Bima termangu-manggu mendengar penjelasan Laura mengenai kejadian 23 tahun yang lalu. Matanya membulat terkejut , bibirnya mengatup rapat dan tangannya mengepal erat sampai jari-jarinya membiru. Dia sangat-sangat marah,mendengar kelakuan mamanya yang menghina Laura dan Tante Lestari dulu. Mamanya itu sungguh pintar berakting. Berarti dulu itu, mamanya sempat-sempatnya balik ke rumah setelah membuat keributan dahsyat di rumah Laura dan ketika melihat Bima hendak keluar untuk menjemput Laura. Mamanya malah bertanya dengan nada manis dan lembut.
“ Uda mau berangkat menjemput kekasihmu, Bim? Mama lagi siapin makan malamnya.Nanti malam, makan bareng aja di rumah.”
Dan Bima dengan gembira, mengecup pipi mamanya sambil mengucapkan terimakasih dan berkata ke mamanya.
“ Mama pasti akan senang dengan pacarku. Dia sangat cantik, baik juga pintar. Nanti cucu kalian pasti akan luar biasa cantik dan pintar karena ayah dan ibunya pintar.”
Dan mamanya saat itu hanya tersenyum. Jadi Bima sangat bahagia, yakin dan percaya diri saat melangkah menuju mobilnya untuk menjemput Laura. Di jalan. Bima masih bersenandung kecil tanda dia sangat bahagia. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan saat Bima turun dari mobil, rumah Laura telah kosong melompong. Pagarnya bahkan digembok dari luar. Bima mengedor-gedor pintu, tapi tidak ada yang membukanya. Bima menjerit-jerit dari balik pagar, tapi tak ada yang menghiraukannya. Bima sungguh kelabakan dan berlari mencari satpam di depan kompleks, tapi satpam hanya menggelengkan kepalanya. Dua puluh tiga tahun yang lalu itu belum ada handphone seperti saat sekarang untuk menghubungi seseorang.
Bima tambah binggung saat balik ke mobilnya, Pintu rumah Laura tetap tertutup rapat dan tidak ada siapa-siapa yang membuka pintu rumah berpagar putih itu untuknya. Bima bertanya-tanya dalam hati, kemana Laura? Lalu Bima memutuskan untuk mencari Tante Lestari ke rumah sakit Harapan Kasih tempat praktek mamanya Laura dan di sana jawaban dari pihak rumah sakit makin membuatnya binggung, katanya dokter Lestari tiba-tiba resign dan mau bertugas di rumah sakit lain yang juga tidak mereka ketahui, rumah sakit apa itu.
Bima juga langsung pergi mencari Nabeth, sahabat Laura yang hanya menggelengkan kepalanya tidak tahu dan juga merasa binggung. Kenapa Laura tiba-tiba raib seperti di telan bumi?
Setelah berkeliling mencari-cari Laura selama dua jam. Bima pulang ke rumahnya dengan lesu sambil berkata kepada orang tuanya kalau kekasihnya tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Mamanya saat itu, memeluk Bima dan menepuk-nepuk pundaknya dan mengatakan ke Bima, mungkin pacarnya Bima tidak ingin dikenalkan sebagai kekasih kepada kedua orangtua Bima karena lebih memilih melanjutkan studinya dan lebih mementingkan karir daripada cintanya kepada Bima. Bima sama sekali tak habis pikir, mengapa Laura bisa begitu kejam? meninggalkan dirinya tanpa pesan dan bahkan mengingkari semua rencana yang telah mereka sepakati bersama.
Hari ini, setelah dua puluh tiga tahun, saat Bima terbaring sakit, Tuhan mempertemukan lagi Laura dengan dirinya dan mendengar semua hal yang diceritakan Laura kepada Bima tentang semua kejadiaan dulu . Kejadiaan saat mamanya pagi-pagi datang ke rumah Laura dan menghina Laura dan menghina mama Laura juga berbohong tentang Bima yang sudah mengetahui perjodohannya dengan kolega papanya, membuat hati Bima mendidih marah.
Kenapa mamaku begitu culas? Kenapa mamaku sanggup melakukan hal kejam itu? Dan mama bisa dengan pintar berakting di depanku agar aku menyalahkan Laura yang meninggalkan diriku tanpa pesan? Mamaku ibarat serigala berbulu domba, yang sanggup melakukan semua hal demi mendapatkan mangsa. Aku sungguh membenci mama. Aku sungguh benci padanya. Mengapa tidak sedikitpun dia memikirkan tentang diriku yang sampai harus terpuruk patah hati karena ditinggalkan Laura? Bima menghela nafasnya dan air mata tampak mengenang di sudut-sudut matanya.
Laura yang selesai bercerita hanya bisa memandangi Bima sambil menarik nafas panjang. Melihat reaksi Bima yang sangat emosional ini. Berarti Bima tidak tahu tentang perbuatan mamanya. Bima juga korban kelicikan mamanya. Tapi semua sudah terjadi. Takdir saja yang tidak memihak mereka. Mereka berdua tidak bisa lagi membalikkan waktu, untuk bisa kembali bersama. Apalagi sekarang, Bima sudah memiliki istri dan anak dan Laura juga sudah mapan dengan pekerjaannya di Denmark. Sekarang bukan saatnya lagi meratapi nasib . Laura menepuk bahu Bima dan berkata.
“ Bim, aku sebelum cerita tadi sudah bilang, kalau aku cerita hanya agar tidak ada lagi yang mengganjal di antara kita. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa. Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Ini sudah hampir jam sebelas, sebentar lagi Yulia pasti akan menjemputku. Aku perlu istirahat, agar besok segar untuk melakukan pengambilan sumsum tulangmu untuk diperiksa di labaratorium. Tolong balik badannmu agar aku bisa memeriksa panggulmu, apakah ada luka atau tidak ?” Kata Laura lembut.
Bima menatap Laura dan bertanya binggung.
“ Apakah mungkin, mama ketemu kita di Hotel Indonesia, tanpa kita sadari? Dan dia mengikutiku saat mengantarmu pulang?
“Mungkin saja seperti itu, karena saat dia datang, aku sama sekali tidak mendengar dia menyebut namaku. Tapi kita tidak perlu lagi menyelidiki hal tersebut sekarang ini, tentang bagaimana mamamu tahu tentang diriku dan bisa datang ke rumahku. Semuanya sudah terjadi. Sudah kubilang, kita tidak berjodoh aja.” Kata Laura sambil meminta Bima untuk berbalik.
Otak Bima masih tidak bisa berpikir jernih, dia masih shock dengan semua yang diceritakan Laura kepadanya tentang kejadian dua puluh tiga tahun dulu. Sebenarnya masih banyak yang ingin dia tanyakan pada Laura. Tapi sekarang bukan saat yang tepat. Laura tentu sudah sangat letih.
“ Baik Ra.. Besok aja kita lanjutkan. Bagian mana yang perlu kamu periksa?’ Tanya Bima membuka baju rumah sakitnya.
“ Bukan bagian atas Bima?” Jerit Laura untuk mencegah Bima membuka bajunya. Tapi sudah terlambat. Bima sudah melepas semua kancing baju rumah sakitnya yang berwarna biru muda itu. Sekarang dadanya yang bidang terlihat jelas. Dan Laura melihat sebuah tattoo dengan tulisan B, lalu gambar hati dan tulisan L di bagian sebelah kiri dadanya Bima. Seingat Laura, Bima dulu tidak bertatto. Sejak kapan dia membuat tattoo itu? Bima yang melihat Laura terdiam melihat tattonya langsung berkata.
“ Tatto ini untuk kita. B untuk Bima yang sangat mencintai L, untuk Laura. Aku buat tatto ini, seminggu sebelum aku nikah. ” Lalu Bima menggancing kembali bajunya, karena bukan bagian d**a yang mau diperiksa Laura.
Laura memutuskan tidak mau berkomentar mengenai tattoo itu,, biar dia cepat selesai memeriksa Bima. Debaran di hatinya mendengar kata-kata Bima tadi, segera ditepisnya. Hati kecilnya mengeluarkan alarm bahaya agar dia lebih teguh dan tidak terbawa perasaan, mendengar kata-kata penuh cinta seorang Bima.
“ Kamu berbaring hadap ke kanan, Bim dan maaf, aku menurunkan sedikit celanamu ya. Agar aku bisa memeriksa panggulmu.” Kata Laura sambil menurunkan celana Bima. Tangannya benar-benar gemetar. Aku pasti sudah gila. Aku ini dokter professional. Ntah sudah berapa banyak, celana pasien yang aku turunkan demi pemeriksaan atau untuk menyuntikkan obat. Marah hati Laura pada dirinya.
“ Nggak usah minta maaf, Ra. Seharusnya semua ini adalah milikmu yang bisa kamu naikin atau turunin semaumu. ” Kata Bima pelan.
Laura kembali memutuskan diam saja dan tidak menjawab kata-kata penuh retorika dari Bima itu. Kalau dibalas bakalan panjang.
Perlahan Laura menurunkan celana piyama Bima sampai ke bagian bawah pinggannya, sedikit di bawah panggul. Lalu tangan Laura perlahan menyusuri lekuk-lekuk panggul Bima, untuk melihat adakah luka di panggul tersebut. Sepertinya bersih dari luka sekecil apapun. Laura lega, berarti besok pengambilan sumsum boleh dilaksanakan. Lalu dia menaikkan kembali celana Bima dan berkata padanya.
“ Kalau ada yang gatel , jangan digaruk ya, Bim. Nggak boleh ada luka di panggulmu, takutnya infeksi kalau ada luka. Tubuhmu saat ini, sangat rentan dengan infeksi. Kamu istirahat ya sekarang. Tidur yang nyenyak biar besok segar.” Kata Laura.
“ Kamu juga tidur yang nyenyak, pasti kamu uda sangat capek. Kita akan berbicara lagi besok setelah pemeriksaan. Malam ini aku mau menjernihkan kepalaku dulu, agar aku bisa berpikir, apa yang harus aku lakukan setelah mendengar ceritamu tadi.” Kata Bima sambil menutup matanya.
“Nggak usah melakukan apa-apa, Bima. Seperti kataku tadi, takdir yang telah memisahkan kita. Hubungan kita tetap tidak ada yang berubah. Kamu tetap pasienku yang akan aku sembuhkan dan aku tetap doktermu. Setelah sembuh kamu tetap ikut pemilihan walikota dan bertugaslah dengan baik untuk menjadi pemimpin daerah ini. Aku yakin, kamu pasti sukses.” Kata Laura membetulkan selimut Bima lalu menepuk-nepuk pundaknya. Sudah jadi kebiasaannya untuk membetulkan selimut pasien saat selesai memeriksa agar pasien merasa aman dan terlindungi.
Bima membuka matanya kembali dan mengenggam tangan Laura yang ada di pundaknya. Matanya menatap Laura dengan sinar mata yang sulit ditebak , antara terluka atau penuh tekad.
“ Terimakasih, Ra. Sudah membuatnya jelas hari ini. Aku tahu, kamu tidak mungkin meninggalkan aku tanpa alasan. Aku tahu kamu bukan wanita seperti itu. Aku mengerti keputusanmu dulu yang pergi begitu saja, karena kamu tidak bisa dihina oleh mamaku dan kamu juga tidak mau mamamu terhina, apalagi kamu pasti tidak mau mamaku menghina dirimu yang terlahir tanpa ayah. Aku sangat mengerti, semua keputusan kalian. Tidurlah. Sepertinya, Yulia sudah datang. Aku juga akan tidur, supaya besok pagi, bisa berpikir jernih.” Kata Bima pelan dan kembali menutup matanya.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar pintu di ketuk dan sosok Yulia muncul dari balik pintu. Mengucapkan selamat malam dan bertanya, apakah Laura sudah selesai memeriksa Bima? Laura menganggukkan kepalanya lalu beranjak ke meja untuk mengambil tas kuning Loewenya, memadamkan lampu kamar dan hanya menyisakan lampu tidur di sisi kiri tempat tidur lalu berjalan perlahan meninggalkan Bima yang kini tampak tertidur.
Mungkinkah Bima, bisa tidur setelah mendengarkan semua yang tadi Laura ceritakan. Bisakah dia menerima semua hal itu dan menerima kalau, memang dirinya dan Laura terpisah karena takdir yang tak mengijinkan mereka untuk bersatu? Apa yang akan Bima lakukan? Bisakah dia merubah takdir itu? Sedangkan saat ini, begitu banyak tanggung jawab yang ada di pundaknya dan juga ada penyakit yang mengerogoti tubuhnya. Sanggupkah Bima??