Bab 6 [Mbok Nah]

1514 Words
Hari ini hari Minggu. Dimana hari yang tepat untuk merefreshkan pikiran dari berbagai tugas yang ada ataupun masalah yang terjadi. Ada juga yang memilih bangun siang untuk lebih menikmati waktu liburnya dengan tidur. Tempat-tempat wisata biasanya memang ramai jika di hari libur. Pagi-pagi sekali, Ningsih telah bersiap diri. Karena hari ini ia harus ke rumah Mbok Nah juga sorenya kembali ke rumah kosnya. Melelahkan memang. Tetapi, hal ini tak ada apa-apanya dibanding melepas rindu yang seakan ingin memberontak untuk segera bertemu. "Berangkat sekarang, mbak?" Ningsih menoleh kearah Bu Dien dengan senyuman manis. Rajin sekali Bu Dien. Pagi-pagi begini sudah menyapu halaman rumahnya sambil menggendong Aira yang terbangun itu. Dimana memang suaminya? Ngomong-ngomong memang Ningsih belum pernah melihat wajah suami Bu Dien. "Ini masih pukul 5 pagi, lo. Gak takut jalan ke depan sendirian?" "Tidak, Bu. Lagipula pasti banyak para petani yang berangkat ke sawah," jawab Ningsih sembari menyelipkan rambutnya ke telinga. Bu Dien terpaku dengan penampilan Ningsih yang tampak berbeda. Memang ia kerap sekali melihat Ningsih tanpa jilbabnya ketika tak mengajar. "Ya sudah, hati-hati, mbak." Ningsih mengangguk. Ia berjalan dengan tenang. Menikmati udara pagi. Sekelebat kejadian tadi malam membuatnya bergidik takut. Bagaimana ia melihat langsung penampakan tersebut. Menyeramkan sekali. Itu kali pertamanya ia melihatnya. Ia memang tak pingsan, bahkan tak menjerit, hanya air mata tertahan yang bisa ia luapkan. Ningsih membuka matanya pelan. Ia ingin ke kamar mandi. Lampu masih mati, entah sampai jam berapa. Ia memberanikan diri untuk ke kamar mandi dengan meraba-raba dinding. Udara yang dingin membuatnya merasa ingin buang air kecil. Sesudah dari kamar mandi, ia melihat selambu rumah kosnya terbuka. Mungkin ia lupa menutupnya. Ia pun berjalan kearah depan hendak menggeser selambu agar menutup jendela sepenuhnya sebelum tatapan nan tajam itu membuatnya tersentak kebelakang dan membuatnya langsung menggeser selambu. "Astaghfirullah," ujarnya menahan tangis. Apa itu tadi? Manusia ataukah makhluk tak kasat mata? Ia tak bisa mendeskripsikan bagaimana bentuknya. Ia hanya melihat tatapan tajamnya yang memerah. Ia menjadi gemetar. Sebenarnya apa yang terjadi dibalik rumah kosong itu? Kenapa semakin hari semakin menyeramkan saja. Ningsih mengusap wajahnya kasar. Ia masih berada di tengah jalan dan masih jauh untuk menuju jalan raya. Banyak pepohonan yang lebat, menjadikan jalan tampak gelap. Namun, yang membuatnya lebih tercengang ketika mendapati daerah ini sepi. "Entah apa yang tak kuketahui disini. Memang terkesan misterius," lirihnya. Ia melanjutkan jalannya dengan cepat. Berusaha mengabaikan perasaan takut yang timbul. Ia harus menjadi wanita yang kuat dan pemberani. **** "Mbok Nah, Mbok Nah," teriak Ningsih ketika telah sampai di rumah Mbok Nah. Ia melemparkan slingbagnya ke kursi yang ada di ruang tamu. Lalu ia mencari-cari keberadaan Mbok Nah.  "Mbok Nah, dimana?" teriak Ningsih lagi. Ia sudah mencari diseluruh penjuru ruangan namun tak menemukan keberadaan Mbok Nah. Mungkin sedang di kebun, pikirnya. Ia keluar rumah dan mencari Mbok Nah di kebun. Sebelum suara tetangga menghentikan langkah kakinya. "Mbok Nah ada di rumah sakit, Ning," ujar tetangga yang rumahnya agak ujung. Ia yang membantu menjaga Mbok Nah selama dirinya sedang berada di luar kota. Ia yang membayar tetangganya itu. Kenapa ia tak mendapatkan kabar penting ini? Raut wajah Ningsih begitu khawatir. "Lalu sekarang bagaimana keadaan Mbok Nah? Mbok Nah di rawat di rumah sakit mana?" tanya Ningsih bertubi-tubi. Tetangganya itu mengusap pelan bahu Ningsih. "Sabar, Ning. Ayo ikut mbak. Mbak juga mau ke rumah sakit. Tadi mbak izin pulang membuatkan makanan untuk anak-anak. Dari kemarin mbak sudah menginap di rumah sakit. Bahu Ningsih langsung lemas. "Sudah berapa hari? Dan kenapa tak ada yang mengabariku?" tanyanya dengan air mata yang mulai menangis. Tetangganya itu mengantarnya menemui Mbok Nah dengan menggunakan montor yang dipinjamnya lewat Pak Supri. "Mbok Nah sudah terbaring selama dua hari, Ning," jawab tetangganya itu saat di perjalanan. Ningsih mengusap air matanya pelan. Ia  bingung harus bagaimana? Haruskah ia melepaskan pekerjaannya dan merawat Mbok Nah saja? Tetapi jika ia melepaskan pekerjaannya, Mbok Nah akan kecewa.  Kepala Ningsih rasanya semakin pening. Belum lagi masalah yang ada di rumah kosnya. Belum lagi memikirkan soal biaya rumah sakit Mbok Nah. Ia tak memiliki uang. Uangnya sudah terbagi-bagi buat keperluannya di rumah kos, biaya untuk orang yang menjaga Mbok Nah saat ia merantau. Siapa yang akan dengan senang hati membantunya kali ini? Ia benar-benar membutuhkan bantuan.  Ningsih membuka kamar rawat inap Mbok Nah dengan wajah sayu. Ia menatap sedih pada sosok yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Baru seminggu ia tinggal, tubuh itu sudah mengurus. Ingin menangis dan meluapkan segala amarah yang ia pendam. Tetapi, itu tak mungkin ia lakukan. Bukannya nanti meredakan masalah justru akan menambah masalah baru. Ningsih mengusap pelan jari-jemari Mbok Nah. Berharap kedua mata itu terbuka memandangnya. Ternyata kamar rawat inap Mbok Nah bukan kamar biasa. Pasti biayanya sangat mahal.  Ia memutuskan untuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar Mbok Nah. Membuka tasnya dan menghitung uang tabungannya. Tinggal sedikit. Harus dimana ia berutang kali ini? "Ya Allah," keluh Ningsih sambil mengusap wajahnya. Ia terduduk lesu di dalam kamar mandi. Untung baunya harum. Mengacak rambutnya dengan kasar. Ia harus kuat. Yakin bahwa pasti akan ada yang menolongnya. Allah masih bersamanya. Ia tak boleh meragukan kekuasaannya.  Ningsih membuka pintu kamar mandi pelan dan membenarkan kunciran rambutnya yang berantakan. Ia melihat Mbok Nah sudah terbangun. Kedua bibirnya mengembang. "Ning," panggil Mbok Nah. "Nggih, mbok (Iya, mbok)." Jika bersama Mbok Nah, ia akan menggunakan bahasa Jawa. Walaupun di tempatnya mengajar masih daerah Jawa juga, tetapi desa Manggis kebanyakan penduduknya para manusia yang sedang merantau. Tempat tinggal aslinya di luar Pulau Jawa. "Ngapunten, Ning. Mbok mboten saged bahagiaken, Ning. Mbok nyusahaken, Ning (Maaf, Ning. Mbok belum bisa bahagiakan, Ning. Mbok masih menyusahkan, Ning)." Ningsih menunduk sedih. "Mbok ngoming opo, seh (Mbok ngomong apa, sih)." "Mbok ngerti yen Ning durung due duit kangge mbayar rumah sakit iki. Terus kebune gak enek hasile bulan iki. Ning yo butuh duit kangge ngekos (Mbok tahu jika Ning belum punya uang buat bayar rumah sakit ini. Lalu kebun kita gak ada hasilnya bulan ini. Ning juga butuh uang buat ngekos.)" Ningsih menggeleng-gelengkan kepala pelan. Kenapa Mbok Nah berfikiran seperti ini? Sedangkan selama ia hidup ia selalu menyusahkan Mbok Nah. Mbok Nah yang selalu merawatnya dengan baik, kini saatnya Ningsih yang harus mengabdi pada Mbok Nah. Ia tak pernah berfikir sedikitpun akan apa yang dibicarakan Mbok Nah. Ia hanya ingin Mbok Nah sembuh dan tetap bersamanya sampai ia meraih impiannya selama ini. Sedangkan, masalah uang ia akan berusaha semaksimal mungkin. Ia akan berusa untuk mendapatkannya, bagaimanapun caranya. Asalkan Mbok Nah sehat dan tak terbaring di ranjang ini. "Mbok Nah sing penting mari. Mbok ojo berfikiran ngono (Mbok Nah yang penting sembuh. Mbok jangan berfikiran begitu)," ujar Ningsih. Mbok Nah memegang tangan Ningsih. Meremasnya pelan. "Ning, mbok pesen ojo gampang balik ning kene. Duitmu kui tabungen kangge masa depanmu. Mbok ra iso ngewehi opo-opo saiki (Ning, mbok pesan jangan gampang pulang disini. Uangmu itu ditabung saja buat masa depanmu. Mbok tidak bisa kasih apa-apa sekarang)." Mbok Nah menarik nafas pelan. Kedua matanya menerawang. Ada maksud tersirat dalam perkataannya. Entah apa yang disembunyikan Mbok Nah. Ningsih tak dapat menyelami isi kedua matanya. "Ning, nyang ngendi wae awakmu kudu jogo sopan santun lan ojo sampe ngurusi wong liyo. Urusanmu yo urusanmu, ojo sampe awakmu melu-melu ngurusi wong liyo. Kadang sing mok anggap sepele iso gae awakmu sengsara, Ning (Ning, dimanapun kamu berada harus jaga sopan santun dan jangan sampai ikut campur masalah orang lain. Terkadang apa yang kamu anggap sepele justru dapat membuatmu sengsara, Ning)," lanjut Mbok Nah.  Ningsih mengangguk membenarkan. Apa yang dikatakan Mbok Nah akan selalu ia ingat. Mbok Nah tahu bahwa Ningsih selalu penasaran akan hal-hal yang selalu misterius. Itulah yang membuat Mbok Nah khawatir. Bagaimanapun kita tak dapat melihat bagaimana sikap seseorang sesungguhnya. Bagaimana sebenarnya orang tersebut. Apakah memang benar-benar baik atau hanya pura-pura. Sulit sekali menebak perasaan seseorang. Mbok Nah tak tega jika suatu saat meninggalkan Ningsih sendirian. Ia semakin tua, tubuhnya juga semakin rapuh setiap harinya. Satu hal yang tidak diketahui Ningsih bahwa setelah ditinggal Ningsih ada suatu kejadian yang membuatnya hanya mampu terdiam membisu. Tak dapat mengungkapkan bahkan mengatakan. Hal yang membuatnya sampai selalu kepikiran dan membuatnya sakit terbaring disini.  "Mbok, turu wae saiki. Ojo mikirno opo ae selain kesehatan Mbok Nah (Mbok, tidur saja sekarang. Jangan memikirkan apapun selain kesehatan Mbok Nah. Ningsih sayang sama Mbok Nah)," ujar Ningsih. Mbok Nah tersenyum dan mengangguk. Dalam hati berdo'a berharap ada seseorang yang bisa menjaga Ningsih suatu hari. Tidak ada yang tahu selain suami dan kedua orang tuanya bahwa Mbok Nah adalah indigo. Ia sudah bisa menyikapi suatu hal yang diluar nalar. Hanya saja, ia tak menyangkan akan kejadian beberapa hari yang lalu. Ia akan menyelesaikannya sendiri.  Ningsih membenarkan selimut Mbok Nah. Ia memutuskan keluar kamar inap. Ia akan mencoba meminta bantuan kepada tetangganya. Ah, ia melupakan sesuatu. Ia harus ke rumah Pak Supri. Menanyakan perihal masalah kebun.  Ia menatap langit yang mulai mengeluarkan air-airnya. Rintik-rintik hujan membasahi rambutnya. Ningsih menghela nafas lelah. Ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Berlari menuju Halte depan untuk mencari angkot. Mudah-mudahan ia tak perlu menunggu lama. Waktunya begitu singkat disini. Ia tak bisa izin kerja karena baru 6 hari kerja. Sekarang bahkan sudah hampir sore. Waktu memang tak terasa begitu cepat berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD