"Setia itu sulit, tetapi jika didasari mempercayai seseorang yang dicintai. Hanya tinggal mengatur napas, lalu patahkan niat mereka yang ingin menghancurkan kesetiaan kita untuknya."
Acha pun segera melajukan mobilnya, menuju tempat mengajarnya. Tempat di mana ia bisa menghidupi anaknya tanpa meminta kepada orang tua. Acha juga sadar, keinginan Sinta dulu ia menikah dengan dosennya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Jadi, apa pun masalahnya Acha harus siap siaga, ia takut Sinta melempar tanya mengapa tidak memilih Arga? Yang benar-benar mencintainya. Bahkan, sempat pula setelah kepergian Devid ia masih berharap.
Mengajak Acha menjadi istrinya. Arga tidak mempermasalahkan statusnya. Namun, Acha akan selalu menolak. Ponselnya berdering, lelaki yang sedang ia pikirkan menelpon. "Hallo?"
"Cha, apa kabar kamu?" tanya Arga di seberang sana.
"Alhamdulillah, baik, ada apa, ya?" Acha bertanya malas, seraya keluar dari mobilnya.
"Ada kabar baik, minggu depan datang, ya. Saya mau nikah," jelasnya, langkah Acha terhenti.
"Ohh, ok, saya datang, kok. Makasih undangannya," balas Acha, ada sedikit rasa sesak. Mengapa? Bukankah ia tidak menyukai Arga?
"Ok, nanti juga undangannya datang ke apartemen kamu. Bawa juga Devit, ya, harus datang pokoknya," pesan Arga, lalu sambungan telepon berakhir.
Minggu depan? Dengan siapa Arga menikah? Acha mengembuskan napasnya kasar mengapa ia jadi memikirkan? Ah! Sialan, mungkin karena merasa sepi tanpa Devid. Jika ada, kemungkinan ia sudah bersorak, ikut bahagia karena Arga bisa move on darinya. Namun, di sisinya tak ada Devid. Siapa yang akan menggengam tangannya nanti di pesta pernikahan? Lelaki mana yang akan menjaganya?
Sebelum Acha masuk ke kantor guru, panggilan telepon lain masuk. Kali ini Bram yang menelpon, Acha memilih menolaknya cepat. Sekarang bukan waktunya membesarkan masalah. Memaksa Acha, seorang ibu yang sulit mengizinkan anaknya pergi sesuai keinginan Bram harus menurut saja. Siapa dia? Tidak lebih seorang teman jauh! Bahkan dulu Acha tidak mengenalnya. Ya walaupun pernah sebagai perantara, mengenalkan Acha kepada Devid yang lupa ingatan.
"Iya, namanya Pak Haris katanya, sih, ganteng, loh!"
Acha mendengar bisik-bisik dari belakang, kumpulan guru yang jarang menyapanya. Karena mengetahui status Acha yang masih single, juga masih muda takut semua guru muda lelaki diembat. Padahal sama sekali Acha tidak ada niatan genit kepada beberapa guru di sana, sedangkan tiga guru yang sudah berkeluarga itu tak bisa diam. Sangat centil dan banyak gaya.
"Waduh, gawat, Bu Sri! Dia juga belum nikah, harus cepet ditarik, nanti malah tertarik sama yang onoh!"
"Iya, tenang, gampang!"
Tidak lama, seorang guru biologi datang. "Cha, keluar, yuk! Pak Hakim minta kamu keluar, tuh!"
Namanya Bu Rizka, dia lebih tua dua tahun dari Acha dan satu-satunya rekan kerja yang baik. "Ohh, ya, udah ayo."
Di luar, guru baru yang dibicarakan tadi sedang bersalaman dengan Pak Hakim KEPSEK SMP Bina Karya ini. "Ini, Bu Acha, guru bahasa," Pak Hakim meminta Acha mendekat.
"Ohh, iya, saya Haris." Ia menjabat tangan Acha yang terasa lembut, dalam hitungan detik wajah Acha yang manis membuatnya tertarik.
"Pak Haris ini, guru matematika. Dia juga mengajar di SMK sebagai guru akuntansi, begitu, Pak?" tanya Pak Hakim memastikan.
Acha mulai tidak enak, mengapa harus mengenalkan Pak Haris kepadanya? Jika memang ingin berkenalan dengan semua guru, seharusnya di dalam kantor saja dan Pak Hakim bisa memperkenalkan Pak Haris kepada semua guru. Ah, mungkinkah guru yang dianggapnya dekat dan tahu kondisinya ingin membantu, dengan cara mencari lelaki baru untuknya?
Oh, Tuhan ... Acha mengembuskan napas kasar jika benar, sangat tidak perlu dan ia akan menolaknya! Apalagi setelah mendengar bisikan guru lain yang tidak menyukainya. Setelah perkenalan singkat yang tak Acha dengar semua pembicaraannya, bel masuk berbunyi. Kebetulan Acha adalah wali kelas dari 7A dan sialnya setelah ia memberikan pelajaran, Pak Haris memintanya untuk menemani mengajar di kelas 7A tersebut.
"Kebetulan, Ibu wakelnya, ya?"
Acha meliriknya malas. "Baik, mari saya antar," balasnya cepat.
Pak Haris membuntuti dari belakang, juga mulai memperhatikan tubuh Acha yang memang terlalu kecil diantara guru lainnya. Kebanyakan 'kan sudah tua, dengan perut besar juga kerutan di wajah, sedangkan Acha bak anak SMA yang menyamar menjadi guru di SMP. Bahkan, ada yang lebih tinggi dari Acha anak SMP di kelasnya. Melihatnya, Pak Haris sedikit mengulum senyum.
Sesampainya di depan kelas, Acha mempersilakan untuk berkenalan. "Anak-anak, ini guru baru kita. Pengganti Bu Arumi yang sudah resign, minggu lalu." Acha melirik Pak Haris. "Silakan, Pak."
Pak Haris melempar senyum kepada Acha, tatapannya juga berbeda dari pertemuan awal tadi. Tatapan dalam kasih sayang dan Acha menyadari itu, ia segera memalingkan pandangan.
"Assalamualaikum, anak-anak. Perkenalkan nama Bapak, Haris Wijaya. Panggil saja, Pak Haris, ya, sudah Bu Acha katakan, saya pengganti Bu Arumi yang mengajar di pelajaran matematika," jelasnya, diakhiri senyum manis.
Selesai perkenalan singkat, Acha undur diri keluar kelas. Namun, Pak Haris memintanya untuk menemaninya di kelas saja.
"Maaf, Pak, saya masih banyak urusan di kantor. Bapak, 'kan sudah biasa mengajar anak SMK toh, sekarang yang Bapak ajar anak SMP," sindir Acha, membuat Pak Haris menelan ludah kasar.
"M—maaf, Bu. Baiklah, silakan jika ingin keluar," gagapnya, seraya memberikan jalan bagi Acha yang ia sengaja halangi tadi.
Acha melirik anak-anak yang diam membisu. "Ibu, keluar dulu, ya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalan."
Ada apa sebenarnya? Acha dengan cepat menjauhi kelas, segera duduk di tempatnya sendiri. Mengatur napas yang terasa tak beraturan. Sudah pasti, lelaki tadi menginginkannya yang tak bisa membuka hati bagi siapa pun lelaki. Acha menengadahkan kepalanya, menatap nanar plafon kantor yang putih bersih. Suara ponselnya yang berdering menyadarkan, masih dengan penelpon yang sama seperti tadi.
"Mau apa, sih, Bram!" sentak Acha, tak memberikan kesempatan bagi seseorang di seberang sana untuk menyapanya.
"Assalamualaikum, maaf, ini Acha temannya, anak saya, Bram?"
Bola mata Acha hampir keluar, ia segera menegakkan tubuhnya. "W—waalaikumsalam, maaf, Bu, saya kira Bram." Acha merutuki sikapnya yang tak sopan itu, padahal ia seorang guru yang seharusnya menjadi contoh bagi orang terdekatnya.
"Oh, iya, gak papa. Ini, ibu, mau ngabarin Bram sakit, dia mengigau nama kamu mulu dari subuh pagi, badannya panas. Ibu juga gak ngerti, padahal dia bawa mobil," jelas Bu Lastri di seberang sana.
"Sakit? Nanti siang, saya ke sana ya, Bu. Sekarang saya masih ada jam pelajaran."
"Iya, Nak, ibu harap kamu datang, ya."
Panggilan telepon terputus. Acha memejamkan matanya, bingung harus memutuskan pergi atau tidak. Sampai kedatangan Pak Haris menambah beban pikirannya lagi, lelaki itu sudah berdiri di samping kiri mejanya.
"Ibu, sakit? Keliatannya kayak sedang banyak pikiran?" tanyanya, sok peduli.
Acha mendongak. "Gak papa, Pak. Saya baik, kok."
Pak Haris mengangguk. "Saya, kesini ... mau pinjam bolpoin tinta merah, punya saya ketinggalan, boleh, Bu?"
Dahi Acha mengerut, di kelasnya seorang sekretaris selalu menyediakan apa pun untuk keperluan guru. Dari penggaris papan tulis, spidol juga tintanya, sampai bolpoin merah yang Pak Haris minta. Semua benda tersebut Acha pinta agar tetap tersedia. Karena, selama lima tahun mengajar, sudah ia lalui dengan banyak rintangan dari p****************g yang mencoba mendekatinya. Alasannya meminjam barang, tetapi tujuannya agar bisa dekat dengannya.
Jadi, tanpa menunggu lama sampai Pak Haris harus berjuang mencoba mendapatkan hatinya, Acha segera berkata, "Saya tahu, Bapak denger cerita semua guru di sini tentang saya. Termasuk dalam kasarnya tidak bisa move on dari suami saya begitu?"
Pak Haris diam mematung, Acha pun melanjutkan, "Ya, saya gak bisa move on. Mengartikan, bahwa siapa pun yang mencoba mendekati saya, semuanya percuma! Lebih baik, Bapak cari perempuan lain saja."
Belum sempat Pak Haris membalas ucapannya, Acha segera beranjak pergi. Perpustakaan selalu menjadi tempat persembunyian, di sana ia dapat membaca beberapa n****+ untuk mengalihkan beban pikirannya sementara.