PART 5 | Keputusan Queen Menikahi Liam!

1280 Words
[Masih Flashback Dua Bulan Yang Lalu] ... Mansion Alexander's, esok harinya,. Tadi pagi, Marchell dan sang istri, Kayla serta orang tua dan putri bungsunya, mereka pergi ke gereja untuk beribadah. Kecuali Queen. Perempuan itu tentu saja tidak akan mungkin bisa ikut dikarenakan dia yang berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Di dalam keluarga Alexander’s, Queen dan Elnino, kakak keduanya, mereka berdua adalah Muslim. Marchell dan Kayla tidak mempermasalahkannya, karena mereka sangat menghargai keputusan anak-anak mereka untuk memilih keyakinan sendiri. Jadi, setelah mereka kembali dari gereja, tak berselang lama, akhirnya mereka memutuskan untuk makan siang. Usai makan siang bersama, Queen dan keluarganya duduk di ruang santai. Hari ini, Queen bangung sedikit terlambat karena semalam dia pulang terlambat bersama Liam. Tapi, Queen sudah menjelaskan kepada kedua orang tuanya akan alasan dia kembali sampai larut malam. Sedangkan Marchell dan Kayla, mereka paham dan lagi pula mereka juga percaya jika Liam tidak akan mungkin berbuat macam-macam dengan putri mereka. "Mama, Papa…," panggil Queen pada kedua orang tuanya. Bahkan ia juga menatap ke arah ketiga lansia di sana, sang Grandma, Grandpa dan Opanya. "Ada apa, sayang?" tanya Kayla khas dengan suara lembutnya. "Ada yang ingin kau bicarakan, Princess?" kali ini Marchell lah yang bertanya. Sedangkan Queen, gadis itu sontak mengangguk pelan sambil menatap ke arah sang papa. "Iya, Pa. Aku ingin membicarakan tentang hubunganku dengan Liam," ujar Queen. "Ada apa, sayang? Apa kalian bertengkar?" tanya Kayla terlihat khawatir. "Tidak, Ma. Kami baik-baik saja. Semalam aku pulang terlambat, bukan karena pestanya. Tapi karena aku yang meminta Liam untuk bicara sebentar setelah pesta," mereka semua masih menatap bingung, tapi Queen lekas melanjutkan kalimatnya. "Aku sudah memutuskan agar hubungan kami disegerakan saja, Ma, Pa." Deg! Semua orang tertegun saat mendengar keputusannya. Mereka bukannya tidak setuju, tapi mereka hanya merasa aneh karena tiba-tiba Queen mau mencobanya dengan Liam. Setelah sekian lama Marchell membujuknya, akhirnya Queen mau menyerah dan mencoba bersama Liam. "Apa kau benar-benar yakin, sayang?" tanya Kayla ragu akan keputusan putrinya. Queen tersenyum. "Aku yakin, Ma. Bahkan aku sudah memikirkan ini sejak lama. Ini bukanlah keputusan mendadak atau semacamnya," Marchell menatap lekat wajah putrinya. Pria paruh baya itu seakan sedang berperang dengan pemikirannya. Yah … setelah semalam Queen menyatakan keputusannya pada Liam, maka siang ini dia pun segera memberitahu keluarganya. Bagi Queen, tidak ada gunanya dia terus menunda dan terus menggantungkan Liam begitu saja. Liam adalah pria yang baik dan dia yakin jika suatu saat nanti mereka pasti bisa hidup bahagia. Queen pasti tidak akan sulit untuk bisa mencintai pria itu. Maka dari itu, Queen mulai meminta restu pada orang tua dan juga keluarganya. Sementara mereka semua, tentu mereka akan memberi restu untuknya. Mereka semua sudah sangat lama menunggu momen ini, momen dimana Queen bisa bangkit kembali dari keterpurukannya sejak tiga tahun yang lalu. … Lantai atas, Kamar Queen,. Setelah membicarakan akan keputusannya pada keluarganya, akhirnya Queen memutuskan untuk naik ke kamarnya. Dia beralasan kepada mereka jika dia ingin menghubungi Liam untuk membicarakan sesuatu. Tentu itu hanya alasannya saja karena saat ini gadis itu tampak sibuk dengan lelehan air matanya. Queen tidak mampu menahan sesak di dadanya. Meski baru beberapa menit yang lalu dia mengatakan keputusannya pada keluarga, tapi lihat lah sekarang. Dia tidak bahagia, dia malah menangis saat kembali mengingat pria yang sudah tiga tahun ini tidak bertemu dengannya. Pria yang sampai saat ini masih dia cintai. Davien Abimanyu Margatama. Tokk! Tokk! Tokk! Mendengar suara ketukan pintu membuat Queen lekas mengusap air matanya. Dia tidak ingin satu orang pun melihatnya bersedih seperti ini. Setelah dirasa cukup, akhirnya Queen mulai membuka suaranya. “Masuk." pinta Queen. Ceklek! Pintu terbuka, disana Kayla melangkah masuk kedalam kamar putrinya. Kayla kembali menutup pintu tapi tidak terlalu rapat. “Mama…,” panggil Queen saat melihat sang Mama melangkah ke arah nya. Kayla menatap lekat wajah sembab putrinya yang saat ini berusaha mengulas senyum untuknya. Kayla tidak mempercayai senyum itu, wanita paruh baya itu menarik pelan tubuh sang putri kedalam pelukannya. Kayla mendekap erat, wanita paruh baya itu mulai menumpahkan air matanya bertepatan dengan isak tangis tak tertahankan dari putrinya. Queen menangis, perempuan ini gagal menyembunyikan kesedihannya di depan sang Mama. “Mama ... a-aku baik-baik saja,” gumamnya pilu. Kayla tidak kuasa. Hatinya sakit saat kembali mendapati putrinya yang rapuh seperti ini. “Mama tau, Nak.” balas Kayla dengan suara bergetar. Dia mendekap erat tubuh putrinya. “Aku bahagia, Ma. Aku sangat bahagia." Queen kembali bergumam di sela isak tangisnya. ‘Kau berbohong, sayang. Mama tahu kamu berbohong, Queen. Ya Tuhan, kenapa putriku harus mengalami hal semacam ini. Kenapa Engkau tidak menghukumku saja, Tuhan. Kenapa harus putriku.’ batin Kayla terdengar pilu. ‘Kenapa Davien? Kenapa kau tega menyakitinya sampai seperti ini? Kau menghancurkan perasaanya, Vien.’ Kayla masih mendekap erat tubuh putrinya. Tak berselang lama Kayla mengurai pelukannya, wanita paruh baya itu menangkup kedua pipi putrinya, lalu mulai mengusap pelan cairan bening yang terus keluar dari sepasang mata indah putrinya. “Sayang...” suaranya bergetar saat memanggil putrinya. “Mama ... tolong percaya padaku. Aku baik-baik saja, Ma.” ucap Queen sambil menatap wajah Mamanya. Namun, Kayla malah menggeleng pelan "Tidak, sayang. Kau tidak bisa membohongi Mama seperti ini. Kenapa kau mengambil keputusan seperti ini, Nak?” tanya Kayla. Saat di lantai bawah, Kayla memang tidak banyak bicara karena ada perasaan tiga lansia yang harus dia jaga. Kayla tidak ingin memancing kesedihan putrinya di depan mereka, maka dari itu, Kayla memutuskan untuk menyusul sang putri ke kamar gadis itu. “Mama...” Queen hendak berbicara namun Kayla kembali memotong ucapannya. “Pernikahan bukan suatu hal yang bisa dipermainkan, sayang. Kau harus benar-benar yakin dengan keputusanmu. Mama tidak ingin kau menyesalinya, Queen!” ujar Kayla berusaha menyadarkan sang putri akan kekeliruan gadis itu. "Aku tidak berniat mempermainkan pernikahan, Ma. Aku hanya berusaha bangkit dengan cara seperti ini. Jika aku hanya diam saja, lalu kapan semua ini akan berakhir?” “Ma … Liam adalah pria yang sangat baik. Dia mencintaiku…,” Kayla kembali menyela ucapannya. “Tapi kau tidak mencintainya, Queen. Jangan memaksakan dirimu seperti ini. Sayang … Mama tidak ingin kau terluka dengan keputusanmu!” ujar Kayla. “Tidak penting dengan perasaanku, Ma. Aku pernah mencintai dan berharap banyak dengan dia. Tapi apa yang aku dapatkan, Ma? Aku terluka karena perasaan ku sendiri. Aku tahu rasanya bagaimana dan aku...” Queen menjeda ucapannya, gadis itu menelan salivanya lalu kembali melanjutkan. “Meskipun aku tidak mencintai Liam, setidaknya aku tidak akan menyakiti perasaannya. Aku akan berusaha, Ma. Aku akan berusaha membuka hati untuknya,” Kayla tidak bergeming, namun dia tetap mendengarkan ucapan putrinya. “Mama … tolong. Tolong berikan aku restumu. Aku membutuhkannya, Ma. Biarkan aku meraih kebahagiaanku,” mohon Queen pada sang Mama. “Tapi Mama tahu kamu tidak bahagia, Nak. Queen…,” “Itu semua karena aku belum mencobanya. Maka dari itu, izinkan aku untuk memulainya. Aku pasti akan bahagia bersamanya, Ma." “Tolong, Ma…,” dia terus memohon restu dari sang Mama. “Baiklah ... Mama merestui mu, sayang” ucap Kayla terdengar serak. “Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk putri Mama, hmm? Berjanjilah jika kau akan baik-baik saja,” pinta Kayla dan Queen lekas mengangguk cepat. Gadis itu tidak ingin membuat sang Mama terlalu mengkhawatirkannya. “Aku berjanji, Ma.” balas Queen. Kayla tersenyum begitupun dengan Queen. Kayla mengecup lembut kening putrinya. Tanpa mereka sadari, seorang pria paruh baya kini mengusap pelan air matanya dibalik pintu disana. Sejak beberapa menit yang lalu dia menyaksikan isak tangis kedua perempuan yang sangat dia sayangi itu. Marchell menekan pelan dadanya yang terasa sesak. 'Maafkan Papa, Queen. Papa tahu jika kau masih mencintainya … tapi Papa tidak pernah memberinya kesempatan kedua untuk memperjuangkanmu, Nak. Papa tidak ingin kau terluka jika harus kembali bersamanya,' batin Marchell sambil melangkah pelan meninggalkan kamar putrinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD