BAB 1c-Mimpi Yang Terasa Nyata

1272 Words
Gedung itu tua, dengan lukisan cat minyak yang berderet di dinding warna krem kekuningan. Bercak hitam seperti noda darah yang mengering memperjelas titik-titik lapuk bagian gedung yang telah termakan usia. Lukisan-lukisan itu menampilkan gambaran dari neraka: tubuh-tubuh telanjang yang dikoyak oleh setan merah yang menyeringai memunculkan taring dan gigi tajamnya; manusia yang dipanggang di atas api yang menyala-nyala; iblis bertanduk yang menginjak tumpukan manusia.   Dia berlari menuju sebuah pintu yang terbuka, tidak ada apapun di dalamnya, hanya terlihat bercak-bercak darah yang mengubah warna sebuah permadani Afghan dan tercium bau pengelantang.   Dia masih berlari, meskipun tak mengingat siapa yang mengejarnya. Yang dirinya ingat, hanya suara sepatu-sepatu bot yang menyusul di belakang. Dari langkahnya yang berat dia mengetahui bobot pengejarnya tak kurang dari 80 kg, dua orang pria, berpakaian berat semisal vest anti peluru dan menggenggam senjata.   Mereka memeriksa ruangan dan mendesak maju menuju ruangan di sisi kiri. Syukurlah. Napasnya yang tertahan perlahan dia embuskan. Di atas ventilasi udara, mungkin tak akan ada yang menemukannya. Ventilasi itu sebenarnya terbagi di antara dua ruang. Jika dia mengikuti arah jalurnya, dia dapat mengamati situasi di ruangan berbeda.   Ternyata mereka telah menemukan seorang gadis yang membungkuk di antara meja, kedua tangannya di atas kepala. Dari jaraknya, dia dapat mendengar isak tangis, tapi tak bisa melihat matanya. Pistol besar yang dibawa pria itu ditempelkannya ke kepala. Gadis itu menengadah, tangannya melipat seolah berdoa bersama linangan air mata yang mengalir di pipinya. Dia memilih diam dan memalingkan wajah, ketika bunyi letupan yang keras itu menghamburkan isi kepala.                                                                ***     Gatot bangun dengan napas tersengal. Lagi-lagi mimpi yang terasa sangat nyata. Anehnya, setiap kali itu terjadi, korbannya selalu orang yang berbeda. Dia memindai sekitar, masih di kantornya berselimut jaket miliknya. Kelihatannya hari ini dia akan pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti.   Selama bertugas dia jarang kembali ke rumah. Sudah menjadi habit Gatot untuk tidak pulang sebelum menyelesaikan misi. Kantor masih sepi saat dia keluar. Jam masih menunjukkan pukul tiga pagi.   Gatot melajukan Chevynya menembus embun tanah yang masih basah di rerumputan, semilir angin sedikit membuatnya menggigil, bukan masalah baginya. Tubuhnya punya kemampuan bertahan dalam cuaca apapun. Kulitnya tebal sehingga mampu menghadapi panas dan dingin. Dia mengetahuinya saat usianya sepuluh tahun, terjebak di ruang penyimpanan selama enam jam tanpa terkena hipotermia.   Dua tahun lalu, dia dipindahkan ke markas besar di Jakarta, berada di divisi kriminal satu. Kesehariannya menangani kasus pembunuhan kelas berat, progress yang dia hasilkan cukup pesat hingga dia kemudian mendapat kenaikan pangkat. Orang-orang memanggilnya manusia super, karena ketajaman inderanya dalam mencari bukti dan tidak melewatkan hal penting. Gatot lebih banyak bertindak sendiri yang kadang mendapat tindak kedisplinan dari atasannya. Tetapi beginilah dirinya, dia hanya tidak menyukai orang-orang yang bergerak lambat dan tidak memiliki dedikasi.   Mobil Gatot memasuki halaman sebuah rumah asri dengan pemandangan pohon mangga berjajar di samping jalannya. Angin menerbangkan sebagian daun-daun keringnya hingga menumpuk di tanah. Dia tak sengaja melihat penampakan seorang sosok pria bertudung jaket berdiri memandang mobilnya di bawah salah satu pohon. Gatot secara mendadak menarik rem, namun bayangan itu secepat kilat menghilang.   Dia diikuti?   Gatot menggeleng. Mungkin hanya perasaannya saja. Cemas mengenai keluarganya, Gatot bergegas memasuki kediaman, saat kemudian menyadari, dia hanya paranoid sendiri. Seharusnya dia tak perlu terlalu cemas sebab istrinya ada di rumah dan akan menjaga anak-anaknya. Wanita itu yang telah meluluhkan hatinya, bukan orang sembarangan. Siapapun hanya akan cari mati berurusan dengan Ulva.   “Sudah pulang, Honey? Selamat datang.” Istrinya, Ulva muncul dari balik pintu kamar. Gatot tak bisa menyembunyikan kelegaan.   “Iya, aku pulang, Ma”                                                                                                                                                         *** Hari weekend biasanya tak dia habiskan di dalam rumah. Dari delapan belas tahun pernikahannya, lima tahun yang lalu dia tak lagi memiliki cukup banyak waktu semenjak mendapat promosi.   Istrinya mungkin akan sabar mengerti, tetapi anaknya bagaimana perasaan mereka yang perhatiannya terbagi. Gatot dalam hening menyadari telah menjadi suami dan ayah yang buruk. Dulu, memikirkan memliki keluarga seperti hanya angan-angan belaka. Sejak mengenal Ulva, semua bak mimpi yang menjadi nyata   Malam itu mereka sepakat menetapkan waktu berlibur keluarga.    “Sudah pulang, Honey? Selamat datang.” Istrinya, Ulva, muncul dari balik pintu kamar. Mengenakan piyama dan bersih dari make up, telah bersiap untuk tidur. Gatot tak bisa menyembunyikan kelegaan saat didapatinya mereka baik-baik saja.   “Iya, aku pulang, Ma.” Ulva mendekat dan memberikan pelukan dan ciuman singkat. “Anak-anak sudah tidur?”   “Ya, begitulah. Kamu sudah makan malam?”   “Belum.”   “Kalau begitu mandi dulu, akan kusiapkan makan. Atau kamu hanya pulang sebentar?”   “Aku... mmm mungkin akan berakhir pekan di rumah.”   “Sungguh? Anak-anak pasti senang.”   “Aku... juga ingin merayakan promosiku.”   “Selamat. Itu bagus sekali, Honey.” Lagi Ulva mendekat dan memberinya pelukan. Gatot tersipu. Suaminya memang terkenal pemalu saat masa sekolah mereka dulu. Namun hal itu hanya terjadi ketika di depan Ulva. Karakternya sangat berkebalikan di medan tugas, pria itu bisa sangat total dalam pekerjaan.   “Menurutmu kita harus pergi kemana?”   “Mmm, tempat yang menyenangkan pastinya. Ah, aku punya ide, bagaimana jika kita tamasya ke taman bermain. Anak-anak selalu menunggu saat saat kita bisa pergi sekeluarga.”   “Ide yang bagus. Kita juga sudah jarang bisa berdua.” Ulva mmegang kedua pipinya sembari berkedip manja. “Aaah, so sweet sekali, Honey.”   Tidak di depan orang lain mereka mengumbar kemesraan, ketika hanya berdua pasangan itu bisa jadi sangat konyol.   Gatot meniru sang istri, menelengkan kepala dan tersenyum geli.   “Aku akan buatkan banyak makanan besok pagi.”   Ulva lalu menghilang ke dapur untuk menyiapkan kebutuhan mereka esok pagi, pasti akan menjadi kejutan menyenangkan untuk anak-anaknya.   Gatot membuka pintu berwarna putih kream dengan hiasan gantungan berwarna pink bertuliskan Tanya. Malaikat kecilnya tengah meringkuk di atas ranjang berseprei Hello Kitty. Dielusnya rambut hitam Tanya dengan lembut, dia menaikkan selimut yang semrawut sebatas d**a, lalu mencium kening putrinya.   “Sleep well, My Princess.”   Gatot menutup pintu, melangkah menuju pintu sebelah tempat di mana replika mix dirinya dan istrinya tengah melayang di alam mimpi. Namanya Fitra, sebentar lagi akan menginjak usia tujuh belas tahun, terpaut enam tahun dengan adiknya.   Kamar itu didominasi warna biru gelap, terdapat cahaya gugusan bintang saat lampu dimatikan. Dia mendapati Fitra tertidur seperti janin di sofa, memegang joystick game yang dibiarkan menyala. Dia mematikan TV dan mencabut kabelnya, mengambil selimut dari ranjang dan menyelimutinya.   “Jadilah pahlawan yang mempertahankan keadilan suatu hari nanti, Fitra, jagoan Papa.”   ***   Langkah Fitra menuruni tangga, terhenti melihat pemandangan langka, pria berkumis itu duduk sembari membuka koran lebar-lebar di meja makan.   “Papa, Papa.” Si kecil Tanya justru langsung menghambur ke pelukan ayahnya. “Papa, pulang.”   Gatot menggendongnya di pundak, tertawa-tawa akan kehebohan Tanya. Fitra acuh tak acuh, memilih menyumpal telinganya dengan headset dan duduk di meja makan.   “Coba tebak, kita mau ke mana hari ini?”   “Aku enggak bisa pergi, sudah ada janji.”   “Jarang-jarang loh kita bisa berkumpul begini, paling enggak kita piknik di pantai, gimana Kakak?”   “Enggak bisa, Ma.”   Sejujurnya Gatot sedikit kecewa dengan kejadian tak terduga Fitra. Dia jadi semakin tidak bisa mendekatkan diri dengan anak laki-lakinya. Sejak kejadian na’as itu terjadi, Fitra tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang tak lagi dia kenali.   “Kalau memang tidak bisa, kita bisa pergi lain kali,” ujar Gatot mengalah. Entah bagaimana dia dalam pandangan Fitra hari ini, dulu anaknya selalu mengidolakan dirinya sebagai aparat negara.   “Aku mau, aku mau!” Tanya yang paling antusias. “Kakak batalin aja, kita piknik terus main air, yah yah.” Peri kecil, pelita keluarga mereka meluluhkan hati Fitra, tangannya menggelayut manja dan tak akan berhenti menunjukkan wajah memelasnya.   “Iya iya.”   “Yeaaah.”   Pemakluman Fitra bukan hanya membuat Tanya gembira, melainkan juga dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD