"Sampai bertemu besok, Della"
"Iya, kalian hati-hati dijalan" aku menggangguk, dan tersenyum pada Carissa dan Elina, yang berjalan lebih dulu.
Lalu aku beralih menatap ponsel yang berada di dalam genggamanku; sudah 15 menit aku mencari ojek online—tapi tidak ada satupun yang mengambil orderan-ku. Kalau seperti ini, aku pulang naik apa?
"Hey, sedang menunggu jemputan?"
Aku langsung menoleh, saat mendengar suara tersebut– dan dapat kulihat, Bram yang sedang berjalan menghampiriku.
"Tidak, tapi aku sedang memesan ojek online" aku menggeleng pelan, dan tersenyum padanya.
"Lalu apakah sudah dapat?" tanyanya, sambil menghentikan langkahnya di sebelahku.
"Belum, sepertinya mereka sedang sibuk" aku menggeleng pelan, dan beralih menatap layar ponselku.
"Kalau begitu, lebih baik kau pulang bersama denganku saja" ujarnya, sambil menatapku dari samping.
"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri, lagipula aku tidak mau merepotkanmu" aku menoleh ke arahnya, dan menggelengkan kepala, sambil tersenyum.
"Enggak apa-apa, aku sama sekali enggak merasa direpotkan kok" ia menggeleng dan tersenyum, tanpa melepaskan pandangannya dariku.
"Della, kamu belum pulang?"
Aku langsung menoleh, begitu mendengar suara tersebut– dan dapat kulihat, HRD-ku—pak Arya, yang baru saja keluar dari dalam gedung ini.
"Belum pak" aku menggeleng, dan tersenyum sedikit canggung.
"Lho, kenapa belum? Memangnya enggak ada yang menjemput?" tanyanya, sambil mengerutkan dahinya, dan terlihat penasaran.
"Enggak ada pak, saya pulang naik ojek online, tapi sudah hampir 20 menit, enggak ada satupun ojek online yang mengambil pesanan saya" jawabku, sambil kembali menatap layar ponselku, tapi tetap saja tidak ada satupun ojek online, yang mengambil pesananku.
"Itu berarti mereka sedang sibuk, soalnya ini kan jam pulang karyawan kantor" ujarnya, dan aku hanya menggangguk sambil tersenyum canggung, "Kalau begitu, ayo saya antar pulang saja. Dari pada kamu menunggu terlalu lama di sini" sambungnya.
Aku langsung menggeleng dengan cepat, dan lagi-lagi tersenyum canggung, "Enggak usah pak, saya bisa pulang sendiri, lagipula nanti jadi merepotkan bapak" ucapku.
"Enggak apa-apa, saya enggak merasa direpotkan. Lagipula saya enggak terima penolakan" ujarnya. Lalu ia berjalan lebih dulu, dan menuju beberapa unit mobil, yang terparkir di dekat tempat aku berdiri, "Ayo" ajaknya.
Perlahan, aku menoleh ke arah Bram yang berdiri di sebelahku, dan dapat kulihat– ia yang menatapku dengan raut wajah yang terlihat seakan kecewa, membuatku jadi merasa tidak enak padanya; karena mungkin ia berpikir, kalau aku lebih memilih pulang naik mobil—bersama dengan pak Arya, dari pada pulang naik motor bersama dengannya. Padahal itu sama sekali tidak benar, karena aku memang tidak ingin pulang dengan diantar oleh dirinya, atau siapapun, hanya saja pak Arya memaksa ingin mengantarku pulang.
"Aku pulang duluan ya Bram, dan. . . Maaf" aku menunduk dan mengulum bibirku, sebelum akhirnya aku berjalan menghampiri pak Arya.
***
Aku dan pak Arya sedang berada di dalam mobil, dan menuju rumahku. Tapi saat ini, aku terus kepikiran oleh Bram. Sungguh, aku merasa sangat tidak enak padanya, karena aku sudah menolak tawarannya—yang ingin mengantarku pulang.
"Della, kenapa diam aja?"
Aku langsung terperanjat, saat mendengar suaranya pak Arya, "E-Enggak apa-apa kok, pak" jawabku dengan sedikit gugup, sambil menggelengkan kepala, dan tersenyum canggung.
"Kalau enggak apa-apa, kenapa melamun? Apakah ada yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya, sambil menoleh ke arahku.
"Sebenarnya, saya merasa tidak enak pak" aku menundukkan kepala, dan mengulum bibirku.
"Kenapa begitu?" ia kembali bertanya, dan menoleh ke arahku sesaat.
"Soalnya saya jadi merepotkan bapak" aku menjawab, dengan kepala yang tetap tertunduk.
Ia tertawa pelan, membuatku menoleh ke arahnya, dan melihatnya yang menggelengkan kepalanya, sambil menatap jalan yang dilewati, "Kamu tidak perlu merasa tidak enak Della, karena saya sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagipula, kan saya yang mau mengantar kamu pulang" ujarnya.
"Iya sih pak, tapi tetap aja saya jadi merasa enggak enak" aku menunduk, dan tersenyum canggung. Karena aku juga memang merasa tidak enak padanya, sebab aku jadi merepotkannya, belum lagi bagaimana jika ada yang melihat kami pulang bersama? Nanti mereka akan berpikir, kalau kami mempunyai hubungan yang spesial—atau lebih parahnya, mereka menduga kalau aku sengaja mendekati pak Arya, karena ia adalah seorang HRD.
"Kalau begitu sebaiknya tidak usah dipikirkan" katanya, tanpa menoleh ke arahku, dan aku hanya menggangguk, "Oh ya? Alamat rumahmu sesuai dengan yang tertera, di surat lamaran kerja, kan?" tanyanya, membuatku menoleh ke arahnya.
"Iya pak, itu alamat rumah saya" aku menggangguk, dan menatapnya dari samping.
"Baik, tapi jangan memanggil saya bapak, kan kita sedang berada di luar kantor" ia menoleh ke arahku, dan menatapku sesaat, "Sebaiknya panggil nama saja. Lagipula, umur kita hanya beda 3 tahun saja" sambungnya.
"T-Tapi, bapak kan atasan saya, jadi sudah sepantasnya kalau saya memanggil bapak dengan panggilan tersebut" aku menunduk, dan tersenyum canggung.
"Iya, tapi itu kalau sedang di kantor" ia menggangguk, tanpa menoleh ke arahku.
"Tapi kalau saya panggil nama aja, juga enggak sopan, pak. Karena umur bapak lebih tua di atas saya" ujarku dengan hati-hati, dan tetap menundukkan kepala.
"Kalau begitu, panggil mas aja" ujarnya, membuatku langsung menoleh ke arahnya, dan membulatkan mataku, "Atau kamu boleh panggil saya sesuka hati kamu asal jangan bapak, karena saya belum bapak-bapak" sambungnya, yang menoleh ke arahku, dan membuatku langsung menundukkan kepala, karena takut beradu pandang dengannya.