Bab 5 [Keputusan Pak Li]

1514 Words
Malamnya, Ningsih mengantarkan Shofi ke rumahnya. Tadi sore ia sudah menuju rumah kos Pak Li, namun rumah itu masih tutup. Entah dimana Pak Li. Kenapa tega meninggalkan Shofi sendirian di rumah bahkan Shofi sampai berkeliaran di dekat tempat mengajarnya. Perasaan Ningsiih kali ini benar, sepertinya Shofi memang ingin sekolah. Ningsih nanti akan berusaha untuk membicarakan kepada Pak Li. Ningsih menggendong Shofi dan membawanya pulang. Ia menggunakan senter dari ponselnya untuk penerangan. Baru setengah perjalanan, lampu-lampu rumah pada redup. Walau begitu, ada bintang yang banyak bertebaran di langit. Ia memeluk erat Shofi, gadis itu tampaknya begitu kedinginan. Maklum, sekarang sudah pukul 19:20 malam. Setelah sholat isya', Ningsih segera mengantarkan Shofi. Ia menatap wajah Shofi kembali. Wajahnya sangat pucat, bibirnya membiru. Ia khawatir sekali dengan keadaannya. "Astaghfirullah," pekik Ningsih. Ia hampir saja jatuh ke tanah. Kakinya tersandung batu. Sakit sekali. Tetapi, ia takkan menghentikan langkahnya. Ia mengelus pelan rambut Shofi. Ia memfokuskan senter ponselnya. Baterainya tampak memerah. Ia jadi bingung, nanti pulangnya bagaimana? Kedua matanya mengerjap, ada seseorang membawa pacul tengah berdiri di depan rumah kos Pak Li. Siapa itu? Ia menjadi gemetar sendiri. Takut jika memang melihat penampakan. Bajunya tampak kotor. Lelaki itu membuka pintu rumah Pak Li. Ningsih melangkahkan kakinya mendekat. "Pak Li?" tanya Ningsih pelan dan sedikit ragu. Kepala itu memutar ke belakang. Benar saja, itu Pak Li. Ningsih mengucapkan syukur. Tetapi, ada yang berbeda. Tatapan Pak Li mengarah kepada Shofi. Kedua matanya memerah. Pak Li mengambil Shofi dari gendongannya. Mengusap dahu anaknya pelan. "Kenapa bisa sama kamu?" "Maaf, Pak Li. Tadi Ningsih bertemu sama Shofi di dekat saya mengajar. Lalu saya membawa Shofi ke rumah kos saya. Saya sudah dua kali datang ke rumah Pak Li, tetapi Pak Li tak ada di rumah," jelas Ningsih. Pak Li mengangguk. Ia tak mempersilahkan Ningsih untuk masuk. Tak lama kemudian, Pak Li menghampiri Ningsih dan mengajaknya berbicara di luar rumah. Agar tak menimbulkan fitnah untuk keduanya. Terlebih dengan status Pak Li yang duda satu anak itu. "Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Pak Li to the point. Peka sekali. Wajah Pak Li tampak datar dan tak seramah saat pertama kali membantunya. Ningsih menatap ponselnya yang sudah mati. "Saya ingin mengajar Shofi dengan sukarela. Apa Pak Li mengizinkan?" Pak Li menatap kedapan. Ia berdiri lalu membuang pot yang berisi bunga kaktus. Ningsih tersentak kaget atas perilaku Pak Li yang baru ia temui kali ini. Tampak berbeda, dan terkesan pemarah. Mungkin lagi ada masalah, begitu pikirnya. "Saya tak mengizinkan." "Kenapa Pak Li? Saya ikhlas. Shofi begitu ingin sekolah." "Lebih baik kamu segera pulang! Ini sudah malam, tak baik kamu pulang terlalu malam terlebih lampu pada mati. Desa ini tak sebaik apa yang kamu pikirkan," ujar Pak Li lalu masuk ke dalam rumah. Menguncinya dari dalam. Ningsih berusaha mencerna perkataan Pak Li. Desa ini tak sebaik apa yang kamu pikirkan? Maksudnya apa? Ningsih beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan rumah kos Pak Li. Ia berjalan menuju pulang tanpa adanya penerangan. Gelap. Belum ada jam 9 malam, tetapi banyak rumah yang sudah tutup. Ah, bukan. Lebih tepatnya semua rumah sudah tutup. Jika di desanya dulu, jam segini masih banyak yang buka. Terlebih mengobrol di angkringan dengan suguhan kopi dan gorengan. Ningsih jadi merindukan tempatnya lahir itu. Ia sudah memutuskan minggu ini akan pulang menemui Mbok Nah. Ia mengusap pelan kedua tangannya. Rasa dingin menyeruak. Tak terasa ia telah sampai di depan rumah kosnya. Ia menatap rumah depannya yang gelap itu. Segera mungkin ia masuk dan mengunci pintu. Ia berjalan ke kamar mandi dengan gelap. Meraba-raba dinding. Baru kali ini ia merasakan hal seperti ini. Suara burung hantu kembali terdengar. Ningsih menghela nafas lelah. Kenapa masih ada suara burung hantu itu? Sejak ia tidur pertama kali disini, suara burung hantu itu tetap terdengar dan tidak jua menghilang. Ia menjadi lelah sendiri. *** "Ning, hidup di dunia ini memang tak mudah. Ada saja cobaannya. Ya, kita sebagai manusia cuman bisa berusaha dan berdo'a. Mendekatkan diri kepada sang Pencipta." Pak Li menarik nafas sejenak, "Saya pasrah, Ning. Tetapi apapun keputusan bapak tetap sama. Shofia tidak bisa sekolah." "Tapi, pak. Saya ikhlas mengajar Shofi," bujuk Ningsih. Ia melihat Shofi yang menunduk sedih. "Saya tahu Shofi ingin seperti yang lainnya, tetapi inilah salah satu cara saya agar Shofi tetap hidup bersama saya. Terlebih kasus pembullyan yang kerap terjadi membuat saya menjadi tak rela melepas Shofi sepenuhnya. Memang saya terkesan membatasi Shofi. Tetapi, keputusan saya sudah bulat. Terima kasih atas sikap mulia, Ning. Saya terima, tetapi maaf. Saya tetap dengan keputusan saja." Ningsih menganggukan kepala pelan. Jika Pak Li tak mengizinkannya, ia bisa apa? Tetap memaksa akan membuat hubungannya dengan Pak Li memburuk. Mengajari Shofi diam-diam justru nantinya akan membuat Pak Li marah. Bagaimanapun, Shofi tak boleh terlalu capek. Ningsih menggumamkan kata maaf kepada dirinya sendiri. Ia gagal memperjuangkan niat baiknya. Biarlah takdir yang akan menunjukkan nantinya. Semoga nantinya ada seseorang yang dapat menghangatkan hati maupun pikiran Pak Li. Membuka penglihatan Pak Li akan pendidikan begitu penting untuk anak-anak. Seusai mengajar tadi, ia kembali menemui Pak Li. Berusaha membujuk agar Pak Li mau menerima pendapatnya. Lagipula ini semua untuk masa depan Shofi juga. Ternyata, ketika ia kesana, Pak Li juga baru pulang dari rumah sakit. Waktunya kontrol Shofi. Katanya, keadaan Shofi semakin parah. Ia merasa bersalah. Ingin sekali membantu mencarikan pendonor jantung untuk Shofi, tetapi dimana ia harus mencari? Sedangkan ia tak memiliki kekuasaan yang besar. Tak memiliki uang yang melimpah. Ia hanyalah seorang guru honorer yang baru mengajar belum ada seminggu. Uang yang ia dapat pun nantinya juga pasti untuk membeli obat-obatan Mbok Nah. "Saya pamit pulang, pak. Semoga Shofi segera sembuh, ya," ujar Ningsih. Ia tersenyum tipis menatap Shofi. Gadis itu memang benar-benar pucat. Pak Li hanya menganggukkan kepala. Ningsih dapat mendengar Pak Li menyuruh Shofi untuk banyak-banyak istirahat. Benar apa yang dikatakan Pak Li. Kita hanya bisa berusaha dan berdo'a. Selebihnya, hanya pasrah mengikuti takdir. Bagaimanapun kita memaksa, jika takdir selangkah lebih maju, ia juga akan kalah nantinya. Kalah dengan perasaan dan pemikiran yang tak terwujud. Tetapi, kita memang harus memiliki kepercayaan akan masa depan. Jika memang sekarang dalam keadaan yang tak baik-baik, percaya bahwa nanti akan ada masanya yang indah menemui hidupmu. Ningsih tersenyum tipis akan hal ini. Jika diingatkan akan masa lalu, ia ingin menangis. Bagaimana dulu ia pernah mendapatkan kekerasan oleh kakeknya sendiri. Kakeknya memukul dirinya dengan sabuk. Tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Mbok Nah memperingatkan suaminya agar tak berlaku seperti itu kepada cucunya. Hingga akhirnya, kakeknya menjadi lebih ramah padanya. Bahkan bisa dibilang sangat menyayanginya. Ia tahu, tidak akan ada akibat tanpa adanya sebab. Pasti dulunya ia nakal. Pasti dulunya ia sangat merepotkan orang lain. "Ning," panggil Bu Dien yang sedang menimang putrinya, Aira. Ia mendekat, wajahnya terkejut menatap ruam merah ditangan Aira. "Aira, kenapa Bu?" tanya Ningsih penasaran. "Terkena gigitan nyamuk." "Lekas diobati, Bu," ujar Ningsih. Bu Dien mengangguk. "Maklumlah, rumah sekecil itu pasti banyak nyamuknya," ujar Bu Dien yang terkesan menggerutu. "Bukan karena rumahnya, Bu. Biasanya karena kotor banyak nyamuk yang masuk. Kalau bisa bak mandi juga harus ditutup agar nyamuk tak bertelur disana." "Capek, Ning. Membersihkan rumah, memasak, memandikan Aira, menjaga Aira yang suka rewel. Aduh, saya udah pusing. Lha, suami saya saja cuman sibuk bekerja, tetapi uang yang didapatkan tak seberapa," gerutu Bu Dien. Ningsih hanya tersenyum tipis menanggapi. Ia bingung harus mengatakan apa lagi. Karena ia juga belum memiliki pengalaman. Tetapi, dengan adanya banyak kejadian ia bisa belajar dari beberapa kejadian yang ada. Ia akan mendidik anaknya sebaik mungkin. Menjaga keluarganya dengan baik. "Ohh ya, Ning. Besok minggu jangan lupa ikutan bersih-bersih desa, ya!" "Maaf, Bu. Saya lagi pulang kampung. Mau mengunjungi nenek saya. Nenek saya sendirian di rumah," jelas Ningsih. "Ya sudah kalau begitu, lain kali saja. Disini tiap minggu selalu ada acara bersih-bersih desa. Bukan hanya itu saja. Para bapak-bapak biasanya akan memancing di depan sana." Bu Dien mengusap dahi Aira yang berkeringat. "Kamu tahu pak Somad, pemilik rumah kos yang kamu tempati itu, kan?" Ningsih mengangguk. "Nah, pak Somad tiap minggunya juga akan bagi-bagi beras sekilo. Lumayan, Ning. Tetapi harus datang pagi-pagi sekali biar gak kehabisan. Kalau dulu sih tersedia sebanyak 50 kilo, Ning," jelas Bu Dien. Ningsih tersenyum. Pak Somad ternyata baik juga. Walau wajahnya tampak menyeramkan. Ningsih menundukkan kepala, ia pamit untuk pulang menuju rumah kosnya. Sekali lagi, sebelum ia memasuki rumah. Ia akan melihat rumah yang ada dihadapannya. Ia jadi ingin kesana. Ah, pemikiran apa itu? Rumah itu membuatnya penasaran karena suara burung hantu itu. Jika seminggu kedepan masih ada suara burung hantu, ia akan meminta bantuan Pak Li untuk mengusirnya. Ia tak nyenyak dalam tidurnya. Jujur saja, ia merasa tak tenang dan terganggu akan suara burung hantu itu. Aura rumah di depannya juga negatif. Ia dapat merasakan hal itu. Sepertinya banyak hal tersembunyi disana. Ia juga ingin tahu siapa pemilik rumah tersebut. Rumah itu sebenarnya bagus, hanya saja tak terawat sehingga menjadi kotor dan kumuh. Ada sumur di samping belakang rumah itu. Ningsih mengedikkan bahu. Ia segera masuk ke dalam rumah. Ia akan memutuskan untuk masak saja daripada tak ada kegiatan lagi. Rasa capek setelah mengajar tak dapat ia rasa. Senang sekali dengan siswa-siswinya yang tampak antusias membuatnya jadi lebih semangat dalam melakukan berbagai aktivitas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD