika kembali dihadapkan dengan kejadian seperti itu. Kali ini, dia memang harus benar-benar mengalah. "Baiklah … tapi berjanjilah sama Papa dan kami semua kalau kau akan baik-baik saja disana, hmm? Jangan paksakan dirimu, Nak. Jika ada hal lain yang mengusikmu disana, segera hubungi Papa, hmm?” Queen lekas mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Dia merasakan usapan lembut tangan sang Papa pada sebelah pipinya. “Kak El akan menjaga Queen, Pa. Queen akan baik-baik saja disana,” ujarnya berusaha meyakinkan sang Papa. “Janji sama Papa, Queen?” lagi, Marchell kembali menagih putrinya. "Aku berjanji, Pa. Lagipula, aku juga ingin membantu Kak El di perusahaan seperti rencana awalku yang ingin membantu Kak Al disini," ujar Queen. Marchell mengangguk tapi tidak dengan Kayla. Wanita paruh baya itu tidak kuasa menahan sesak di dadanya. Bahkan air matanya mulai menetes. Kayla tidak bisa menerima keputusan sang putri yang akan meninggalkannya. Kayla hendak beranjak, namun pergerakannya tersebut turut disadari oleh putrinya. “Mama … Ma…,” Queen merangkak di atas ranjangnya demi bisa menjangkau tubuh sang Mama. Berhasil, Queen merengkuhnya dari belakang. Kayla terisak, bahkan kedua bahunya mulai bergetar hebat. Wanita paruh baya itu menangis. Bahkan, Marchell, pria paruh baya itu turut melempar pandangannya ke arah lain. Sungguh, pemandangan di depannya ini, seakan menyayat hatinya. “Mama tidak bisa seperti ini, Queen. Ini tidak adil untuk Mama.” ujar Kayla disela isak tangisnya. “Queen hanya akan sebentar, Ma. Queen tidak akan lama. Tolong jangan seperti ini. Tolong bantu Queen, Ma,” ujar Queen masih dengan posisi memeluk erat tubuh sang Mama dari belakang. Bahkan, dia juga menangis, sama seperti Mamanya. ‘Aku benar-benar tidak berguna. Adikku menderita dan aku tidak bisa berbuat apa-apa! Kau memang bodoh, Al! Bodoh!’ batin Al dengan kedua matanya yang sudah memerah. Pria itu tidak kuasa jika harus berlama-lama di dalam kamar itu. Al memilih keluar tanpa menghiraukan panggilan dari ketiga lansia itu. Sedangkan El, dia tetap disana bersama yang lainnya. “Mama, please?” Queen kembali bergumam. Hingga pada akhirnya, Kayla memutar tubuhnya dan menatap wajah basah sang putri. Kayla mengusap pelan airmata putrinya, lalu dia mengecup lembut keningnya. “Kamu akan ninggalin Mama disini, Nak?” Queen menggeleng pelan. “Hanya sebentar, Ma. Queen janji.” balas Queen terdengar lirih. “Lalu bagaimana jika Mama merindukanmu? Kami semua pasti akan merindukanmu, sayang. Kamu tidak memikirkan bagaimana dengan kami disini?” tanya Kayla masih berusaha menahan putrinya. “Mama bisa kunjui Queen kesana. Kalian bisa sering-sering kesana, Ma. Ya, kan Pa?” tanya Queen sambil melirik ke arah sang Papa, Marchell. Pria paruh baya itu lekas mengusap asal sudut matanya, kemudian menjawab pertanyaan sang putri. “Yeah. Tentu, sayang. Kami akan kesana. Seminggu sekali,” ujar Marchell terdengar berlebihan. Namun tak ada satupun orang yang mengeluarkan protesnya. Mendengar jawaban dari sang Papa, Queen kembali menatap wajah Mamanya. “Tolong izinkan Queen, Ma,” Kayla tidak kuasa, bahkan kedua netranya terus mengeluarkan cairan bening itu. Kayla menarik pelan tubuh putrinya dan membawa masuk kedalam pelukan hangatnya. “Iya … Mama mengizinkanmu, Nak.” gumam Kayla sambil mendekap erat tubuh putrinya. Keduanya pun menangis. Queen membenamkan wajahnya dalam pelukan sang Mama. Yah! Queen menyerah, setelah tiga tahun dia tidak menginjakan kakinya di tanah kelahiran mamanya, Kayla, akhirnya dia memutuskan untuk kembali. Sebelum Queen menyatakan keputusannya pada mereka semua, dia sudah lebih dulu memikirkan semua resikonya. Tidak mudah baginya, tapi Queen harus melakukannya. Kembalinya Queen ke Indonesia, itu artinya jika dia akan kembali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang sudah Queen hindari selama tiga tahun belakangan ini dan satu-satunya lelaki yang tidak ingin ditemui seumur hidupnya. Namun, dengan dirinya mengambil keputusan tersebut membuat semua kemungkinan bisa saja terjadi. Tapi, bagi Queen tidak mengapa, dia lelah jika terus menghindari seperti ini dan akan lebih baik jika dia memberanikan diri untuk menghadapinya. 'Aku ingin menenangkan diriku, bukan untuk bertemu dengannya' batin Queen dalam diam. … Sedangkan tempat lain, Al duduk diatas kursi kebesarannya. Pria itu menatap tajam pada pria yang saat ini duduk di hadapannya. Dia adalah Randy. “Hubungi Andreas! Katakan, aku menginginkan Liam secepatnya, Randy!” ujarnya dengan intonasi yang mulai meninggi. Randy mengangkat pandangannya, lalu lekas membalas ucapan Tuannya. “Saya sudah menghubunginya, Tuan. Dan Tuan Andreas pun masih belum bisa menemukan jejaknya. Tuan…,” Braakkkkk! “Kemana dia!!! Siapa yang sudah berani menyembunyikannya, huh!!” teriak Al sehingga tak ayal mmbuat Randy sedikit tersentak. “Aku tidak mau tahu, Ran. Aku memberimu waktu satu minggu untuk bisa membawa pria itu ke hadapanku! Kalau tidak, kau akan tahu sendiri akibatnya!” ujar Al sambil beranjak dari kursinya. Pria itu melangkah lebar keluar dari ruangannya. Sementara Randy, dia hanya mampu menghela nafas. Bingung mau cari Liam kemana. Pasalnya, dia sudah mencari ke berbagai macam tempat, bahkan ke Negara lain. Tapi Liam menghilang bagaikan ditelan bumi. Jangankan dirinya, bahkan Andreas selaku ketua mafia sekalipun tidak dapat menemukan Liam. ‘Aneh, sepertinya dia disembunyikan oleh orang tidak biasa.’ batin Randy dalam diam. … Kediaman Margatama | Jakarta, Indonesia,. Ruang kerja Daren,. Pria paruh baya itu duduk diatas kursi kerjanya. Daren tidak sendiri melainkan saat ini dia sedang bersama dengan Ferdy, sang asistennya yang masih setia bersamanya sampai saat ini. “Saya sudah mengeceknya, Tuan. Pada saat acara Nona Queen, Davien memang sedang berada di New Zealand. Dan bahkan dia sedang berada di mansion Blaxton pada saat itu.” ucap Ferdy. “Kau sudah benar-benar memastikannya, Fer?” tanya Daren. “Saya sudah mengeceknya berkali-kali, Tuan. Bahkan saya juga bertanya pada Jordhan. Dan memang benar, Davien berada disana dan tidak keluar mansion sama sekali. Dia bersama Morgan." ‘Davien dan Morgan. Hahh … kedua pria itu memang sulit ditebak. Apa mungkin Jordhan telah dikelabui oleh mereka?’ batin Daren masih sulit percaya. “Baiklah. Mungkin memang benar, jika Davien tidak terlibat. Terimakasih Fer” Ferdy mengangguk. “Sama-sama, Tuan” … Margatama corporation,. Ruang kerja Davien,. Davien duduk sambil menyandarkan punggung lebarnya pada sandaran kursi kebesarannya dengan kedua kakinya yang memanjang di atas meja kerjanya. Tak berselang lama, Davien melepaskan earphone di telinga kanannya dan meletak benda tersebut diatas meja. Sejenak, pria ini mulai mengeluarkan smirknya saat mendengar percakapan sang Daddy, Daren dengan asistennya. Ferdy. “Hah...! Sayang sekali, Dad. Kenapa kau tidak memilih untuk beristirahat saja. Atau mungkin menghabiskan waktu bahagiamu bersama Mommy ku yang sangat cantik itu, dari pada kau harus repot-repot seperti ini," gumamnya dengan seringai licik di wajahnya. “Aku jadi merasa bersalah dan berdosa karena telah menyibukkan kalian para orang tua," “Tapi mau bagaimana lagi, Dad. Sahabatmu yang salah. Dia tidak mau memberiku kesempatan sedikitpun. Calon mertuaku itu, memang sedikit menyebalkan" gumamnya yang ditujukan pada Marchell. “Papa Marchell... Papa Marchell. Aku begitu sangat merindukanmu, calon papa mertua," Davien terkekeh pelan. Selang beberapa saat, Davien kembali mengingat akan kejadian satu bulan yang lalu. Dimana saat dia mendengar kabar jika Queen telah memutuskan untuk menikah dengan pria yang bernama Liam Orlando. Davien sempat ingin menemui pria paruh baya itu, namun Marchell menolaknya. Tetapi, demi memperjuangkan gadis yang dia cintai, Davien kembali berusaha untuk menghubungi Marchell lewat panggilan telepon … Satu bulan yang lalu,. “Untuk apa kau menghubungiku, Davien?!" Davien mendengar jelas nada sinis Marchell diseberang telepon. Tapi, hal itu tidak membuatnya berkecil hati. Demi Queen, dia akan menerima apapun dan juga akan melakukan apapun. “Sebelumnya aku minta maaf karena harus menghubungimu seperti ini. Aku sudah berusaha untuk menemuimu, tapi kau menolakku, Pa," ujar Davien sambil memegang benda pipih itu di telinga kanannya. Ponsel. “Tidak perlu memanggilku Papa! Aku tidak sudi mendengarnya!" “Tapi aku merasa perlu, Pa. Aku tidak bisa mengubah kebiasaanku. Jadi aku minta maaf jika tidak bisa menuruti keinginanmu untuk yang kesekian kalinya," “Berhenti mengusik keluargaku, Davien!" Marchell mulai emosi. Sedangkan Davien, pria ini masih dalam keadaan tenang, tidak ikut terpancing. “Selama Queen hidup dan tinggal bersama kalian, aku tidak akan berhenti, Pa," ucap Davien bersungguh-sungguh. “Putriku sudah tidak menginginkanmu. Lalu, apalagi yang kau inginkan, huh!” “Aku tahu dia sudah tidak menginginkanku. Masalahnya, aku lah yang menginginkannya," “Kau memang benar-benar b******k!” Davien tidak peduli meski Marchell mengumpatinya. “Tolong, Pa. Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku bersumpah tidak akan pernah menyakitinya. Aku mencintai putrimu, tolong, Pa," “Davien... Davien. Kau ini lucu sekali. Hah! Bahkan kau yang mencampakkannya dan sekarang kau berbalik menginginkanya. Kenapa, Davien? Apa ada sesuatu yang buruk dengan pilihanmu? Sehingga kau berbalik mengejar putriku?” “Aku tidak ingin membahas orang lain saat ini, Pa. Bahkan sejak dua tahun yang lalu aku sudah mengatakan pada mu, bahkan aku tidak pernah lelah untuk memohon. Aku mencintai Queen. Aku benar-benar mencintainya. Tolong beri aku kesempatan sekali saja, Pa," “Mungkin kau sudah mendengar kabarnya, Davien. Putriku sudah bahagia dan dia sudah menentukan pilihan hatinya. Dia akan segera menikah. Dan saranku untukmu, Davien. Sebaiknya berhentilah berharap akan suatu hal yang tidak mungkin bisa kau miliki. Perlu ku ingatkan sekali lagi, disini, di keluargaku, tidak ada satu orang pun yang menginginkanmu termasuk dengan putriku, Queen! Jadi, berhenti berharap dan memohon seperti ini. Kau tidak perlu merendahkan harga dirimu. Karena pilihan putriku jauh lebih baik dibandingkan denganmu. Maka dari itu aku memilihnya dan Queen juga sangat mencintainya," Deg! Davien mulai mengeraskan rahangnya ketika mendengar ucapan Marchell. Pria paruh baya itu sudah sangat keterlaluan. Marchell sudah sangat merendahkan harga dirinya. Sejenak, Davien menarik nafasnya panjang, lalu lekas menghembuskannya. “Baiklah kalau begitu. Semoga pria itu adalah pilihan yang terbaik untuk putrimu, Tuan Alexander’s. Untuk yang terakhir kalinya, beri aku kesempatan untuk berbicara," hening, sepertinya Marchell sepakat untuk mendengarkannya. “Hari ini, aku menghubungimu dengan niat baik dan aku juga sempat berharap jika hasilnya pun, juga akan baik. Karena itulah yang sebenarnya aku inginkan. Tapi sangat disayangkan, aku mendapatkan sambutan seperti ini dari ayah wanita yang aku cintai,” “It’s oke. Aku memahami keputusanmu dan aku pun sadar atas ketidak pantasan ku menurutmu!” “Sebelum kita akhiri pembicaraan ini, aku hanya ingin mengatakan jika aku menyerah, Tuan Alexander’s. Dan ini adalah terakhir kalinya aku meminta putrimu secara hormat. Aku minta wanita yang aku cintai pada ayah kandungnya dengan baik, tapi ternyata aku tidak diterima.” Hening … Davien kembali melanjutkan ucapannya. “Baiklah! Semoga pria yang kau pilih bisa membahagiakan putrimu, Tuan Alexander’s. Dan tolong sampaikan salamku pada wanita yang aku cintai. Semoga dia berbahagia dengan pilihan ayahnya!" Tuuttt... tuuttt... tuuttt Panggilan berakhir. Untuk yang pertama kalinya Davien memutuskan panggilan sepihak dengan Marchell. Pria yang pernah sangat dihormatinya. ‘Semoga kau tidak melupakan hari yang indah ini, Pa. Hari ini adalah hari terakhir aku meminta putrimu dengan hormat. Dan akan ku pastikan jika suatu saat nanti, putrimu akan menjadi milikku. Aku akan mengambilnya dengan cara yang tidak hormat. Aku bersumpah!’ Davien membatin setelah memutuskan panggilan teleponnya. ... “Haahh!” Davien menghembuskan nafas kasarnya setelah kembali mengingat pembicaraannya dengan Marchell waktu itu. Yah … pada saat El, datang menemuinya, lalu pria itu memberitahunya tentang keputusan Queen yang akan menikah dengan pria lain. Bahkan El juga turut memintanya agar dia mau berjuang sekali lagi untuk perempuan itu. Davien menurutinya. Bahkan, Davien sempat ingin terbang ke London, menemui keluarga Marchell secara langsung. Namun, belum apa-apa, Alvino sudah menghalanginya. Dan akhirnya, Davien memutuskan untuk menghubungi Marchell lewat panggilan telepon. Dia memohon kesempatan kedua dari pria paruh baya itu, namun Marchell malah menginjak-injak harga dirinya. Tokk! Tokk! Tokk! Sejenak, Davien mengangkat pandangannya lalu menatap tajam kearah pintu berwarna coklat itu. “Masuk!” Ceklek! "Selamat siang, Tuan," sapa Alex, sang asistennya. “Siang!” Davien tetap pada posisinya, bersandar dengan kaki memanjang di atas meja. Alex melangkah semakin dekat ke arahnya. Hingga saat ini, pria itu berdiri tepat di depan meja kerjanya dan Alex pun mulai membuka suara. Menyampaikan kabar bahagia untuk Tuannya. “Kabar terbaru yang saya dapatkan hari ini adalah, Nona Queen akan segera terbang ke Indonesia, Tuan." Deg! Refleks, Davien menurunkan kakinya, dia lekas menegakkan tubuhnya menjadi tegak. Davien menatap puas ke arah Alex yang saat ini masih berdiri di depannya. Davien menatap pria itu dengan seringai di wajahnya yang tampan. ‘Luar biasa!' ‘Cara yang tidak hormat, akan segera terlaksanakan!’ ‘Welcome back, My Queen!’ batin Davien dengan seringai mengerikannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD