08. Sama Julidnya

1184 Words
"Sebuah sindiran? Jangan terlihat kalah, apalagi semua yang dikatakan salah!" Acha menepati janjinya untuk menjenguk Bram yang katanya sedang sakit, sebelumnya ia menjemput Devit terlebih dahulu. Bocah pemilik paras bak pinang dibelah dua dengan papanya itu, tak hentinya mengoceh bercerita tentang pelajaran apa yang ada di sekolah, juga bagaimana temannya menjaili teman perempuan Devit. Acha tertawa lepas, saat Devit mencontohkan kelakuan temannya itu kepada Acha. Yaitu menggelitiki leher ibunya. "Geli, gak, Ma?" tanyanya polos, sedangkan Acha sudah menahan jeritan dengan kedua tangan masih mengemudikan mobil. "Geli, Sayang ...." Acha menjawil hidung mancung Devit gemas. Devit melepas jawilannya. "Ih, Mama, kayak ibu-ibu di sekolah! Sama ibunya temen, Devit, kalian suka banget nyakitin hidungku, hem!" Bibirnya mengerucut sebal. "Masa? Terus anak, mama, cuma bisa diam, gitu?" Anggukan cepat Devit menjadi jawaban. "Kalo Devit marahi, 'kan gak boleh. Mereka udah tua, gak sopan!" tegasnya, mengulang pesan yang Acha katakan dulu. Tangan Acha terulur, mengelus sayang puncak kepala anaknya. "Nah, kamu tau. Mereka itu gemas liat kamu, bukan ngejahatin." "Loh, kita mau ke mana? Jalannya beda, Ma?" tanya Devit, sambil menurunkan kaca mobil di sampingnya, menatap jalanan yang tak biasa dilalui. Acha menghirup udara panjang, lalu berkata, "Om Bram, sakit, kita ke rumahnya dulu, ya." Tidak jauh dari kediaman Bram, Acha menepikan mobilnya di samping sebuah toko buah-buahan sebagai hantaran. Devit dengan cepat meminta dibelikan buah melon kesukaannya. "Pakek s**u bisa?" tanya Devit polos, ia kira es buah yang selalu Acha buatkan di apartemen. Penjual itu tersenyum lebar. "Bisa, sebentar, ya." "Eh, gak usah, Bu. Devit ... ini hanya menjual buah, bukan es buah." Bibir Devit manyun ke depan. "Kata, Tantenya, bisa, ya, kan?" "Gak papa, kok, Bu. Anak saya juga suka buat es buah, dipotong kecil-kecil, Dek?" "Iya! Makasih, Tante ...." Selesai membayar buah-buahan yang sudah ditata rapi dalam keranjang, tidak lupa Devit yang menjinjing sekantong potongan melon dicampur s**u kental manis. Mereka kembali ke dalam mobil, melaju cepat menepikan mobilnya di depan halaman rumah Bram yang sudah penuh diisi tiga unit mobil terparkir. Apakah ada banyak tamu datang? Acha kelabakan segera merapikan penampilannya. Entahlah, ia ingin terlihat rapi saja. Di sekitar mulut Devit sudah tidak beraturan karena s**u kental manisnya yang membuat kacau. Acha segera memberikan tisu basah, Devit menerimanya lalu menghapus noda susunya. Mereka segera keluar, berjalan lurus menuju pintu yang tertutup rapat. Acha menghirup udara dalam-dalam, lalu mengetuk pintu. Tiga kali ketukan, masih belum ada sahutan. Kelima kalinya, baru pintu terbuka. "Eh, ini Mba Acha, ya?" Acha mengangguk kaku, sekarang ia berhadapan langsung dengan gadis muda yang manis. Sebuah t**i lalat di ujung hidungnya menjadi daya tarik, siapa pun yang baru ditemuinya. Acha tersenyum kecil, sedangkan Devit yang masih lengkap memakai seragam SD masih sibuk dengan buah melonnya. "Bram, ada kan?" tanya Acha. "Oh, ya, astagfirullah. Masuk, Mba, di dalam udah pada kumpul," jelas Anya, gadis yang berharap bisa bertemu langsung dengan Acha. Sekaranglah waktu paling tepat. Di mana, Anya bisa leluasa menyindir hubungan Acha dan Bram yang tak diharapkan oleh Bu Lastri, ibunya Bram. Tentu saja tidak setuju, untuk apa memperjuangkan seorang janda beranak satu? Lalu menolak bodoh gadis cantik seperti Anya? "Namanya Devit, kan?" tanya Anya, sok akrab. Acha menoleh malas, ia belum tahu siapa gadis yang baru pertama kali ia temui dan sekarang, malah orang yang membuka pintu untuknya di rumah Bram. "Iya, Tante namanya siapa?" tanya balik Devit. "Panggil aja, tante Anya, ok?" "Yaaa ...." Devit menghentikan langkahnya, membuat Acha yang menggenggam jemari mungil kanannya ikut berhenti juga. "Devit, pengen panggil Tante Cantik, boleh?" "Haha!" Anya terbahak. "Boleh, dong!" Detik berikutnya, Devit sudah mulai akrab dengan Anya. Mereka bertiga sampai di depan kamar Bram yang cukup besar, lelaki itu terbaring lemah dengan wajah layu yang tak pernah Acha temui sebelumnya. Acha segera menyalami orang-orang di sana, mereka adalah pekerja di toko alat outdoor. Di mana Bram kemarin membeli hadiah untuk Devit. Semua pertanyaan di kepala Acha, dijawab oleh Anya tanpa ditanya. "Kebetulan, ya, Mba Acha. Kita juga baru datang, sengaja juga tutup toko demi Mas Bram," jelas Anya, dia juga perempuan yang duduk paling dekat dengan Bram. "Mas Bram, ini gak ada kerjaan main ujan-ujanan, kayak anak kecil aja, ya!" Bu Lastri menjawil pipi Devit gemas. "Baru pulang sekolah, Devit?" Devit menatapnya asing, lalu mengangguk kaku. Acha segera menariknya duduk beralaskan karpet di samping Bu Lastri. Sampai pertanyaan Anya yang tak tahu tempat dan keadaan, membuat Acha tertegun bingung harus berbuat apa. "Mba Acha, gak ada niatan nyari ayah buat Devit apa? Kasian, loh, masih kecil anaknya. Devit, mau ayah baru, kan?" Seketika di dalam kamar itu, hening, antara menunggu jawaban Acha atau merutuki kelancangan Anya bertanya seperti itu. Beruntung, saat Anya berkata Devit sedang sibuk menghabiskan buah melonnya. Sampai Nijar menyenggol Anya, memberikan kode untuk mengalihkan topik pembicaraan yang ia mulai. Dengan polosnya, Anya sok bodoh tersenyum kaku. "Eh, maksudnya, Devit, gak bawa mainan ke sini?" Tentu saja dengan cepat Devit menggeleng. "Di sekolah, Devit gak boleh bawa mainan, Tante Cantik." "Devit, ikut, Oma ke dapur, yuk! Tangan kamu juga kotor gara-gara s**u, tuh," ajak Bu Lastri dan Devit menurut saja. Keadaam Bram yang masih lemah, membuatnya tak mampu berkata apa pun dan Acha juga, tidak ada niat untuk menanyakan kenapa bisa sakit parah sampai tak mampu bangun dari tempat tidur. Walaupun Anya sudah menjelaskan bahwa ia dengan bodoh bermain hujan. Anya lagi-lagi ingin memancing Acha agar bisa menjawab sindirannya. "Mba Acha, guru SMP, ya?" tanyanya, padahal Anya sudah tahu dari beberapa info yang ia cari sendiri. "Iya," jawab Acha singkat, ia pun memutuskan menyalakan ponselnya sok sibuk dengan pesan masuk. "Gak ada niat ke gunung lagi, Mba? Perasaan udah lama enggak, ya?" Kali ini Rizal yang bertanya, Acha kenal dengan lelaki itu. "Lagi sibuk, lagian susah juga, Devit masih kecil," balas Acha, sebuah senyum kecil mengakhiri ucapannya. "Padahal, banyak, loh, Mba! Pendaki lain yang bawa anaknya naik gunung, bahkan ada yang sampe masih bayi aja merek—" "Devit itu anak saya. Bukan anak pendaki lain yang kamu maksud." Anya terdiam, mendengar ucapan Acha yang membuatnya harus membisu menelan ludah kesal, sedangkan Acha sudah tidak sabar ingin pulang saja. Lagian, niatnya hanya menjenguk dan langsung pulang, bukan? Ia tidak ada niat berbincang sama sekali, apalagi dengan tamu sok tahu dan ikut campur tentangnya! Terkhusus untuk gadis bernama Anya itu. Bu Lastri datang dengan Devit yang membawa roti di tangannya. Acha segera berdiri, mengajak Devit dan ibu Bram keluar dari kamar. "Ada apa, Nak?" tanya Bu Lastri bingung, Acha berhenti di depan pintu keluar. "Maaf, Bu, saya pulang duluan, ya. Bram juga sudah melihat saya tadi. Maaf, banget, ya." "Ohh ... begitu. Ya sudah hati-hati di jalannya. Makasih buat buah-buahannya." Bu Lastri mengelus sayang puncak kepala Devit. "Jaga Mama, kamu, ya." Devit mengangguk cepat. "Iya, Oma!" Ha, Oma? Acha memilih segera beranjak pergi. Nanti saja ia memikirkan panggilan anaknya barusan. Paling penting ia harus pergi dari sana secepatnya, sebelum gadus bernama Anya melempar pertanyaan dan sindiran ala ibu-ibu julid di sekolah! Ah, ternyata bukan hanya wanita tua yang mengomentari statusnya, ternyata ada juga gadis manis yang merasa tersaingi, pikir Acha. "Terserah, deh!" batin Acha, seraya menginjak pedal gas melaju kencang menuju apartemennya dan lagi, di sampingnya Devit mulai mengantuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD