Part 27

1033 Words
Sepasang kekasih itu masih bergelung di bawah selimuf tebal. Keduanya saling memeluk dengan mesra. Cicit burung-burung di luar sana tak dipedulikan oleh mereka. Keduanya terlalu lelah setelah semalam terjebak dalam kenikmatan yang mereka ciptakan hingga pagi tiba. Sang surya mengetuk jendela, lalu tanpa permisi menerobos masuk melalui celah-celah kecil. Sinarnya sedikit menerangi rumah kayu itu. Se Hwa mengerang lemah, lalu merapatkan pelukannya. Tenaganya terkuras habis. Jeong Guk balas memeluknya serta mencuri kecupan di pucuk kepala sang kekasih. "Tidur dulu, aku tau kau kelelahan. Apa kau lapar?" Se Hwa mengangguk tanpa membuka mata. Wangi harum manis peach yang menguar dari tubuh Jeong Guk benar-benar membuatnya mabuk. Dia enggan menjauh dari pemuda itu. "Tunggulah, akan kuambilkan buah untukmu." "Aku mau mandi juga," kata Se Hwa manja sambil membuka matanya tatkala Jeong Guk menggeser posisinya. "Jangan menatapku dengan tatapan itu atau aku akan mengajakmu bermandikan keringat seperti semalam." "Pergi sana! Aku lapar." Se Hwa mendorong tubuh Jeong Guk. Wajahnya memerah menahan malu. Bayangan bagaimana semalam mereka bergumul tiada henti membuatnya senyam-senyum sendiri. Dia tak menyangka akan bereaksi sebinal itu. Sepeninggal Jeong Guk, Se Hwa mengambil pakaiannya dan segera mengankannya kembali. Bagian sensitifnya terasa sedikit aneh, tapi itu tak menyakikan. Se Hwa merapikan rambutnya. Jeong Guk datang membawa nampan berisi buah-buahan. "Kau mau ke mana? Tak ingin tidur lagi?" "Tidak, aku mau mandi," kata Se Hwa, lalu mengambil apel merah dan mengupasnya. "Rasanya badanku lengket semua." "Baiklah, ayo kita mandi bersama." "Tapi tidak berbuat yang aneh-aneh, ya." Gadis itu menatap curiga. "Tidak, Sayang. Aku juga lelah." Jeong Guk mengusap rambut wanitanya, lalu meninggalkan wanita itu bersama sepotong apel di tangannya. Mereka berdua pun berendam di bawah air terjun yang begitu jernih. Se Hwa mendadak ingat ketika Naya terjangkit penyakit saat ditinggalkannya di dekat air terjun. "Jeong Guk, apa kau tau kebenaran penyakit itu? Siapa yang meracuni mereka?" Jeong Guk menggeleng. Rambut panjangnya basah oleh air. "Aku tak tahu, tapi aku yakin ada konspirasi di dalamnya. Harusnya kau menyelidiki kasus itu lebih lanjut. Aku tak ingin terlalu ikut campur urusan manusia." "Jadi, karena itu kau tak peduli meski wabah menyerang desa itu dan mereka semua akan dibakar hidup-hidup?" "Dahulu, mereka juga ingin membakarku hidup-hidup. Ketika aku kecil dan kelaparan, tak ada yang mengasihaniku. Mereka malah memburuku dan ingin memakanku." Se Hwa terdiam. Sekarang dia mengerti kenapa Jeong Guk hanya mengobati satu orang dan orang itu berasal dari desa yang lain. Desa yang memberinya kehidupan. Desa tempatnya berhutang budi. "Lalu, kenapa akhirnya kau menolong mereka?" "Karena aku berhutang budi kepadamu. Kau menerima serangan panah itu untuk melindungiku sementara kau datang ke hutan ini untuk mencari obat buat mereka." Jeong Guk berenang ke arah Se Hwa. "Aku sudah pernah jelaskan tentang makna hutang budi bagi seekor rubah, kan?" "Huum." Se Hwa mengusap rambut kekasihnya. "Terima kasih sudah menyelamatkan mereka semua." Perempuan itu mencium kening Jeong Guk. "Terima kasih juga kau telah datang ke hutan ini, jika tidak mungkin selamanya aku tak akan merasakan cinta." "Apa kau sedang menggombal?" Jeong Guk tertawa, lalu menarik Se Hwa menyelam ke dalam air. *** Kedua pasang kaki itu menjuntai ke bawah. Se Hwa dan Jeong Guk duduk di atas dahan sambil menikmati buah peach. "Aku ingin kembali ke istana guna menyelidiki kasus ini. Bagaimanapun sebuah konspirasi besar selalu berasal dari istana. Perebutan kekuasaan selalu menjadi dasar dari setiap kasus. Entah itu kematian pangeran, ibu suri, bahkan sampai kematian pelayan pun bersumber dari masalah perebutan kekuasaan." Se Hwa menjeda kalimatnya. "Hanya saja, jika aku kembali dan mereka menemukanku, akan jadi masalah untuk seluruh keluarga Hwang dan semua pelayan yang menggantungkan hidup di sana." "Aku mengerti." Jeong Guk menatap burung-burung yang bercanda ria. "Tapi, jika itu yang benar-benar ingin kau lakukan, aku akan menemanimu." "Bukan karena kau takut mutiara ini akan hilang?" Se Hwa mencibir, Jeong Guk tertawa. "Itu juga salah satunya. Sudah kubilang aku harus selalu dekat dengan mutiara itu." "Ya, ya. Lagipula aku tak bisa menjualnya. Jika ini Seoul, mungkin aku bisa menjualnua kepada budayawan dan aku akan jadi milyarder." Jeong Guk terbengong mendengar kata-kata gadis di sebelahnya. Dia tak mengerti. Melihat ekspresi bloon kekasihnya, Se Hwa pun terbahak-bahak. "Kau lucu sekali. Dengarkan aku, kau harus panjang umur agar kelak kau bisa hidup di Seoul. Kota metropolitan yang sangat luar biasa dan selalu jadi tempat tujuan wisatawan asing." "Apa?" Pria itu makin bingung. Se Hwa tertawa makin keras. Dia menarik hidung Jeong Guk. "Sudah, abaikan ocehanku. Anggap saja aku hanya sedang mengigau." "Kau gadis aneh." Jeong Guk menggerutu. Se Hwa melompat turun, kemudian menengadah menatap Jeong Guk. "Mau pergi ke desa bersamaku? Aku ingin tau kondisi desa itu sekarang." Jeong Guk pun turun dan berjalan di sebalah Se Hwa. "Kau yakin ingin ke sana? Bagaimana jika mereka mengenalimu dan melaporkanmu ke istana? Apa kau pikir mereka orang-orang yang tau balas budi?" "Entahlah, tapi aku mencurigai seseorang." Sebebelum melanjutkan bicaranya, Se Hwa menoleh ke arah Jeong Guk. "Aku dan Naya pernah menginap di sebuah losmen, anehnya pemilik losmen terlihat segar dan bugar di tengah wabah yang merenggut begitu banyak orang. Tak ada kecemasan dan ketakutan juga di wajahnya. Jadi, aku pikir mungkin dia tau sesuatu." "Lalu?" "Lalu, ya, tentu saja aku akan menginterogasinya." Jeong Guk malah tertawa. "Sekarang aku ragu bahwa kau itu seorang jendral." "Maksudmu?" "Jika ini konspirasi, apa kau pikir pemilik losmen itu masih akan bernyawa sampai detik ini?" Se Hwa tertegun. Apa yang dikatakan Jeong Guk benar. Jika pemilik losmen itu adalah orang-orang mereka, tentunya dia dan keluarganya pasti sudah dibunuh untuk menghilangkan barang bukti. "Misi mereka gagal, itu artinya mereka harus dilenyapkan, benar, kan?" "Iya, kau benar." Se Hwa menghentikan langkahnya hingga membuatnya tertinggal di belakang. Jeong Guk menoleh. "Apa yang kau lakukan di sana?" "Itu ...." Se Hwa menunjuk ke satu arah. Jeong Guk pun mengikuti arah telunjuk gadis itu. "Sebaiknya kita kembali. Aku merasa akan ada hal buruk yang terjadi." Jeong Guk masih terdiam. Entah apa yang dipikirkannya, tapi tiba-tiba dia memeluk kekasihnya, lalu melompat ke atas pohon. "Jeong ...." "Sstt ...." Jeong Guk menekan bibir Se Hwa dengan telunjuknya. "Sepertinya di sini tempat yang indah untuk bercinta." Buk! "Sialan!" Se Hwa memukul perut Jeong Guk yang membuat pria itu meringis sekaligus tertawa. Dia suka melihat rona merah di pipi Se Hwa. Itu membuatnya terlihat kian manis dan menggoda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD