"Apa kau kenal dengan Jung Jiang?" Se Hwa menatap Seo Yeon yang sedang duduk di tepi kolam. Wanita itu menggeleng.
Tangannya sibuk memberi makan ikan-ikan. Sesekali dia menyapa ikan warna-warni itu. "Memangnya ada apa dengan Jung Jiang?" Wanita itu balik bertanya.
"Ada yang bilang pangeran berguru kepada Jung Jiang. Jadi, kupikir ada yang tak beres dengan orang ini." Se Hwa menjeda ceritanya. "Sebelumnya pangeran akan selalu cerita kepadaku tentang siapa pun yang ditemuinya, tapi Jung Jiang ini, dia tak pernah menyebutkannya sama sekali."
Seo Yeon diam. Dia pun ikut memikirkan siapa Jung Jiang. "Apa menurutmu dia dari bangsa siluman?"
"Aku rasa, iya."
Kembali mereka terjebak dalam pikiran masing-masing. Seekor burung terbang, hinggap di dahan dan mencicit. Seo Yeong menengadah seakan-akan bicara dengan burung itu. Dia terperanjat dan berdiri dari tempat duduknya.
"Ada apa?" Se Hwa pun ikut terkejut dibuatnya.
"Jeong Guk dia ... dia datang ke sini bersama seorang siluman ular. Karena itu, pada malam itu ular-ular seakan-akan diberi perintah untuk masuk ke kamar-kamar dan menggigit semua orang."
"Ja-di ...." Se Hwa terbata. "Jadi memang benar dia melakukannya. Kenapa dia datang bersama siluman lain jika hanya untuk mencariku?"
Seo Yeon tak bisa menjawab. Burung itu hanya memberi tahu sebagian yang terjadi, setelah itu dia pergi begitu saja. Pada akhirnya, percakapan itu pun hanya menemui jalan buntu. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi. Karena pangeran satu-satunya yang masih hidup dan menjadi saksi, Se Hwa mungkin harus bertanya kepadanya.
Se Hwa hendak kembali ketika seorang dayang menemuinya.
"Nona, Nyonya ingin menemui Anda," kata dayang itu sambil membungkuk.
"Baiklah," jawab Se Hwa sebelum pergi. Mereka bertiga pun berjalan menuju ruang baca di mana Nyonya Hwang menunggu.
Di saat Nyonya Hwang dan Se Hwa ada di dalam, Seo Yeon dan dayang itu menunggu keluar.
"Se Hwa, ada hal penting yang harus ibu beritahukan kepadamu." Sang ibu memulai percakapan. Se Hwa mendengarkan dalam diam. "Kau pasti sudah tahu bagaimana posisi kita saat ini di kerajaan. Sejak kematian ayahmu, mereka semua ingin menyingkirkan keluarga kita dan mengusir kita dari sini. Tapi, kita tak mungkin meninggalkan tempat ini, Se Hwa. Ditambah lagi soal kehamilanmu. Kita benar-benar butuh tempat untuk berlindung."
"Ibu, jangan bilang bahwa Ibu sudah menerima surat perintah itu."
"Maafkan Ibu, Se Hwa."
"Ibu ...." Se Hwa mengepalkan tangan menahan emosi. Jika bukan karena wanita itu adalah ibunya, dia pasti sudah menghajar wanita di depannya.
"Ibu sudah mengatur semuanya. Tak akan ada yang tahu kalau kau tengah hamil, bahkan raja sekali pun. Lalu, di malam pertama nanti, ibu juga sudah punya rencana untuk membuat pangeran lupa dan tidak menyadari bahwa kau sudah tidak perawan. Bayangkanlah bagaimana keluarga kita jika kau menerima perintah itu. Bagaimana hal itu akan baik untuk calon bayimu. Bagaimana ...."
"Ibu, hentikan." Se Hwa sudah tak tahan lagi mendengar apa yang dikatakan ibunya. Dia memahami bagaimana status keluarganya sekarang sangat lemah. Tanpa ayah dan saudara laki-laki yang bisa melindunginya, tapi bukan berarti sang ibu bisa melakukan itu seenaknya. "Aku tak bisa menipu pangeran dan yang mulia raja," kata Se Hwa.
"Lalu, apa kau akan membiarkan keluarga kita dihukum sekali lagi? Baiklah, jika itu maumu. Lakukan saja. Ibu sudah siap untuk dihukum mati."
Se Hwa terdiam. Dia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi.
"Menolak perintah raja sama dengan memberontak, itulah hukum negeri ini."
Se Hwa menoleh kepada ibunya. "Lalu, apa artinya jika kita menipunya?"
"Mereka tidak akan tahu kalau kau tak bicara."
Se Hwa kembali menghela napas, lalu meninggalkan tempat itu tanpa bicara. Dia dan Seo Yeon kembali kekediaman mereka.
Melihat perubahan ekspresi dari Se Hwa, Seo Yeon pun menatap bingung. "Ada apa? Apa ibumu berbicara sesuatu yang menyakitimu?"
"Sebaiknya kau pergi dari sini selagi punya kesempatan," kata Se Hwa. "Atau kau bisa membunuhku sekarang agar aku bisa melindungi orang-orangku."
Seo Yeon tak mengerti arah pembicaraan Se Hwa. Dia memang ingin membalaskan dendam Jeong Guk, tapi bukan dia yang akan membunuh perempuan itu. Melainkan anaknya nanti ketika tumbuh dewasa. Ya, wanita itu harus mati di tangan anak-anaknya.
"Kehidupan di sini terlalu kacau, Seo Yeon. Aku takut kau akan mati sebelum dendammu terbalaskan," kata Se Hwa mengakhiri percakapannya, lalu masuk ke kamarnya.
Seo Yeon mematung bingung dengan apa yang dibicarakan Se Hwa. Hidup di lingkungan keluarga bangsawan memang hal yang sangat baru baginya. Setelah diam beberapa saat, Seo Yeon pun masuk ke kamar yang disiapkan untuknya. Akan lebih baik jika dia membenamkam dirinya di tempat permandian.
Se Hwa terduduk di kamarnya. Di hadapannya kertas tergelar di meja dengan tinta yang sudah dia siapkan. Hatinya menangis mengenang keberadaan Jeong Guk. Segala permasalahan belum juga terpecahkan, lalu muncul lagi masalah yang lainnya.
Se Hwa memejamkan mata. Dia memusatkan pikiran untuk menciptakan sosok Jeong Guk dalam imajinasinya. Wangi peach yang lembut dan manis, jubah putih yang selalu pria itu kenakan, serta rambut panjangnya yang lembut. Tubuhnya yang kekar, serta letupan gairahnya membuat Se Hwa makin merindukannya.
Dia merindukan bagaimana Jeong Guk memperlakukannya denga hangat dan mesra. Bagaimana Jeong Guk melumat bibirnya, juga bagaimana mereka melebur dalam gairah yang membara, sama-sama berupaya saling mengalahkan dalam lenguhan-lenguhan panjang penuh kenikmatan.
Se Hwa mendapatkan seutuhnya imajinasi tentang pria itu, lalu mulai melukisnya di atas kertas. Air matanya menetes ketika dia berhasil memeta wajah orang yang dicintainya itu.
Tangan wanita itu gemetar ketika goresan demi goresan tinta memenuhi kertas kosongnya. "Jeong Guk," panggilnya dengan suara lirih. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caraku menghindari pernikahan ini?"
Se Hwa membiarkan air mata terus menganak sungai di wajahnya. Dia tahu apa pun keputusannya akan berakhir pada kematian. Menolak perintah sama dengan pengkhianatan, menipu putra mahkota seperti rencana ibunya pun sama saja. Jika semuanya terbongkar dia juga harus mati. Wanita itu hanya bisa menangis dalam kebingungannya.
Sampai lelah menyapanya, Se Hwa pun merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Dia membiarkan semua alat gambarnya berserakan. Dalam mimpinya Jeong Guk tersenyum, lalu memeluknya dengan hangat. Pria itu mencumbunya seperti bagaimana mereka bercinta di masa lalu.
Se Hwa membiarkan khayalnya terbang dan berkelana di alam mimpi yang terasa nyata. Dia ingin bahagia, setidaknya malam itu di mimpinya sendiri, sebab esok dia tak tahu harus menghadapi hari dengan cara yang seperti apa. Se Hwa hanya bisa mencoba pasrah dan bertahan demi janin yang berkembang dalam rahimnya. Dua janin benih cintanya dengan Jeong Guk.