34 - Jenis Tatapan

1227 Words
(Ruang Jamuan Khusus) "Kau bisa tawarkan itu kepadanya! Buat agar terlihat merupakan inisiatif darimu!" Menunggu didalam ruang jamuan yang terpisah dari ruang utama sedang berlangsung pesta makan malam antar tiap undangan yang hadir, Willem, melakukan percakapan dengan Hong Kui. Selain deret hidangan mewah khusus tampak berbeda dengan sajian diluar, berada diruang khusus menemani Hong Kui dan Willem, adalah Aldert. Keturunan Indo Asisten pribadi Willem ini, senantiasa berdiri dengan sikap patuh tepat dibelakang punggung Tuan-nya. Seolah siap kapan saja menjalankan intruksi keluar dari mulut Willem. Hidangan mewah sajian Hong Kui diruang khusus yang sengaja diminta Willem untuk ia persiapkan sendiri, tampak merupakan beberapa jenis berbeda tak hanya khas masakan Tionghoa layaknya disajikan pada ruang pesta utama. Salah satu menu tentu masih hidangan khas Tionghoa, namun juga terdapat menu khas Eropa, ditambah beberapa menu masakan Jawa. "Hmmm… Tuan, kenapa kau tampak begitu berminat? Sampai memiliki hal-hal sejauh ini coba dilakukan?" tanya Hong Kui. Mengerutkan kening penasaran. "Pertanyaan yang keluar dari konteks pembahasan! Kau tentu tak perlu tahu tentang hal itu!" balas Willem. Memasang wajah datar namun menatap tajam sosok Hong Kui baru bertanya. "Aiiihhh… Hanya sekedar penasaran! Tak perlu dianggap terlalu serius!" Menyadari bagaimana tatapan tajam Willem menyasar kearahnya, Hong Kui lekas mengambil langkah mundur. Coba bertahan dalam garis aman tak sampai menyinggung Pemilik perusahaan pertanian der Beele dihadapannya tersebut. "Bagus…! Itu akan baik jika tiap pihak, memikirkan urusan masing-masing! Mengesampingkan yang tak terkait!" gumam Willem. "Benar Tuan! Sekedar tentang bisnis!" tanggap Hong Kui. Sekali lagi dengan cepat. Singkat nan padat. Bagaimanapun juga, setelah melihat langsung aksi kejam Willem yang bahkan tak ragu mempermalukan sosok macam Laurens Both dihadapan umum, Hong Kui memang sudah memutuskan kepada diri sendiri, untuk tak coba macam-macam dengan Putra Assisten Residen Kota Surabaya ini. Cukup sekali ia dibuat tak berkutik hingga menjadi pihak pasif saat seharunya yang berada pada posisi aktif coba menawarkan kesepakatan bisnis. Pertemuan pertama antara Hong Kui dan Willem, memang sudah memberi kesan mendalam tertentu bagi Saudagar Tionghoa tersebut. Ditambah kejadian-kejadian berlangsung pada acara lelang, semakin menguatkan Hong Kui untuk tak mencari masalah dengan Willem. "Aldert, kau sudah mencatat semua detail?" tanya Willem, kini kepada sosok Aldert berdiri dibelakang kursinya. "Sudah, Tuan!" balas Aldert singkat. "Bagus! Sejujurnya cuma untuk jaga-jaga saja! Karena semua memang sudah cukup terang di benakku!" tanggap Willem. "Lagipula, memiliki hitam diatas putih sebagai tanda nyata, kupikir sudah merupakan keharusan!" lanjut Willem. "Ya, Tuan!" balas Aldert sekali lagi. Masih dengan sikap patuh, menggenggam buku catatan pada tangan kanan, sementara alat tulis pada tangan kiri. Satu hal yang menandakan keturunan Indo Asisten pribadi Willem ini, seorang kidal. "Ngomong-ngomong, kenapa cukup lama?" gumam Willem. "Hong Shiu sudah menjemput Tuan, seharunya tak lama lagi!" balas Hong Kui. Sembari tatapan mata, melihat kearah pintu masuk. Berharap keponakannya tersebut lekas kembali. Bersama tatapan mata Hong Kui, sekedar berjeda beberapa detik, satu sosok, tampak berjalan memasuki ruangan. Wajah lega sempat menghiasi ekpsresi Hong Kui, berfikir itu Hong Shiu akhirnya datang membawa serta Raden Mas Adiwangsa dan Kirana. Menyelamatkan ia dari situasi harus tertambat diruang sama saat Willem, terlihat sudah mulai tak sabar. Hanya saja, raut lega, sekedar bertahan beberapa detik singkat karena yang datang memasuki ruang, bukan seperti ia harapkan. "Ehhh… Nona?" ucap Hong Kui reflek. "Apa yang kau lakukan disini? Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu?" Willem, ikut melempar pertanyaan. Menatap tak senang dengan kehadiran sosok yang baru memasuki ruang jamuan khusus telah dipersiapkan. "Aku bosan! Lagipula, kenapa juga harus kau suruh menunggu saat yang menemani, itu Si Laurens!" gumam Belinda van Berg. Menampilkan wajah tak senang balik membalas ekpsresi Willem saat melihat kedatangannya. "Tak henti menatap dengan sorot mata m***m! Sungguh menyebalkan! Cenderung menjijikkan!" lanjut Belinda. Melempar segala rasa kesal imbas perilaku Laurens. "Apa keturunan Totok yang lahir di Tanah Hindia ini, memang tak memiliki sopan santun ya?" tutup Belinda, melempar pertanyaan. "Mana kutahu? Aku juga baru setahun datang!" balas Wilem. "Namun dari pengalaman setahun ini, itu memang orang-orang macam kita, yang lahir dan besar di Eropa, menjadi semacam favorit! Buruan utama para keturunan Totok lahir di Tanah Hindia!" lanjut Willem. "Kita semacam tiket emas bagi mereka!" "Tiket emas?" tanya Belinda. "Berharap dengan menikahi kita, mereka punya kesempatan pulang ke Tanah Air selama ini diidamkan!" balas Willem. "Konyol? Dengan segala kemewahan disekitar mereka dapat semenjak lahir, tak yakin orang-orang ini bertahan lama menjadi warga biasa kerajaan Belanda!" ucap Belinda. "Sama persis yang kupikirkan!" tanggap Willem. "Kau yang disana! Keturunan Tionghoa, Hong Kui kalau tak salah!" Melanjutkan, Belinda kini mengalihkan untuk berbicara dengan Hong Kui. "Ya… Saya Nona?" balas Hong Kui cepat. "Apa kau akan membiarkan aku cuma berdiri saja?" tanya Belinda. Jelas menyiratkan agar Hong Kui, menyiapkan tempat duduk untuknya disebelah Willem. Menolak duduk pada kursi lain masih kosong yang tampak berdesain biasa, tak memiliki ukiran indah seperti sedang digunakan oleh teman dekatnya tersebut. Menyambut pertanyaan Belinda, Hong Kui lekas menatap kearah Willem. Saudagar Tionghoa ini tentu perlu memastikan terlebih dahulu apakah Willem mengijinkan. Sejujurnya menjadi cukup dilematis. Baru memberi intruksi, adalah Belinda, seorang Totok Belanda yang juga merupakan Putri Asisten Resident Kota Madiun, dimana tak ingin ia singgung. Sementara pada sisi lain, pengatur segala agenda khusus sedang akan berlangsung, merupakan Willem yang lebih lagi tak ingin sama sekali ia terlibat masalah dengannya. 'Gadis ini….! Mengganggu saja!' gumam Willem dalam hati. Sepenuhnya memahami situasi Hong Kui. Lekas menyambut tatapan dengan anggukan singkat. Menghirup udara lega, Hong Kui tampak bersyukur Willem memberi ijin. Menghindarkan ia dari harus menyinggung Belinda. Hong Kui, cepat melangkah keluar. Meninggalkan ruang untuk beberapa waktu singkat sebelum kembali masuk dengan membawa seorang pekerja Toko Purnama memanggul kursi berukir indah. Memberi perintah agar kursi, ditempatkan tepat disebelah Willem. "Nahhh… Begini lebih nyaman!" gumam Belinda. Menempati kursi. Kalimat yang bersambut lirikan singkat dari Willem. "Sebenarnya, apa sedang akan kau lakukan?" tanya Belinda. Penasaran. "Jika memang ingin tetap disini, lebih baik kau cukup diam saja!" balas Willem. Menolak untuk menjawab. "Dingin sekali! Tampak cukup serius!" ucap Belinda. Justru tersenyum tipis. Situasi, berkembang menjadi hening pasca kedatangan Belinda. Willem, memutuskan tak lagi melanjutkan percakapan dengan Hong Kui. Sementara Hong Kui sendiri, kembali menempati tempat duduknya. Tak coba membuka percakapan apapun dirasa kurang perlu. Baru ketika terdengar sebuah ketukan dari sisi lain pintu masuk, keheningan lekas pecah. "Paman, saya kembali!" Suara Hong Shiu, mengabarkan keberadaannya terdengar dari luar. Menjadi bersemangat, sangat terselamatkan dengan kedatangan Hong Shiu yang sungguh tepat waktu, Hong Kui lekas berjalan menuju pintu untuk kemudian membuka. "Kenapa lama sekali!" bisik Hong Kui. "Ohh, tentu sekedar mempertahankan kenyamanan bagi yang kau perintahkan untuk undang!" balas Hong Shiu. "Aiiihhhh… Maka lekas masuk!" "Tuan Bupati!" Menyempatkan memberi salam sapa sopan kepada Raden Mas Adiwangsa berdiri tak jauh dibelakang Hong Shiu, Hong Kui memerintahkan agar keponakannya memandu pasangan ayah-anak memasuki ruang. "Silakan…!" Tanpa menunda, Hong Shiu melaksanakan intruksi. Membuat gerak sopan agar Raden Mas Adiwangsa dan Kirana, lebih dulu masuk. Kirana, memasuki ruang. Mengikuti punggung Sang Ayah yang tentu mengambil langkah pertama. Sempat melihat bagian dalam ruang untuk beberapa saat singkat, wajah Kirana lekas menunduk ketika sorot matanya yang penuh kepolosan, bertemu tatapan tajam Belinda. Raden Rara Kirana, sosok ayu sering diumpamakan sebagai Dewi Shinta dalam cerita pewayangan Ramayana, berjalan dengan hanya berani melihat ujung kaki ayahandanya. Sementara pada sudut lain, Belinda, bertahan menatap tajam penuh ketidaksukaan. Entah kenapa kehadiran gadis ini, memberi sensasi perasaan tak nyaman tertentu bagi Putri Assisten Residen Kota Madiun tersebut. Terlebih lagi, saat melirik kesebelah, Belinda dapat melihat bagaimana Willem, kini menatap dengan sorot mata penuh minat tak biasa kepada Kirana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD