PART 6 | Penolakan Davien Abimanyu Margatama

3167 Words
Jakarta, Indonesia,. Margatama Corporation, | Esok Harinya,. Di sebuah ruangan mewah dan cukup luas, nampak dua orang pria duduk dengan posisi saling berhadapan diatas sofa disana. Mereka adalah Davien Abimanyu Margatama dan Elnino Michael Alexander's. "Apa Mommy Syah belum memberitahumu tentang Queen?" tanya Elnino, Kakak kedua Queen yang kerap disapa El. "Tidak. Mommy tidak bicara apapun. Memangnya ada apa dengan Queen?" Davien balik bertanya sedangkan El, ia menghela nafasnya panjangnya. "Semalam Papa dan Mama mengabariku jika acara pernikahan Queen akan segera dilangsungkan, Vien." ujar El. Deg! Sejenak, Davien tertegun dengan jantungnya yang mulai berdegup kencang. Ada apa ini? Kenapa dia sampai tidak tahu apapun tentang kabar tersebut? Bukankah selama ini dia selalu mengawasi Queen lewat orang suruhannya di London? "Kapan?" tanya Davien dengan suara khasnya, berat dan serak. "Satu bulan dari sekarang," balas El dan Davien sontak mengangguk pelan. "Kau tidak ingin memperjuangkan adikku sekali lagi. Vien?" tanya El penuh harap. Tentu El akan bertanya seperti itu karena dia tahu jika adiknya juga masih sangat mencintai Davien. Satu-satunya yang menjadi penghalang mereka bersatu kembali adalah Marchell sang Papanya dan juga Alvino, saudara kembarnya. Kedua pria itu sangat membenci Davien. "Aku akan menghubungi Papa. Aku akan memohon sekali lagi padanya," ujar Davien. El mengangguk pelan kemudian kembali membuka suaranya. "Bagaimana jika keputusan Papa tetap sama … apa kau akan menyerah?" tanya El penasaran. Elnino tidak sepemikiran dengan Papa dan saudara kembarnya yang membenci Davien. Bahkan setelah kejadian tiga tahun lalu, El tetap menjaga hubungan baiknya bersama Davien. Terlebih, Davien sudah sangat menyesali perbuatannya pada Queen. 'Untuk Queen … aku tidak akan pernah menyerah, El. Jika Papa tetap menentangku, maka aku akan menggagalkan pernikahannya. Jika pun cara itu gagal … maka aku akan menggunakan caraku sendiri. Cara yang tidak pernah kalian duga' batin Davien sambil menatap lekat wajah El didepannya. "Aku akan berusaha meyakinkan Papa. Jika dia menolakku … lalu aku bisa apa?" Davien berucap seakan dia menyerah dan tidak ingin berjuang. Dia sengaja, karena itu lah caranya memanipulasi orang lain termasuk El. "Haahh … aku harap, Papa mau memberimu kesempatan," ujar El dengan helaan nafas lelahnya. Sedangkan Davien, pria itu hanya mengangguk pelan tanpa berniat membalas ucapan El. Yah … siang ini, El sengaja datang menemui Davien. Dia ingin memastikan apakah pria itu sudah tahu mengenai kabar tentang adiknya, Queen Calista yang sebentar lagi akan menikah. Semalam, sang Papa, Marchell menghubunginya, memberitahu akan keputusan adiknya. Awalnya El sempat curiga jika sang Papa pasti memaksa adiknya. Namun, ketika dia berbicara dengan Mamanya, Kayla, barulah El percaya jika kabar tersebut murni adalah keputusan adiknya, Queen. "Baiklah, Vien … aku hanya ingin menyampaikan itu saja," ujar El mengakhiri keheningan diantara mereka. "Kau akan kembali sekarang?" tanya Davien dan El sontak mengangguk pelan. "Yeah … satu jam lagi aku ada meeting. Jadi aku harus kembali sekarang," ujar El menjelaskan. "Okay … baiklah." balas Davien. Setelah itu, El beranjak dari sana, ia berpamitan pada Davien lalu lekas melangkah keluar. Sementara Davien, pria itu tetap duduk di tempatnya dengan sesekali ia menghembus nafas kasar. "Haah … andai saja aku tidak bersikap bodoh, mungkin saat ini kau sudah menjadi istriku, Queen. Aku sangat menyesali kejadian itu … maafkan aku." gumam Davien mengungkapkan rasa penyesalannya untuk yang kesekian kalinya. Hatinya pasti sakit kala kembali mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, saat dia menghancurkan perasaan Queen. |Tiga Tahun Lalu—Pesta Ulang Tahun Queen| Malam ini adalah malam dimana Queen merayakan ulang tahunya yang ke 21 tahun. Setelah merayu sang Papa dan Mamanya, akhirnya Queen bisa merayakan pesta tersebut lebih awal di Indonesia. Beberapa menit yang lalu, setelah Queen meniup lilin dan potong kue, gadis itu lekas meminta izin pada orang tuanya untuk membawa Davien ketaman belakang penthouse. Ada yang ingin Queen bicarakan dengan Davien dan hal tersebut sangat penting baginya. Dan disinilah dia saat ini, taman belakang penthouse bersama dengan Davien. "Eumm, Kak..." Queen mulai membuka suara, bahkan gadis itu mulai merasa gugup. Davien menoleh dan menatapnya tanpa ekspresi. Saat ini mereka duduk berdampingan di atas kursi disana. "Ada yang ingin kau bicarakan?" tanya Davien. "Iya," jawab Queen sambil mengangguk pelan. "Apa?" tanya Davien kembali. Seketika Queen merasa jika tenggorokannya seperti tercekat. Gadis itu sangat gugup sekali. Namun ia tidak ingin mengurungkan niatnya. ini adalah momen yang sudah sangat lama dia tunggu-tunggu. "Kau masih ingat … beberapa bulan yang lalu aku pernah mengatakan jika aku ingin kado darimu saat aku berusia 21 tahun?" tanya Queen berusaha membuat Davien mengingatkan. Sejenak, Davien masih diam, sepertinya dia sedang berusaha mengingat apa yang barusan Queen katakan. "Hemm. Jadi … kado apa yang kau inginkan?" tanya Davien setelah berhasil mengingatnya. Lagi-lagi, Queen kembali meneguk salivanya. Kemudian, gadis itu memberanikan diri. Dia menatap lekat manik kelam milik Davien. Kemudian, Queen meraih dan menggenggam telapak tangan besar pria itu. Davien balas menatapnya, membiarkan Queen menggenggam tangannya. "Aku…" gadis itu masih berusaha untuk bisa mengungkapkan. "Aku mencintaimu." ucap Queen jujur tentang perasaannya. Deg! Davien tertegun. Dia terkejut meskipun sudah sejak lama dia menyadari akan sikap Queen saat setiap kali mereka bertemu. Namun, Davien tidak menyangka jika gadis itu akan senekat ini menyatakan perasaan cinta untuknya. "Aku sangat mencintaimu. Bahkan sejak aku kecil … aku sudah sangat mengagumimu," ujar Queen. Davien masih diam, membiarkan gadis itu menyelesaikan kalimatnya. "Tiga tahun lamanya aku menyakinkan perasaan ku terhadapmu, Kak. Sebenarnya … aku ingin membicarakan ini disaat acara ulang tahunku yang ke 18. Tapi… aku rasa jika aku perlu meyakinkan rasa yang kumiliki ini. Dan sekarang … aku mengajakmu kesini, karena aku sudah yakin jika aku mencintaimu." ujar Queen panjang lebar menjelaskan tentang perasaan tulusnya. Sejenak, Devien menghela nafas. Lalu, pria itu memiringkan sedikit tubuhnya sehingga saat ini dia duduk dengan posisi yang sedikit menghadap ke arah Queen. Sedangkan tangannya masih berada dalam genggaman gadis itu. "Jadi … kado apa yang kau maksud, Queen?" tanya Davien serak. Sungguh, pria itu tidak kuasa menatap gadis itu. Davien menyayangi Queen sama seperti dia menyayangi adiknya, Diandra. Kini, gadis itu malah mengungkapkan perasaan cinta untuknya, sementara Davien sendiri tidak memiliki perasaan yang sama. "Aku ingin … kau mau menjadi kekasihku sebagai kado ulang tahunku," pinta Queen tanpa melepas pandangannya. Deg! Davien kembali tertegun, bahkan ia mulai susah meneguk salivanya. Tenggorokannya seperti tercekat. Ini sulit. Jawabannya pasti akan membuat Queen terluka. "Apa kau mau?" tanya Queen penuh harap. 'Ya Tuhan … bagaimana aku harus menjawabnya' batin Davien terdengar bingung dan serba salah. Beberapa kali, Davien menelan salivanya guna membasahi tenggorokannya. Pria itu melepas genggaman tangan Queen pada tangannya. Dan dia berbalik meraih jemari lentik itu kemudian membawa masuk ke dalam genggaman hangatnya. Davien terus saja menatap wajah itu, wajah yang sebentar lagi akan basah oleh air mata. Davien mengangkat sebelah tangannya, lalu merapikan anak-anak rambut gadis itu di sisi wajahnya. Sejenak, Davien mengusap lembut garis wajah Queen. Gadis ini sangat cantik sekali, menurutnya. Akan tetapi, bagi Davien, Queen masih sangat muda. Gadis itu terlalu dini untuk menyimpulkan perasaannya. Davien tidak ingin Queen gegabah, lalu menyesal dikemudian hari karena memilihnya hanya karena perasaan kagum dan mungkin juga perasaan sesaatnya. "Queen…" Davien mulai membuka suara. Queen menatapnya dengan perasaan berdebar. "Kau tahu? Aku sangat menyayangimu sama seperti aku menyayangi Diandra," ujar Davien pelan. Deg! Queen tertegun. Bahkan dadanya mulai berdebar sangat kencang. Queen mulai paham akan arah pembicaraan Davien. Namun dia masih diam, membiarkan Davien mengungkapkan perasaan sebenarnya. "Kau belum cukup dewasa untuk menyimpulkan perasaanmu. Aku tidak ingin kau menyesal atas keputusanmu. Lagi pula…" Davien menjeda sejenak kalimatnya. Pria itu membasahi bibirnya yang terasa kering kemudian lekas melanjutkan. "Aku tidak memiliki perasaan itu untukmu, Queen. Aku sudah memiliki pilihanku sendiri," ujar Davien terdengar sangat jahat di pendengaran Queen. Bahkan kedua mata gadis itu mulai berkaca-kaca karena ternyata Davien menolaknya. Sementara Davien, pria itu mengambil sesuatu dibalik jas mahalnya. Lalu ia sodorkan pada Queen. Gadis itu membebaskan tangannya dari genggaman Davien, lalu menerima pemberian pria itu dengan tangan bergetar. "Itu adalah undangan pertunanganku dengan kekasihku," ucap Davien. Deg! Queen menatap nanar kartu undangan di tangannya. Kemudian ia kembali menatap wajah pria itu. Hancur! Gadis itu benar-benar hancur. Bibir tipisnya mulai bergetar seakan memberontak untuk mengeluarkan isak tangis memilukan dari sana. Namun, dia masih bisa menahan. Tangannya bergetar, ia mulai membuka kartu tersebut. Disana, tepat didepan matanya, nama pria yang sangat dia cintai terpampang jelas. Dua nama dengan ukiran indah seakan mengoyak jantungnya. Davien Abimanyu Margatama dan Yunda Ayuri Adijaya. Sementara Davien, pria itu terus memperhatikan Queen. "Queen…" panggil Davien lirih. "Yeah… aku paham," ujar Queen bergetar. Dia melepas pandangannya dari ukiran nama pria itu disana. Ia menutup kembali undangan tersebut, lalu mengangkat pandangan dan menatap manik Davien. "Queen, aku..." "Aku baik-baik saja." Sela Queen dengan suara tercekat. Namun pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh air matanya. Buliran bening itu tumpah tanpa mampu dicegahnya. Queen menangis dalam diam. Davien menatapnya, entah kenapa pria itu merasakan nyeri di hatinya ketika melihat air mata itu yang terus saja mengalir. Tidak tega, Davien menarik pelan tubuh mungil gadis itu dan membawa masuk kedalam pelukannya. Davien mendekap erat dengan perasaan berdebar. Namun pria itu tidak menyadari akan debaran dihatinya. Davien selalu berpegang teguh pada keyakinan hati nya, jika dia menyayangi Queen sudah seperti Adiknya sendiri. Dalam dekapannya, bahu mungil itu mulai bergetar. Isak tangis pun kini terdengar jelas dan semakin memilukan. "Maafkan aku, Queen." ujar Davien dengan suara seraknya. Selang beberapa menit, Queen melepas diri. Gadis itu berusaha meredam tangisnya. Dia tidak ingin jika orang tua dan keluarganya yang lain tahu akan apa yang sudah terjadi dengannya saat ini. "Queen…" Davien kembali memanggilnya. "It's okay," ucap Queen sambil menatap wajah itu. "Maaf jika aku sudah lancang seperti ini. A-ku tidak tahu jika kau sudah memiliki kekasih. Aku minta maaf," ucap Queen masih sesegukan. "Apa kau akan membenciku?" Davien bertanya. Queen enggan menjawab, gadis itu lebih memilih untuk lekas beranjak dari sana. Queen berdiri dengan Davien yang turut mengikuti pergerakannya. Pria itu khawatir, terlebih saat ini gadis itu seakan enggan menjawab pertanyaannya. "Hey…" Davien mengangkat dagu runcing itu. Air matanya tak kunjung berhenti. Davien mendekatkan bibirnya, ia mengecup lembut kening gadis itu. Sekali lagi, dia kembali memeluk Queen. Davien seakan tidak rela jika Queen akan meninggalkannya. Sementara Queen, ia hanya mampu menerima, membiarkan Davien memeluknya sesuka hati. Queen seakan tidak memiliki tenaga sedikit pun untuk menolak apalagi memberontak. "Aku masuk dulu," ujar Queen setelah mengurai pelukannya. "Apa kau akan membenciku?" Davien kembali bertanya. Sementara dari jarak yang tidak begitu jauh dari mereka, dua orang pria berdiri dengan tangan terkepal kuat ditempat yang berbeda sedang menyaksikan betapa menyedihkannya seorang Queen Calista Alexander's. "Semoga kau bahagia dengan pilihanmu. Anggap saja kejadian ini tidak pernah terjadi … jadi kau tidak perlu memikirkan apapun," ujar Queen sambil menarik diri, ia enggan menjawab pertanyaan yang sama dari Davien. "Dan… dan aku minta maaf, mungkin aku tidak bisa menghadiri hari bahagiamu," lanjut Queen terdengar lirih. Davien mengeraskan rahangnya. Hatinya sakit ketika mendengar ucapan Queen. Davien merasa jika Queen tidak akan pernah mau bertemu dengannya lagi. Queen mundur, tangannya masih menggenggam erat kartu undangan milik Davien. Gadis itu memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi meninggalkan Davien disana. Sementara Davien, ia menatap nanar punggung Queen yang semakin menjauh dari pandangannya. Sesekali tangan gadis itu terangkat guna menghapus tetesan air matanya. Queen tidak menjawab pertanyaannya. Dan Davien menyimpulkan jika gadis itu pasti sangat membencinya setelah ini. 'Kau benar-benar b******k, Davien. Akan ku pastikan jika kau tidak akan pernah memiliki kesempatan kedua untuk Adikku,' Batin Al dengan tangan terkepal kuat. Alvino. Yah… pria itu telah menyaksikan bagaimana Davien menolak Adik yang sangat dia sayangi. Seumur hidupnya, Al tidak pernah membiarkan Queen terluka sedikitpun. Bahkan tak jarang pria itu berbuat kasar pada El, saudara kembarnya karena selalu menjahili Queen hingga gadis itu menangis. … Queen terus melangkah meninggalkan Davien dengan perasaannya hancur. Gadis itu tak kuasa menahan sesak dalam dadanya sehingga Queen memilih untuk masuk kedalam Penthousenya lewat pintu belakang. Dia tidak ingin ada satu orang pun mengetahui kejadian barusan. 'Jangan bersedih Queen. Anggap saja ini mimpi buruk,' Batinnya dalam terus melangkah. Namun isak tangis di bibirnya tak mampu direndamnya. Sehingga saat dia mulai dekat dengan pintu, tiba-tiba seseorang menahan lengannya. Queen berbalik lalu mendongak dengan wajah basahnya. Pria itu tak kuasa memandangnya terlalu lama. Ia pun lekas membawa permata hatinya kedalam dekapannya. Dia mendekap tubuh mungil itu begitu erat. "Pa-pa…" suara itu terdengar begitu pilu sehingga sangat melukai perasaan Marchell. Pria paruh baya itu memejamkan matanya kuat agar air matanya tidak ikut tumpah. Yah … pria itu adalah Marchell. Sejak sang putri yang meminta izin padanya untuk berbicara dengan Davien, Marchell memutuskan untuk mengikutinya secara diam-diam. Sehingga untuk yang pertama kalinya, Marchell menyaksikan betapa hancurnya sang putri. Davien menolak putrinya. Davien, pria yang sudah dia anggap seperti putra kandungnya sendiri telah melukai hati putrinya yang sangat dia sayangi. Marchell tidak bisa menerima kenyataan seperti ini. Tidak! Dia pernah bersumpah jika selama dirinya masih bernafas, Marchell tidak akan pernah membiarkan satu orang pun menyakiti putrinya. Lebih tepatnya, kedua putrinya. Queen dan Arabella. Namun saat ini, Marchell menyaksikan sendiri kehancuran putrinya. Marchell marah, dia ingin sekali melenyapkan Davien. Namun dia tidak mungkin bisa melakukannya karena pria itu adalah orang yang dicintai oleh putrinya. "Nak…? Tolong jangan seperti ini. Sayang… Papa tidak bisa melihatmu seperti ini," ujar Marchell serak sambil menyeka air mata putrinya. "Ini sa-kit sekali, Pa. Ha-ti aku sa-kit…" Queen mengadukan rasa sakitnya pada sang Papa. "Papa tahu, Nak," balas Marchell dengan suara seraknya. "Sekarang … katakan apa yang harus Papa lakukan untuk putri Papa ini, hmm?" tanya Marchell dengan jemarinya yang terus bergerak di kedua pipi sang putri. Marchell terus mengusap air mata putrinya yang tak kunjung berhenti. "Ba-wa aku pergi … A-ku ingin pergi, Papa," pintanya pilu di sela isak tangisnya. Sedangkan Marchell, pria paruh baya itu mengangguk dengan matanya yang mulai basah 'Papa … ternyata seperti ini rasanya. Hati ku hancur Pa, saat melihat cucumu seperti ini. Lalu… bagaimana dengan perasaanmu, saat aku menyakiti Kayla dulu. Ini seperti karma, Pa.' Marchell membatin kala ingatannya kembali menariknya ke masa lalu. "Iya … Papa akan membawamu pergi. Promise," Ujar Marchell "Sekarang kita ke kamar, hmm? Besok pagi kita akan pergi," lanjut Marchell, namun Queen sontak menggeleng. Dia tidak menyetujui keputusan Papanya. "Tolong bawa aku pergi sekarang, Papa…" pintanya mengiba. "Yeah … Papa akan membawamu sekarang. Kita akan pergi sekarang, hmm?" Queen mengangguk lalu kembali masuk kedalam pelukan sang Papa. Sedangkan Marchell, masih dalam posisi berdiri memeluk putrinya, dia lekas merogoh saku celananya. Marchell meraih ponselnya dan segera menghubungi seseorang. … Sedangkan Davien, setelah Queen menghilang dari pandangannya, ia pun memutuskan untuk meninggalkan taman. Davien memilih untuk kembali bergabung dengan keluarga yang lainnya. Atau mungkin Davien akan langsung berpamitan saja kepada mereka. Davien sadar jika saat ini pria itu sedang membawa Yunda bersamanya. Dan saat ini pun malam sudah sangat larut. Davien ingin segera mengantar Yunda untuk kembali. Yunda Ayuri adalah kekasihnya. Selang beberapa menit, Davien mulai bergabung dengan mereka. Ia melihat Yunda yang nampak diacuhkan oleh keluarganya. Tapi anehnya, Davien malah tidak merasa kesal sama sekali. Dia malah menatap gadis itu dengan tatapan biasa saja. Entah … mungkin saja dirinya masih memikirkan Queen, gadis yang beberapa menit yang lalu telah dia patahkan hatinya. "Sayang? Queen dimana?" tanya sang Mommy, Khesya. Davien sedikit tersentak dikarenakan pria itu yang tampak melamun. Sungguh saat ini pikirannya masih tentang dirinya yang baru saja menghancurkan perasaan Queen. "Queen sudah masuk ke kamarnya, Mom," ujar Davien. Sedangkan Kayla, wanita paruh baya itu sontak mengernyitkan keningnya bingung. Kayla hendak membuka suara, namun urung karena saat ini ia melihat kehadiran sang putra sulungnya disana. Alvino. Al, pria itu menatap tajam kearah Davien. Bahkan rahangnya telah mengatup sempurna. Sementara semua orang saat ini sedang menatapnya heran. Davien menyadari. "Mama, aku pamit dulu. Aku ingin mengantar Yunda kembali," ujar Davien pada Kayla. Wanita paruh baya itu tersenyum. "Baiklah, sayang. Terimakasih karena sudah hadir diacara Queen," Ucap Kayla lembut. Davien mengangguk samar. "Sama-sama, Ma. Dan terimakasih kembali karena sudah mengundangku," Balas Davien dan Kayla pun membalas dengan anggukan kecil Semua orang hanya menatap dan mendengarkan. Bahkan Khesya tidak ada menyapa Yunda barang sedikit pun selama pesta berlangsung. Khesya benar-benar menunjukan rasa tidak sukanya kepada Yunda. Saat Davien sudah berpamitan pada ke-Lima lansia yang saat ini duduk ditempat berbeda dengan mereka, Davien pun hendak mengajak Yunda untuk pergi. Namun, tiba-tiba suara deringan ponsel milik Al menarik perhatian semuanya, termasuk Davien. Al menarik keluar ponsel miliknya dari dalam saku jas mahalnya. Al menatap layar canggih tersebut dan disana nama sang Papa yang terpampang jelas sedang menghubungi nya saat ini. "Hallo, Pa…" sapa Al. "Al, siapkan jet. Papa ingin kembali bersama Adikmu malam ini." ujar Marchell diseberang telepon. "Yeah! Akan ku siapkan sekarang." jawab Al tanpa berniat menanyakan alasannya. Karena pria itu pun sudah mengetahuinya. Tutt … tuttt … tuttt Setelah panggilan terputus, Al kembali menghubungi seseorang yang tak lain adalah asisten pribadinya. Sungguh, tanpa perlu menjelaskan lebih banyak lagi, Al sudah paham apa yang sedang terjadi dengan Adiknya. "Hallo, Tuan," Sapa Randy diseberang sana. "Siapkan jet sekarang juga!" Perintah Al dengan nada dingin sehingga membuat semua orang tertegun. Deg! "Baik, Tuan." Jawab Randy. Panggilan kembali terputus. Semua orang disana kini menatap ke arahnya. Al tidak peduli. Bahkan Davien yang beberapa menit yang lalu hendak melangkah pergi pun urung saat mendengar Al yang meminta untuk disiapkan jet. "Sayang, ada apa?" tanya sang Mama, Kayla. Wanita paruh baya itu nampak khawatir. "Tidak ada, Ma. It's oke." jawab Al singkat. Namun hal tersebut tidak membuat Kayla merasa lebih baik. Sedangkan dari jarak beberapa meter, di sana nampaklah Marchell yang sedang menggendong seorang gadis. Dia adalah Queen Calista, sang putrinya. "Siapkan mobil, Al," Pinta Marchell. "Yeah!" Kayla panik saat melihat sang putri dalam gendongan suaminya. Wanita itu berlari kerah Marchell. "Sayang, putriku kenapa," tanya Kayla panik. Bukan hanya dirinya, bahkan semua orang termasuk Davien. Pria itu menatap Queen yang saat ini sedang menutup mata dengan d**a berdebar. Davien ingin bertanya, namun tenggorokannya seakan tercekat. "Dia baik-baik saja, Baby. Aku akan membawanya kembali ke London saat ini juga," ujar Marchell. "Tapi kenapa, Chell! Apa yang terjadi! Kenapa dia tidak sadar seperti ini?!" Teriak Kayla dengan air mata yang mulai menetes. Dia sangat khawatir dengan putrinya. Ya Tuhan … sebenarnya apa yang sudah terjadi, pikirnya. Sedangkan Marchell, pria paruh baya itu melempar tatapan tajamnya kearah Davien. Dan hal itu tak lepas dari pengamatan semua orang termasuk Daren dan Khesya. "Baby, please! Dia hanya tertidur. Biarkan aku membawanya. Kau bisa menyusul besok bersama Al, hmm?" Kayla menggeleng tidak setuju. "Aku tidak mau, Chell…! Bagaimana mungkin aku akan tetap disini sementara putriku seperti ini…!" teriak Kayla semakin tidak bisa mengendalikan emosinya. Semua orang mulai berdatangan, termasuk ke lima lansia disana. Mereka semua mempertanyakan keadaan Queen dan juga alasan kenapa Queen harus kembali malam ini. Namun Marchell tetap menjawab jika semuanya baik-baik saja. Pria paruh baya itu seakan enggan memberitahu kepada semua orang akan hal menyedihkan yang baru saja dialami oleh putrinya. Sedang kan Davien. Dia bukanlah pria yang bodoh. Davien sadar jika semua ini terjadi karena ulahnya. Sepertinya Queen memutuskan pergi itu semua karena dia yang menolak gadis itu. Entah kenapa, hatinya seketika nyeri saat melihat gadis itu dalam keadaan pingsan seperti itu. "Papa…" Davien hendak melangkah ke arah Marchell dengan tujuan ingin melihat Queen. Namun, Al dengan cepat menarik kasar sebelah bahunya. "Jangan pernah menyentuhnya, Davien…!" ujar Al dengan nada sinis dan dinginnya. "Kau harus ingat baik-baik, aku bersumpah kau tidak akan pernah memiliki kesempatan sedikitpun untuk adikku…!" lanjut Al dengan tatapan bencinya terhadap Davien. Semua orang tertegun saat mendengar kalimat Al barusan. Setelah itu, Al melangkah. Pria itu mendekat ke arah Marchell lalu mengambil alih sang Adik dalam gendongan Papanya. "Biar aku yang membawanya kembali. Kau bisa menyusul besok bersama yang lain, Pa," Ujar Al sambil meraih tubuh Queen. Marchell mengangguk pelan, pria paruh baya itu sangat mempercayai putra sulungnya. Menurutnya, akan lebih baik jika yang membawa Queen adalah Al. Karena, dia masih harus menenangkan istrinya dan juga orang tuanya. Tidak mungkin Marchell membiarkan mereka dalam keadaan khawatir seperti ini, pikirnya. "Yaeh! Pergilah. Papa akan menyusul secepatnya," Ujar Marchell serak. Sungguh, dadanya masih terasa sesak. "Hem!" Al melangkah, namun Davien menghalangi langkahnya. "Al…" Davien hendak bersuara namun Al menyela cepat. "Ku ingatkan sekali lagi! Jangan pernah menyentuh Adikku dengan tangan kotormu, Davien...!" Deg! "Akan ku pastikan, kau akan menyesal telah melakukan semua ini terhadapnya. Aku bersumpah!" Ujar Al dingin sembari melangkah membawa sang Adik menjauh dari sana. Davien menatap nanar punggung lebar Al. Dia berdiri mematung dengan rasa penyesalan yang mulai menyeruak dalam hatinya. Sementara semua orang, mereka semakin dibuat terkejut oleh ucapan Al barusan. Bahkan Daren pun tak melepas tatapan tajam dari sang putra sulungnya. … Plaaakkk Plaaaakkk Wajah tampan itu terbuang ke samping saat mendapatkan dua tamparan keras dari telapak tangan wanita paruh baya yang sangat dia sayangi. "Mommy benar-benar kecewa sama kamu, Mas!" Ujar Khesya dengan nafas memburu. Yah … Khesya Athasya Margatama. Wanita paruh baya itu melayangkan tamparan kuatnya pada putra sulungnya untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Marchell telah menjelaskan pada mereka akan apa yang sudah terjadi dengan Queen, termasuk bagaimana Davien menolak gadis itu. Khesya marah. Wanita itu kecewa saat tahu jika sang putra menolak Queen yang cara seperti itu. Sementara Daren, Diandra, Damian dan Jasmine. Mereka hanya mampu berdiam diri tanpa berani mencegah Khesya. Mereka semua turut merasakan kekecewaan yang sama seperti Khesya terhadap Davien. "Maafkan aku, Mom," ujar Davien pelan. "Simpan saja kata maafmu, Mas…!" Balas Khesya dengan nada dinginnya. Ini adalah kali pertama Khesya bersikap seperti itu pada putranya. Daren melangkah dekat ke arah istrinya. Pria itu meraih bahu Khesya lalu membawa dekat dengannya. Daren menatap biasa saja pada putranya lalu berkata. "Sudah, Hun. Tidak perlu terlalu lama memarahinya. Dia bukan anak kecil lagi. Kau harus yakin, Queen adalah gadis yang baik dan sangat cantik sekali. Saat ini, dia mungkin terluka, tapi aku yakin jika dia pasti mampu menyembuhkan lukanya dan dia akan mendapatkan cinta sejatinya, hmm?" Ujar Daren tenang. "Queen tidak pantas untuk putra kita, Hun. Gadis itu terlalu baik. Jadi … ikhlaskan saja atas apa yang sudah terjadi," "Suatu saat nanti, Queen akan hidup bahagia dengan pria yang tepat," ujar Daren panjang lebar. Davien melempar tatapan tajamnya pada sang Daddy. Entah kenapa, hati kecilnya memberontak saat mendengar jika Queen akan menjadi milik orang lain. Sementara Daren, pria paruh baya itu sadar akan tatapan tajam putranya namun dia tidak peduli. Daren yakin, jika suatu saat nanti, Davien akan menjadi pria yang paling menyesal dimuka bumi ini. Sama seperti dirinya saat dulu di masa lalu, dia yang sempat menyia-nyiakan sang istri, Khesya demi wanita lain. 'Sepertinya, masa lalu akan terulang kembali. Ya Tuhan. Apa ini adalah karma untukku?' batin Daren sambil menatap kearah putranya. | Tiga Tahun Lalu, End| … “Haahhh … Ya Tuhan, kenapa rasanya tetap seperti ini. Sesak.” Davien menarik simpulan dasi yang masih melingkar rapi pada kerak kemejanya. Dadanya kembali sesak, saat kembali mengingat kejadian dia menolak Queen, dulu. “Aku merindukanmu, Queen. Sudah cukup, tiga tahun ini, kau menghukumku. Aku sudah menerima hukumannya, Queen.” lagi, dia kembali bergumam. Netranya sontak memanas, Davien memejamkan dua matanya. Dia berusaha menahan, agar cairan itu tidak keluar dari tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD