22 - Pembalasan

1224 Words
Dari 200 Gulden, seseorang lekas menaikkan menjadi 400 Gulden. Kelipatan yang sungguh mengejutkan tiap orang hadir mendengar. Sosok baru mengucap penawaran, tentu lekas menjadi pusat perhatian. Tiap sorot tatap mata, menoleh untuk coba melihat siapa baru melayangkan tawaran. "Kau….!" Laurens sendiri, menampilkan wajah tak sedap saat menyadari ternyata itu Aldert, Asisten pribadi Willem, adalah sosok menawar lebih tinggi dua kali lipat dari harga ia ajukan. "Wahhh… Ternyata Asisten pribadi Tuan Willem cukup kaya juga! Berani menawar setinggi itu!" gumam salah satu pelajar HBS keturunan Indo. Entah kenapa, menjadi antusias saat mengetahui Aldert berani melayangkan tawaran. "Bekerja dibawah Tuan Willem sepertinya memang cukup menjanjikan!" tanggap kawan disebelah sosok pertama melayangkan komentar. "Terlebih lagi, ia seperti menempatkan tiap yang bekerja untuknya dengan sangat baik!" "Yahhh… Mungkin setelah lulus nanti, aku akan coba melamar diperusahaan Pertanian der Beele!" "Aku juga…!" "Ohh… Aku akan mencoba juga!" "Hei… Kalian kenapa ikut-ikutan?" Aksi Willem yang tadi sempat membela Aldert ketika mendapat hinaan serta tatapan rendah Laurens, tampak telah berhasil menarik simpati para pelajar HBS golongan Indo. Bagaimanapun juga, Aldert adalah sama seperti mereka, berdarah campuran. Situasi yang membuat hinaan sempat diterima Aldert, juga menghujam hati tiap dari anak-anak keturunan darah campuran Indo lainnya. Tak senang dengan sikap Laurens yang merendahkan Aldert. Mendapat perasaan senasib sepenanggungan seolah mereka juga merupakan target hinaan sama. Kini melihat bagaimana Aldert coba bersaing dalam perang harga melawan Laurens, ia segera menjadi semacam idola bersama golongan sesamanya. Para pelajar HBS Indo hadir dilokasi, bersemangat memberi dukungan. "Hmmmm… Apa kau benar-benar punya uang sebanyak itu? Cuma sekedar darah campuran!" dengus Laurens. "410 Gulden…!" Menutup kalimat hinaan untuk Aldert, dengan sekali lagi menaikkan tawaran. Sementara itu, mendengar Laurens kembali menaikkan tawaran, Aldert lekas memasang kerutan kening. Sejujurnya, ia memang tak kaya-kaya amat. Namun, kerutan kening ragu Aldert, lekas lenyap saat lirikan mata, bertemu jari-jari tangan Willem yang membuat tanda lima jari. "500 Gulden…!" Memahami isyarat tangan dari Tuan-nya, Aldert tak ragu menaikkan tawaran hingga menyentuh harga 500 Gulden. Satu hal yang lekas membuat suasana menjadi semarak. Khususnya para pelajar HBS golongan Indo yang kini terlihat bersorak antusias. Menjadi kagum untuk semakin mendukung Aldert. Sosok Aldert, berubah layaknya pahlawan besar kaum Indo. Robin Hood yang sedang membagikan harapan-harapan kepada rakyat jelata. "Hmmm… 510 Gulden!" Terbawa suasana, tak ingin terlihat kalah dari sosok darah campuran sedari tadi ia hina, terlebih saat tiap pasang tatap mata seluruh yang hadir di ruangan kini tertuju kepadanya, Laurens kembali menaikkan tawaran. 10 Gulden lebih tinggi. "Wahhh… Tuan Laurens tampak sangat berkecukupan!" gumam Belinda. Cukup dekat dengan Willem untuk tahu sahabatnya tersebut adalah sosok tengah bermain-main dengan Laurens. Memakai Aldert sebagai bentuk penghinaan serta balasan atas sikap merendahkan Asisten pribadinya tersebut. "Aku akan menanti hadiah darimu ini!" Melanjutkan, Belinda tampak sengaja mendorong Laurens lebih jauh. Menempatkan pada posisi tak lagi bisa keluar dari kubangan berbahaya. "Nona Belinda tunggu saja dengan tenang! Saingan yang hanya darah campuran miskin, itu tinggal menunggu waktu sampai…." "600 Gulden…!" Laurens yang hendak memikat Belinda dengan kalimat sombongnya, lekas terdiam. Otomatis menelan kembali semua rangkaian kata sudah hendak ia lontarkan saat mendengar Aldert, kembali menaikkan tawaran. Kini menyentuh angka 600 Gulden. "Kau… Ini bukan permainan! Jika melakukan penawaran kosong, akan menjadi masalah untukmu! Lelang tidak bisa dihutang! Harus dibayar tunai saat penawaran resmi selesai diketuk palu!" ucap Laurens. Coba menakuti Aldert. "Lagipula, kau benar berani terus bersaing denganku? Darah campuran sepertimu, jangan macam-macam! Aku adalah Totok! Terlebih lagi, seorang anak Asisten Resident Kota Gresik! Ayahku…." "Memalukan…!" Laurens, lagi-lagi tak sempat menyelesaikan kalimat saat suara lain, terdengar menjeda. Tak lain sosok Willem baru masuk kedalam percakapan. Menggumam kalimat bernada dingin. "Tak bisa bersaing sehat dengan kekayaan sesuai aturan Lelang, kini kau berniat menggunakan kedudukan untuk menekan pihak lain?" lanjut Willem. Kalimat yang lekas bersambut gumam bisik-bisik sepakat seluruh hadirin undangan pesta. Bukan sekedar golongan Indo yang memang sejak awal mendukung Aldert, para pembesar Ningrat Pribumi lain, ikut berbisik sembari mencuri lirikan kearah Laurens seolah ia adalah manusia hina. "Apa yang kau katakan? Siapa takut bersaing?" dengus Laurens. Tak terima. Sejujurnya cukup malu dengan kalimat baru disampaikan oleh Willem. Berkembang menjadi semakin benci dengan sosok pemilik perusahaan pertanian der Beele tersebut. "Tuan-tuan sekalian! Mohon maaf jika harus menyela…!" Hong Kui yang dari awal memperhatikan, lekas coba masuk untuk membuat situasi menjadi jelas. "Sebagai penyelenggara acara, sejujurnya harus kusampaikan bahwa sempat disampaikan Tuan Laurens, adalah benar! Tak boleh ada sembarangan menawar! Barang lelang yang dijual, tak boleh dihutang!" Kalimat disampaikan Hong Kui yang terdengar seperti mendukungnya, lekas bersambut senyum tipis diwajah Laurens. Sementara untuk golongan pelajar HBS Indo, menampilkan wajah tak senang dengan sikap Saudagar Tionghoa ini. Sekedar Willem masih menampilkan raut wajah biasa saja. Menyadari Hong Kui, masih belum sepenuhnya menyelesaikan apa hendak ia sampaikan. Pertemuan tatap mata sore hari kemarin membahas bisnis ditempatnya, sudah cukup bagi Willem mengetahui karakter seorang Hong Kui. Willem tahu, Saudagar Tionghoa ini adalah orang cukup cerdas suka bermain aman. Melempar pujian terlebih dahulu untuk Laurens, agar kalimat selanjutnya hendak ia sampaikan, menjadi netral seolah tak memberatkan pihak manapun. "Hanya saja…." Hong Kui, akhirnya menuju penyampaian utama setelah sempat membuka dengan sanjungan untuk Laurens. "Khusus Tuan Aldert, aku tak akan ragu untuk percaya ia memiliki cukup banyak uang! Bagaimanapun juga, ia bekerja di perusahaan pertanian der Beele, lebih lagi, sebagai Asisten pribadi Tuan Willem!" gumam Hong Kui. Tatapan permusuhan sempat terhujam dari puluhan pelajar HBS golongan Indo, lekas lenyap ditarik kembali pasca kalimat baru saja ia sampaikan Hong Kui. "Sebagai tambahan, Tuan Willem juga menyampaikan pendapat baik. Dengan segala kerendahan hati, saya meminta untuk tolong jangan menggunakan kedudukan sebagai alat penekan dalam jalannya persaingan lelang!" "Aiihhh… Itu hanya akan membuat Hong Kui ini merugi!" tutup Hong Kui. Mengawali dengan memuji Laurens, Saudagar Tionghoa menutup dengan seolah ikut menentang aksi Putra Assisten Resident Kota Gresik tersebut. Aksi yang tentu bersambut tatapan tak sedap Laurens. Lenyap senyum tipis tadi sempat mengembang diwajahnya. "Tawaran terbaru, itu adalah 600 Gulden…!" Situasi sempat berkembang hening. Namun dengan cepat Hong Shiu sebagai pemandu acara, coba memeriahkan suasana sekali lagi. Menyelamatkan Pamannya dari tatapan tak sedap Laurens dengan melempar pertanyaan pengalih. "Tuan Laurens, apakah berkenan melewatkan hadiah untuk Nona Belinda?" Selain pengalih, pertanyaan Hong Shiu, juga dibumbui kata-kata provokatif tersembunyi mengangkat tentang niat Laurens ingin menjadikan barang lelang ketiga, Gelang Mutiara, sebagai hadiah untuk gadis pujaannya. "Hmmmm… Tentu itu akan menjadi milikku!" "610 Gulden!" Laurens, menjaga harga diri dengan menaikkan tawaran sekali lagi. "Wahhh… Sahabat Laurens tampak cukup berhemat dengan tawarannya!" gumam Willem. Menanggapi aksi Laurens yang sedari tadi sekedar menaikkan 10 Gulden dari harga Aldert. "Hmmmm… Itu cukup jika sekedar memenangkan harga lelang dari pelayanmu, golongan darah campuran miskin!" tanggap Laurens. Melempar kalimat yang sukses membuat wajah tiap pelajar HBS golongan Indo, menjadi merah padam. "Begitu?" gumam Willem. Melirik Aldert seraya kembali memberi tanda isyarat tersembunyi dengan jari-jari. Melihat tanda isyarat jari Willem yang membuat angka delapan, Aldert sendiri, tampak lekas mengerutkan kening ragu. Seolah hendak bertanya apakah Tuan-nya itu serius. Merasa harga ditawarkan Willem kali ini terlalu berlebihan. Meski ia cukup senang Tuan-nya menampilkan aksi membela dengan menawar barang lelang melalui dirinya, Aldert yang telah satu tahun mengikuti Willem, berkembang tulus mengabdi. Tak rela Tuan-nya harus kehilangan cukup banyak Gulden sekedar untuk Gelang Mutiara. Bertahan beberapa saat melirik Willem dengan kerutan kening, Aldert sekedar cuma bisa menurut saat sambutan dari Tuan-nya atas tatap mata bertanya, itu adalah senyum tipis sederhana nan khas. Willem terlihat tak memiliki masalah dengan harga. "800 Gulden…!" ucap Aldert.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD