Malam Pertama

1197 Words
Kian terdiam, lalu tersenyum kecil. Ia menundukkan wajahnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Ashley, lalu berbisik, “Apa kamu percaya, kalau malam ini adalah pertamaku?” Ashley tertegun mendengar jawaban itu, hatinya diliputi perasaan campur aduk. Kian kemudian mengecup lembut pipinya, mencoba menenangkan kegelisahan yang tersirat di wajah istrinya, berharap malam itu akan menjadi awal dari kebahagiaan mereka berdua. Namun, di balik ketenangan Kian, ada rahasia yang Ia sembunyikan. Rahasia yang, pada waktunya, akan mengubah segalanya di antara mereka. Di malam itu, suasana kamar terasa tenang, hanya diiringi suara angin lembut yang menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka. Cahaya remang-remang dari lampu kamar menciptakan bayangan samar di dinding. Kian perlahan melepaskan pakaiannya, diikuti dengan gaun pengantin yang dikenakan istrinya, Ashley. Wajahnya penuh perhatian, tetapi matanya memancarkan rasa penasaran yang mendalam. Sementara itu, Ashley semakin cemas, tubuhnya sedikit gemetar, dan matanya memejam erat. Kian mendekat, mengusap pipi istrinya dengan lembut. Ada kehangatan dalam gerakan itu, seolah ia ingin menenangkan kegelisahan yang terasa begitu jelas di wajah Ashley. Ia mulai mencium bibirnya perlahan, lembut, dan penuh cinta, mencoba membuat istrinya merasa nyaman di saat-saat pertama mereka sebagai suami istri. "Jangan takut! Aku juga baru pertama kali. Kita harus bisa membiasakan," bisik Kian lembut di telinga Ashley, suaranya penuh ketulusan. Ashley membuka sedikit matanya dan menggigit bibir bawahnya sebelum berkata dengan nada lirih, "Jangan kasar. Aku takut sakit." Tangannya mencengkeram lengan Kian dengan erat, seolah mencoba mencari pegangan di tengah ketakutannya. Kian tersenyum tipis, mencoba memberikan rasa aman. Tangannya perlahan mengelus rambut Ashley, memberikan ciuman di dahi istrinya sebelum melanjutkan. Ia melanjutkan dengan lembut, mencium bibir, leher, dan pundak Ashley, meningkatkan keintiman di antara mereka. Setiap gerakannya tampak hati-hati, tetapi ada g4irah yang mulai mengalir dalam dirinya. Tak lama kemudian, ia bangkit, memandang wajah istrinya yang memerah karena malu dan gugup. Dengan perlahan, ia melebarkan pangkal paha Ashley, memperhatikan setiap reaksinya. Wajahnya menunjukkan campuran antara rasa ingin tahu dan h4srat yang mendalam. H4sratnya semakin memuncak saat ia melihat bagian inti istrinya yang belum pernah tersentuh. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. Dengan perlahan, Kian memasukkan senjatanya dengan hati-hati agar tidak membuat istrinya merasa lebih tidak nyaman. Rasa sempit dan hangat yang ia rasakan membuatnya tertegun sejenak, namun ia menahan diri untuk tidak terburu-buru. "Aahh! Kian, sakit!" rintihan Ashley terdengar, diiringi air mata yang mulai mengalir di sudut matanya. Tubuhnya menegang, tetapi ia mencoba untuk tidak melawan. Kian menghentikan gerakannya sejenak, membungkuk dan mencium lembut wajah istrinya. Tangannya mengusap pipi Ashley, memberikan sedikit usapan lembut untuk menenangkan. "Honey, sabar. Sebentar lagi tidak akan sakit. Aku tidak bisa berhenti sekarang," ucap Kian dengan suara yang menenangkan, meski h4sratnya jelas membara. Ia kembali mencium leher Ashley dengan lembut, berusaha menyalurkan rasa sayangnya melalui sentuhan. Sementara itu, tangannya meremas perlahan gundukan di tubuh istrinya, mencoba membuat Ashley lebih rileks di tengah situasi yang terasa baru bagi keduanya. Malam itu berakhir dengan des4han penuh rasa yang terbungkus dalam keintiman mendalam antara Kian dan Ashley. Setelah mencapai puncak kenikmatan, Kian memeluk tubuh istrinya erat-erat. Ia menatap wajah Ashley yang lelah namun bercahaya, seolah menyadari bahwa malam itu adalah awal dari perjalanan hidup mereka sebagai pasangan suami istri. --- Dua bulan kemudian, suasana rumah tangga mereka semakin hangat. Ashley, yang sejak awal pernikahan selalu berusaha menjadi istri yang baik, tetap menjaga kebiasaan sederhana namun penuh perhatian. Pagi itu, Ashley bersiap mengantarkan makan siang ke perusahaan suaminya, Kian. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, membawa kotak makan yang sudah ia siapkan sejak pagi. Tangannya yang cekatan memastikan setiap hidangan dalam kotak itu sesuai dengan kesukaan suaminya. Saat tiba di kantor, semua orang menyambutnya dengan senyum ramah. Ashley selalu dikenal sebagai istri yang rendah hati dan penuh perhatian. Aura ceria dan kehangatannya membuat banyak karyawan Kian merasa segan sekaligus kagum. "Nyonya, makanan spesial lagi untuk Direktur, ya?" tanya salah seorang resepsionis dengan nada bercanda. Wanita itu tersenyum penuh arti, menahan rasa iri atas perhatian yang selalu diberikan Ashley kepada suaminya. Ashley hanya tersenyum hangat. "Tentu saja, aku harus memastikan Kian makan dengan baik. Dia sering lupa makan kalau sudah sibuk bekerja." Nada suaranya lembut, penuh kasih sayang. Salah seorang manajer kantor berkomentar kepada rekannya, "Pasangan itu benar-benar membuat iri. Direktur kita sangat mencintai istrinya, dan nyonya juga sangat perhatian. Mereka selalu terlihat harmonis." Di ruangannya, Kian menunggu dengan sabar. Saat Ashley mengetuk pintu dan masuk, senyum lebar langsung menghiasi wajahnya. "Honey, kau datang lagi," ucap Kian, berdiri dari kursinya untuk menyambut istrinya. Tatapannya penuh cinta, menunjukkan rasa bahagia setiap kali melihat Ashley. Ashley mendekatinya, meletakkan kotak makan di meja, lalu membuka isinya satu per satu. "Aku ingin memastikan kau makan siang dengan benar. Ini makanan favoritmu, Honey." Nada suaranya lembut, membuat Kian semakin terpesona pada istrinya. Kian menarik tangan Ashley dan membimbingnya untuk duduk di sofa. Ia menatap mata istrinya dalam-dalam, lalu mengecup keningnya. "Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan hingga mendapatkan istri sebaik dirimu, Honey. Kau selalu memikirkan kebutuhanku." Ashley tersenyum kecil, pipinya memerah. "Kau terlalu berlebihan. Aku hanya melakukan tugasku sebagai istri." Namun, dalam hatinya, ia merasa bahagia karena Kian selalu menghargai setiap usahanya. *** Bandara tampak sibuk seperti biasa. Suara pengumuman penerbangan bergema di seluruh area, sementara orang-orang berlalu lalang dengan langkah tergesa-gesa. Di tengah hiruk pikuk itu, sosok seorang pria berkacamata hitam mencuri perhatian. Ia berjalan dengan langkah mantap, memancarkan aura percaya diri yang membuatnya sulit untuk diabaikan. Dengan tinggi tubuh menjulang 190 cm, postur atletis, dan wajah tampannya yang tegas, ia tampak seperti sosok yang tidak biasa. Namun, bukan hanya penampilannya yang menarik perhatian. Beberapa pengawal berbadan besar mengelilinginya dengan formasi yang ketat, membuat siapa pun yang berada di dekat mereka merasa harus menjaga jarak. Tatapan dingin para pengawal itu, dipadukan dengan sikap mereka yang selalu waspada, menciptakan lingkaran tak kasat mata yang menghalangi siapa pun mendekat. Beberapa orang yang melintas bahkan mundur selangkah, memilih jalan lain untuk menghindari pria misterius tersebut. Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi, memberikan kesan elegan sekaligus tegas. Kedua tangannya, yang tertutup sarung tangan kulit hitam, menggenggam erat tali jam tangan mahal di pergelangannya. Aura dingin dan angkuh terpancar darinya, membuat semua orang di sekitarnya merasa segan untuk mendekat. Di sampingnya, seorang pria lebih muda yang tampaknya adalah asistennya, berusaha mengimbangi langkah cepat bosnya sambil menarik koper hitam mewah. Asisten itu tampak profesional, meskipun ada sedikit kegugupan dalam gerakannya saat berbicara dengan bosnya. "Kemana setelah ini?" tanya pria berkacamata hitam itu dengan nada dingin dan angkuh. Sang asisten melirik bosnya sejenak sebelum menjawab, "Direktur Kian Hernandez ingin bertemu dengan Anda. Beliau sangat berharap bisa bekerja sama dengan kita." Mendengar itu, pria berkacamata hitam itu menghentikan langkahnya. Suasana di sekitarnya mendadak terasa hening. Ia perlahan melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan sepasang mata tajam yang penuh dengan ketegasan. Pandangannya beralih pada asistennya, menusuk dengan intensitas yang sulit dijelaskan. "Selagi berhubungan dengan dia, tolak saja," katanya tegas, suaranya terdengar tegas, tanpa ruang untuk sanggahan. Ekspresinya berubah dingin, menandakan bahwa keputusan ini tidak untuk diperdebatkan. "Asal kau tahu, sampai kapan pun aku tidak akan bekerja sama dengannya," tambahnya lagi, nada suaranya tegas, hampir seperti peringatan. Tidak ada yang tahu siapa pria tampan itu, Ia tampak tidak suka didekati oleh siapa pun terutama para wanita. Dan apa alasannya ia menolak kerja sama dengan Kian Hernandez yang cukup terkenal di dunia bisnis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD