Flashback

1142 Words
Seperti biasa saat jam istirahat aku akan menghabiskan waktu istirahatku di kantin sekolah, bersama dengan pria yang sangat kucintai, yaitu Arsen. Dan begitu pula dengan hari ini. "Hey" Aku langsung mengangkat kepalaku, saat mendengar suara tersebut, dan dapat kulihat—pria yang kutunggu sedang berdiri di depanku. "Hai Arsen" aku tersenyum, dan menatapnya. "Apakah aku membuatmu menunggu lama?" tanyanya, sambil mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi panjang, yang berada di depanku. "Tidak" aku menggeleng pelan dan tersenyum, sambil mengaduk segelas jus yang berada di depanku, dengan menggunakan sedotan. Terkadang, aku merasa menjadi gadis yang begitu beruntung; sebab aku berhasil merebut hati seorang murid, yang paling dikagumi di sekolah ini. Siapa yang tidak kenal dengannya? Seorang murid yang tampan rupawan, pintar, kaya raya, dan sangat berprestasi. Bahkan ia menjadi idola para gadis di sekolah ini. Dan jangan lupakan, ia yang merupakan seorang kapten tim basket di sini. Rasanya tak kan ada habisnya, jika mendeskripsikan betapa sempurna dirinya. Ia hanya mengangguk, dan menundukkan kepalanya, tapi tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi murung dalam seketika, sehingga membuatku menjadi bingung, dan mengerutkan dahi. "Sebenarnya, ada yang ingin aku bicarakan padamu" ujarnya, dengan kepala yang tetap ia tundukkan. Seketika, perasaan aku langsung terasa tidak enak– setelah mendengar yang baru saja ia katakan. "Yang ingin kau bicarakan? Apa?" aku mulai bertanya padanya, dan berusaha untuk tetap tenang. "Setelah lulus nanti. . . Aku akan pindah ke Australia dan berkuliah di sana" ia mengangkat kepalanya, dan menatapku dengan dalam. Aku langsung membeku, dan mendadak jadi patung, setelah mendengar kalimat yang baru saja ia lontarkan. Sungguh, aku merasa seperti ditampar dengan begitu keras. Dan tanpa aku sadari, air mata mulai mengalir dan membasahi pipiku. "A-Australia?" aku kembali bertanya dan menatapnya dengan tidak percaya. "Iya, Australia, orang tuaku menyuruhku untuk berkuliah di sana" ia mengangguk dan masih menatapku. Namun aku hanya terdiam dan menatapnya tanpa berkata apa-apa. "Tapi kau tenang saja, aku hanya berkuliah selama 3 tahun—setelah lulus aku akan kembali dan bekerja di sini. Dan saat liburan, aku akan menghabiskan waktu liburanku di negara ini bersama dengan dirimu" tambahnya sambil menggenggam tanganku dengan begitu erat. Tubuhku bergetar hebat—tak kuat lagi untuk menahan tangisanku, yang sudah hampir pecah. Australia? 3 tahun? Apakah aku kuat menjalani hubungan jarak jauh dengannya selama itu? Berada di negara dan kota yang sama saja, terkadang masih membuatku merindukannya, bagaimana jika berada di negara yang berbeda? 1 minggu kemudian. . . Hari ini adalah hari kelulusan, sebuah hari—yang paling ditunggu oleh semua murid kelas 3 termasuk diriku. "Kira-kira aku lulus atau tidak ya?" "Tidak tahu, kita coba lihat saja" Aku berjalan melewati murid-murid lain, dan menuju papan mading, untuk melihat pengumuman kelulusan yang dicantumkan di sana. Aku langsung menghentikan langkahku, setelah tiba di dekat papan mading, dan dapat kulihat– murid-murid yang sedang berdiri dan menghalangiku. "Permisi, aku juga ingin melihat" ujarku, sambil menatap punggung mereka. Beberapa dari mereka langsung menyingkir dan memberikanku ruang. Segera aku berjalan mendekati papan mading dan memperhatikan beberapa lembar kertas yang ditempel. Sebuah senyuman mulai terukir di wajahku, saat aku melihat namaku— yang tertera di salah satu kertas tersebut. "Aku lulus" aku bergumam pelan. Rasanya begitu senang, dan juga sedikit tidak percaya; setelah 3 tahun aku menempuh pendidikan di sekolah ini, akhirnya aku bisa lulus juga. Dan itu artinya– sebentar lagi aku akan bekerja, dan mempunyai penghasilan sendiri. Namun senyuman kebahagian luntur begitu saja dari wajahku, saat aku tak sengaja membaca namanya Arsen—ia juga lulus, dengan nilai yang begitu tinggi, bahkan paling tinggi dibandingkan dengan murid lain. Perlahan, aku melangkah mundur dan membalikkan tubuhku, meninggalkan papan mading, dengan kepala yang aku tundukkan. Sebuah hari yang paling aku nantikan—sekaligus tidak aku inginkan, akhirnya tiba. Di mana dihari tersebut, mungkin akan menjadi hari terakhirku bersama dengan Arsen, sebab setelah itu ia akan pergi ke Australia, dan akan berkuliah di sana; seperti yang ia katakan padaku, satu minggu yang lalu. Aku terus berjalan tanpa arah, dengan kepala yang tetap aku tundukkan. Haruskah aku melarangnya untuk tidak pergi? Bolehkah aku egois untuk kali ini saja? "Kalau begitu semoga kuliahnya lancar di sana. Saya sangat bangga padanya karena ia lulus dengan nilai yang paling tinggi" Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara tersebut. Lalu aku menoleh ke sebelah kiri yang merupakan ruangan Kepala Sekolah—pintunya terbuka, dan aku dapat melihat Kepala Sekolah, Arsen, dan ibunya yang sedang berada di dalam, dan membicarakan sesuatu. Aku terus memperhatikan mereka, tanpa beranjak dari tempatku berdiri. Tapi tiba-tiba, Arsen melihat ke arahku– segera aku memalingkan pandanganku ke depan, dan kembali melanjutkan langkahku. Sial! Kenapa ia menyadari kehadiranku? Aku berkata di dalam hati, dan terus berjalan dengan kepala tertunduk. "Della, tunggu!" pekiknya. Namun aku terus saja berjalan, dan mempercepat langkahku, agar ia tidak bisa mengejarku. Tapi tiba-tiba langkahku langsung terhenti, saat Arsen berhasil menahan tanganku. "Della, kenapa pergi begitu saja?" tanyanya. Aku menghela nafasku dengan sedikit kasar, dan menoleh ke arahnya, "Karena aku tidak mau bertemu denganmu lagi" jawabku dengan datar, sambil menatapnya tanpa ekspresi di wajahku sedikitpun. Namun tidak dapat dibohongi, aku masih begitu ingin terus memandangi wajah tampannya; wajah yang selalu aku perhatikan hampir disetiap harinya—selama 3 tahun ini. "Tapi kenapa seperti itu? Apakah aku mempunyai salah padamu?" ia kembali bertanya, dan masih mencengkram tanganku, tanpa melepaskan pandangannya dariku. "Kau tidak memiliki salah apa pun. Dan mulai saat ini, kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi, karena hubungan kita sudah berakhir sampai di sini!" aku berkata, sambil menatapnya dengan sedikit tajam. Matanya langsung membulat usai mendengar yang baru saja aku katakan. Lalu ia menggelengkan kepalanya, dan memegang kedua tanganku, "Tidak Della! Aku tidak ingin hubungan ini berakhir, karena aku sangat mencintaimu, dan aku selalu ingin bersama denganmu" ucapnya, sambil menatapku dengan dalam. "Tapi aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh, karena hal itu begitu berat untukku!" aku berkata dengan nada bicara yang sedikit lebih tinggi dari sebelumnya sambil menahan emosiku yang sudah hampir meledak. "Aku juga tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh, tapi kita masih bisa berkomunikasi via handphone" ucapnya yang masih menatapku dengan dalam. Aku hanya menghela nafasku dengan kasar dan memalingkan pandanganku darinya. Sebenarnya keputusan ini begitu berat untuk kami berdua, tapi mau bagaimana lagi? Keputusan ini sudah bulat aku tidak mau—menjalani hubungan jarak jauh. Aku egois? Memang, dan aku mengakui itu. "Della, kumohon, jangan akhiri hubungan ini. Karena aku benar-benar sangat mencintaimu, dan ingin terus bersama denganmu. Hanya dirimu yang kucinta, Della. Bahkan aku sudah berencana, setelah lulus kuliah, aku ingin melamar dan menikahi mu, karena aku ingin menjalani hidupku bersama denganmu, hingga akhir hayat nanti" tuturnya yang menyadarkan ku dari lamunan. "Maafkan aku Arsen, tapi aku tetap tidak bisa. Terima kasih untuk waktu 3 tahun yang telah kau berikan, dan maaf untuk segalanya" aku menoleh ke arahnya dan menatapnya sesaat, sebelum akhirnya aku melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tanganku. Kemudian aku kembali melanjutkan langkahku, dan meninggalkannya yang terpaku. > Flashback End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD