Part 42

1183 Words
Mereka sampai di kediaman keluarga Hwang dengan selamat. Seo Yeon diijinkan tinggal di tempat Se Hwa. Kamar mereka bersebelahan. Sebagai seseorang yang diakui teman baik, semua pelayan Se Hwa melayani Seo Yeon dengan sangat baik. Nyonya Hwang datang mengunjungi putrinya. Sedikit terkejut, wanita itu memperhatikan cangkir minum di hadapan putrinya. Dia jelas tahu jenis minuman itu karena dia juga pernah meminumnya saat mengandung buah hatinya. "Kau ke mana saja? Kenapa tak meminta ijin untuk pergi?" "Maafkan aku, Ibu. Tapi ada hal penting yang harus aku urus." "Yang Mulia putra mahkota terus menanyakanmu." "Aku tak berminat menemuinya." "Tapi ... Yang Mulia Raja sudah mempersiapkan perintah untuk membawamu ke istana sebagai seorang selir." "Ibu, sudah berapa kali aku katakan aku tak mau menikah dengan putra mahkota." "Kenapa? Apa karena kau sedang hamil?" Se Hwa tertegun. Bagaimana ibunya tahu soal kehamilannya. Dia melirik cangkir di hadapannya, barulah dia menyadari kesalahannya. "Katakan, siapa ayah dari calon bayimu? Apa itu Min Ju? Aku harus memberitahu putra mahkota soal ini. Beliau tak boleh terlalu berharap untuk bisa menikahimu." Se Hwa hanya menggeleng. "Ayahnya sudah meninggal," jawabnya kemudian. Nyonya Hwang terdiam. Sejenak dia menatap putrinya dengan dalam. Anak perempuannya itu hanya menunduk. Nyonya Hwang pun bangkit, lalu memeluknya. "Jangan khawatirkan apa pun, kita akan menjaganya bersama." Se Hwa tak percaya dengan apa yang dia dengar. Ditatapnya sang ibu yang tersenyum penuh kasih, lalu mereka saling berpelukan. "Besok, ibu akan meminta tabib untuk meramu obat yang lebih baik agar kau tetap bugar, ya." Se Hwa mengangguk patuh. Dia jadi merindukan ibunya di Korea. Bagaimana kabar kedua orang tuanya? Sudah hampir lima bulan dia ada di Joseon dan tak tahu caranya kembali. Nyonya Hwang melepas pelukannya ketika dayang menyampaikan tentang kedatangan Min Ju ke tempat itu. Pria itu pun dipersilakan masuk. "Apa kabarmu, Teman," kata Min Ju setelah duduk di atas lantai kayu. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Mau jalan-jalan denganku? Ada hal banyak hal yang ingin aku bahas." Nyonya Hwang hanya diam mendengar percakapan mereka. Min Ju mengiakan ajakan teman kecilnya itu. Mereka berdua pun berjalan-jalan di sekitar paviliun. Sementara Nyonya Hwang sudah kembali ke paviliunnya. "Ada hal penting apa?" Min Ju menatap Se Hwa penuh tanya. Wanita itu menghela napas, lalu tersenyum. Mereka berhenti di tepian kolam. Ada tempat peristirahatan di sana. Bunga-bunga bermekaran, kupu-kupu pun berkeliaran hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain. Mereka mengumpulkan nektar untuk di makan. "Malam itu ... menurutmu apa yang terjadi?" Min Ju tak lantas menjawab pertanyaan temannya. Dia memikirkan peristiwa kelam pada malam ketika Tuan Hwang dan seluruh pelayannya meninggal dunia. "Apa menurutmu Jeong Guk benar-benar bersalah?" Min Ju menghela napas. "Apa hubunganmu dengan siluman itu? Aku melihat luka yang teramat dalam di matamu." "Itu bukan sesuatu yang penting," Se Hwa berkilah. "Apa dia yang menyelamatkanmu di hutan terlarang?" Se Hwa menarik napas, lalu mengangguk. "Dan sekarang aku mengandung anaknya." "Apa? Jadi, kau hamil? Kalian berdua sudah menikah?" Se Hwa menitikkan air mata. Mengingat tentang Jeong Guk selalu membuatnya terluka. "Aku ...." Wanita itu tak bisa meneruskan ucapannya. "Hampir semua orang di kediaman Hwang mati karena racun ular. Itu berarti siluman itu memanfaatkan binatang melata itu untuk membunuh. Namun, di sini aku menemukan ada sesuatu yang aneh." "Katakan." Se Hwa menunggu jawaban dengan tak sabar. "Malam itu terlalu banyak pasukan panah yang meninggal. Mereka seperti bersembunyi di atas atap dan menunggu kedatangan siluman rubah itu." "Maksudmu ini jebakan?" Min Ju mengangguk. "Aku sedang menyelidikinya. Aku mulai mencurigai putra mahkota. Bukankah dia yang menjemputmu dari tempat siluman itu?" Se Hwa berusaha mengingat apa yang terjadi. Waktu itu, putra mahkota memang datang ke sana, lalu memberinya makanan. Setelah itu, dia tak ingat apa pun lagi. Tahu-tahu dia sudah ada di kediamannya. Saat itu, Se Hwa tak ambil pusing karena terlalu bahagia telah kembali ke rumahnya. Ditambah lagi Yang Mulia Raja memberinya pengampunan. Karena terlalu bahagia, sejenak dia melupakan tentang gunung rubah. Dia juga berpikir, Jeong Guk pasti akan menyusulnya ke sana. Bukankah mereka juga pernah berencana untuk datang ke kediaman keluarga Hwang dan memperkenalkan Jeong Guk kepada Tuan dan Nyonya Hwang. Namun, sebelum itu terjadi dia dihadiahkan liburan ke paviliun tratai dan tragedi itu pun menimpa keluarga Hwang. "Coba kau pikirkan, kenapa hanya kau dan ibumu yang dikirim ke paviliun. Ini seperti kau sengaja dijauhkan agar kau tak membela iblis itu." Se Hwa membenarkan ucapan Min Ju. "Jika benar demikian, apa itu berarti ayahku yang ditugaskan untuk oprasi khusus itu?" "Mungkin. Sebab dari awal Raja memang ingin membunuh rubah itu karena dia dianggap pembawa bencana dan menyebarkan virus mematikan waktu itu." "Bukan dia," sanggah Se Hwa. Min Ju mengerutkan dahinya. "Mengapa kau begitu yakin" "Karena ketika aku dikirim ke Hokdo, seorang prajurit memberiku kue beras, lalu setelah makan kue itu, aku mengalami gejala sakit yang sama dengan wabah itu. Kemudian mereka meninggalkanku di hutan terlarang. Dari sana aku tau kalau virus itu sejatinya bukan virus, tapi racun yang mematikan yang bisa disamarkan seolah-olah itu wabah berbahaya." Min Ju tampak berpikir keras. "Tapi, apa yang mereka inginkan dengan membunuh rakyat." Keduanya pun terdiam, mereka sama-sama terjebak dengan pemikiran masing-masing. "Coba kau pikirkan, jika wabah itu terus menyebar, siapa yang paling terkena dampaknya?" Se Hwa kembali bicara. "Mungkin pangeran." "Tidak, jika pangeran tidak terjun langsung memimpin ke tempat bencana dan mencoba menanganinya." "Bukan itu maksudku," kata Min Ju. "Jika ini konspirasi, maka semuanya sudah disusun dengan baik. Nyatanya pangeran pergi untuk melawan siluman rubah itu dan kau diutus untuk memusnahkan desa yang terisolasi." "Jadi, maksudmu?" Se Hwa mulai mendapat benang merah dari kasus itu. "Benar. Putra mahkota tak mungkin menang melawan siluman rubah. Sehebat apa pun dia, pangeran pasti mati di tangan siluman itu. Dan, jika memang virus itu bukan virus, tetapi racun. Aku yakin setelah kau berhasil memusnahkan desa terisolasi itu, kau akan diberikan racun yang sama, lalu kau dan seluruh keluargamu akan dipaksa bunuh diri agar tak menyebarkan wabah yang sama." Se Hwa menelaah dengan hati-hati setiap perkataan Min Ju. Nyatanya, apa yang dikatakan pria itu semuanya masuk akal. Lalu, ketika rencana pertama gagal, maka penjahat itu menggunakan taktik kedua. Pangeran hampir terbunuh kalau Se Hwa tak segera datang. Namun, terlambat untuk menyelamatkan Tuan Hwang. Di sisi lain, dendam membuat Se Hwa melumpuhkan Jeong Guk. Itu mungkin sekenario yang berbeda, sebab yang ingin mereka bunuh adalah pangeran. Atau mungkin rencana mereka telah berubah sebab di tubuh Se Hwa ada mutiara rubah. Manusia mungkin tak bisa merasakan keberadaan mutiara itu, tapi tidak dengan iblis. "Se Hwa ...," panggil Min Ju ketika wanita itu diam seribu bahasa. "Siapa yang paling kau curigai?" "Entahlah. Aku hanya sedang memikirkan kemungkinan orang itu bekerjasama dengan iblis yang sangat jahat. Iblis yang menginginkan kekuatan luar biasa dari hal paling berharga yang dimiliki Jeong Guk." "Maksudmu, mutiara rubah? Apa benar mutiara itu ada padamu?" "Kau mengetahuinya?" "Pangeran pernah mengatakan itu kepadaku. Katanya dia mendapatkan info itu dari gurunya." "Guru?" "Iya, Guru yang sangat hebat. Dia bernama Jung Jiang." Se Hwa makin bingung. Dia tak pernah tahu siapa Jung Jiang dan dari mana asal orang itu. Bagaimana dia bisa kenalan dengan pangeran, lalu di mana dia sekarang. Ada begitu banyak hal yang harus Se Hwa selidiki jika benar-benar ingin menang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD