Joon Ki tampak kecewa saat melihat reaksiku.
Orang - orang sering bilang, wajahku seperti buku. Mudah dibaca. Jika sedang sedih, senang atau kecewa raut wajahku akan menampakkan perasaanku secara sempurna.
"Hei, ada apa dengan ekspresimu?" Telapak tangan Joon Ki yang besar mengelus pipiku secara berulang.
"Entahlah. Aku takut."
"Apa yang kamu takutkan?" Joon Ki menggeser duduknya, kami sekarang berhadapan.
"Molla* Ini terlalu mendadak."
(*entahlah).
Joon Ki meraihku ke dalam pelukannya. Dagunya diletakkan di atas kepalaku.
"Ini kesempatan namanya. Aku ingin kau menjadi orang pertama yang mendukungku."
"Keureom*. Aku akan selalu mendukungmu. Hanya saja--"
(*Tentu saja).
"Mwonde?*"
(*Ada apa?)
"Aku takut, menjadi terkenal membuatmu melupakanku. Melupakan kita."
"Heii Park Ae Ri. Mana mungkin aku lupa padamu? Mana mungkin aku lupa pendukung utamaku?"
Joon Ki mengangkat wajahku, membuat kami bertatapan. Lalu mengecup hidungku.
"Yaksuk?*" Aku menatapnya.
(*Janji)
"Iya, aku janji."
Kami mengaitkan jari kelingking masing - masing dan membuat cap perjanjian dengan jempol.
"Saranghae.*" Bisik Joon Ki.
(*Aku mencintaimu).
Membuatku tersipu dan menghindari tatapannya.
"Nado.*" Balasku.
(*Aku juga)
***
Aku menjalani hari - hariku dengan semangat. Berangkat kuliah di pagi hari, bekerja di kafe sepulang dari kampus dan berbalas pesan dengan Joon Ki di malam hari.
Agensinya membiarkan Joon Ki tetap kuliah, namun juga membuatnya mempersiapkan debut. Joon Ki bilang, mereka akan membuat rekam jejak di Jepang untuk menjadi landasan debut mereka di Korea. Itu berarti, Joon Ki harus pergi ke Jepang untuk mempersiapkan itu semua.
Seminggu pertama kepergian Joon Ki ke Jepang, kami masih berkomunikasi. Joon Ki bercerita, bahwa agensinya hanya memberi uang saku yang sangat sedikit. Mereka berlima, Joon Ki dan teman - teman grup band-nya, harus mencari uang dengan menjadi penyanyi jalanan. Sekaligus menguji apakah mereka pantas debut dengan kualitas yang mereka miliki.
"Hari ini aku makan ramen. Kami hanya mampu membeli ramen dan Onigiri." Hal ini membuatku sedih namun tidak bisa melakukan apa - apa.
Yang dikatakan Joon Ki tadi saat kami melepas rindu melalui hubungan telepon.
Aku berpesan padanya, untuk terus semangat dan makan yang banyak. Menjaga kesehatannya dan cukup beristirahat. Joon Ki meyakinkanku, bahwa dia dan teman - teman Band-nya akan mampu melewati semua ini. Dan aku percaya padanya.
"Selamat datang!" Suara nyaring teman kerjaku, Jung Mi Na, membuatku tersadar sedang bekerja. "Oh, Kim Se Woon-ssi. Apa yang ingin anda pesan?"
Aku menoleh ke arah pelanggan yang disapa oleh Mi Na. Pria itu, tinggi dan tampan. Wajahnya bersinar, menampakkan bahwa dirinya bukan orang biasa. Maksudku, dia pastilah keturunan *Chaebol. Wajah tampan dan rupawan. Dan dia sangat terkenal saat ini.
(*Orang Kaya / Sosialita Korea)
Dia membalas sapaan Mi Na dengan senyum ramah. Seketika, kedua lesung pipinya terlihat saat dia tersenyum.
"Dua Americano dingin dan satu latte hangat." Suaranya rendah dan tajam.
"Baik. Anda akan membayar menggunakan kartu?"
Pria itu mengulurkan ponselnya. "Dengan ini."
Mi Na membuatkan pesanannya dan membantu pria itu untuk membayar dengan tagihan teleponnya.
"Ae Ri-ssi, bisakah membuatkan pesanan ini?" Mi Na menyerahkan copy-an struk padaku.
Aku mengangguk dan menyiapkan pesanan pria yang dipanggil Kim Se Woon oleh Mi Na. Sementara di luar kaca kafe kami, segerombol anak sekolah perempuan sedang berdiri sambil memandangi pria di seberang meja kasir dan teman - temannya yang duduk di sudut kafe.
"Maaf, kami selalu membuat keributan setiap datang kesini." Pria bernama Kim Se Woon itu meminta maaf pada Mi Na dan aku.
"Ooh, tidak masalah Se Woon-ssi. Banyak juga selebritas yang mengunjungi kafe kami. Jadi, pemandangan seperti ini sangat biasa."
"Orang baru?" Kim Se Woon menunjukku.
"Ne*. Dia pegawai paruh waktu." Mi Na menjawabnya.
(*Iya)
"Annyeong haseyo. Saya Se Woon, pelanggan tetap kafe ini."
(*Halo)
Aku membungkuk dan memperkenalkan diri. Namun tidak menyangka ketika tangan kanan Se Woon terulur padaku, memintaku berjabat tangan. Dengan canggung kubalas jabatan tangannya.
"Masih kuliah?"
"Iya." Jawabku dan segera memberikan tiga minuman yang ia pesan. "Pesanan anda, Tuan."
"Panggil saja Se Woon-ssi, seperti Mi Na-ssi memanggilku." Dia mengoreksi panggilanku, aku mengangguk kikuk dan menatap Mi Na yang mengangguk menyetujui. "Atau, jika kamu ingin lebih sopan. Panggil saja Se Woon Oppa." Lanjutnya sambil mengedipkan sebelah mata dan membawa tiga minuman itu dengan santai lalu pergi ke meja di mana kedua temannya duduk menunggu.
"Ommo, ommo, ommo!* Se Woon-ssi menggodamu. Memang ya pria itu." Mi Na menepuk - nepuk bahuku kegirangan. "Tidak kah kamu mengenalinya, Ae Ri-ssi? Ssshh, dia memang lebih tampan daripada yang terlihat di televisi." Mi Na menatap ketiga pria yang duduk di sudut dengan tatapan mengagumi.
(*Aduh/ya ampun - berasal dari kata Ommona (Ibu) digunakan untuk reaksi terkejut/terkesima dll)
"Arra*. Mereka anggota grup Onyx."
(*aku tahu-informal).
"Benar sekali! Bagaimana bisa jantungmu baik - baik saja melihat dan berbicara dengan member visual Onyx seperti tadi? Atau, jangan - jangan kau hampir mati berdiri ya tadi?"
Aku ingin memutar mata atas sikap berlebihan Mi Na, namun yang bisa aku lakukan hanya menatap kesal pada gadis itu.
"Aku tidak senorak itu, tahu!" Kulepaskan apron kafe dan menggantinya dengan apron untuk mencuci piring. "Aku akan membersihkan gelas dan piring kotor."
Aku membayangkan, jika Joon Ki seterkenal Se Woon. Tentunya, para gadis yang berdiri di depan kafe itu bisa saja para penggemarnya yang tergila - gila pada Joon Ki. Sebagaimana mereka yang di depan sana tergila - gila pada Se Woon dan kawan - kawan. Pikiran ini membuatku gusar.
Mi Na mengusirku dengan lambaian kecil, namun matanya tidak berhenti menatap ketiga member boyband yang saat ini merajai chart musik Korea.
***
Sudah sebulan Joon Ki di Jepang. Komunikasi menjadi hal yang langka bagi kami. Joon Ki menjual ponselnya untuk membeli makanan. Dia sesekali menghubungi melalui telepon umum dan dengan uang yang terbatas, terbatas pula obrolan kami. Aku menawarinya untuk mengirimkan uang namun ditolak mentah - mentah oleh Joon Ki. Ia mengatakan akan bertahan dengan keadaan ini. Ya ya ya, aku turuti saja.
Kebanyakan, kami bertukar kabar dan saling berpesan tentang menjalani hidup dengan baik. Aku khawatir dengan keadaan Joon Ki dan sempat memaksa untuk mengiriminya uang agar ia kembali ke Korea. Namun dia justru mengatakan akan sangat marah jika aku nekat melakukannya. Ia juga mengatakan bahwa agensi mereka sedang menguji mental mereka. Jika mereka tidak siap dengan kesulitan itu, mereka tidak akan siap dengan ketenaran. Kira - kira begitu yang Joon Ki katakan padaku.
Tetap saja aku cemas. Apalagi jika bibi So Ra menelpon dan menangis karena Joon Ki tidak mengabarinya. Aku tahu, Joon Ki hanya akan menghubungiku karena aku pasti akan meneruskan kabarnya pada keluarga Joon Ki jika ibunya menghubungiku.
Dan aku akan selalu menenangkan bibi dengan mengatakan bahwa putranya baik - baik saja, sementara hatiku cemas luar biasa. Syukurlah kami bicara di telepon, jika kami bicara langsung, bibi So Ra akan mengetahui kekhawatiranku dengan jelas.
Joon Ki - yaaa, aku berharap semua perjuanganmu terbalas suatu saat nanti.
•••