Tiga hari perjalanan menuju sungai Tuman, akhirnya pangeran sampai di tempat itu. Dia menyamar menjadi penduduk desa agar bisa membaur dan tidak dicurigai. Pangeran berjalan mengitari jalan-jalan desa. Harapannya hanya satu, dapat bertemu dengan Se Hwa.
Sebuah kuil kuno mengusik atensi pria itu. Dia mengayun langkah masuk ke kuil itu. Sejenak pangeran menggelar doa. Dia bersujud di hadapan patung dewa dan dewi. Matanya terfokus pada sosok patung dewi yang sangat cantik.
"Kenapa menatapnya sampai seperti itu?"
Pangeran menoleh ke samping. Sesosok pria duduk di sebelahnya.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku tahu siapa kau sebenarnya."
"Apa maumu?!" Pangeran bergerak sedikit menjauh. Dia mulai mawas diri.
Pria asing itu tertawa. "Perempuan yang kau cari sudah terkena guna-guna dari siluman rubah dari gunung rubah. Siluman rubah itu menitipkan mutiara rubahnya di tubuh sang wanita agar bisa menyerap seluruh jiwa wanita itu dengan perlahan."
"Kau ... kau tau?"
Pria itu bangkit, lalu meninggalkan kuil itu. Pangeran mengikutinya.
"Tunggu, jelaskan kepadaku dengan lebih jelas."
"Yang pasti, perempuan itu akan mati jika tidak segera kau jauhkan dari siluman itu."
"Tapi bagaimana caranya?"
"Bawa saja perempuan itu kembali ke istana. Urusan rubah itu, biar aku yang membasminya. Karena mutiaranya sekarang ada di tubuh wanitamu, itu artinya siluman rubah itu kehilangan sebagian besar kekuatannya. Mereka harus terus bersama agar siluman itu bisa menikmati jiwa perempuanmu. Sampai dia puas, barulah dia akan mengeluarkan mutiaranya dan wanita itu akan langsung mati dengan tubuh yang mengering."
"Kurang ajar." Pangeran menggeram marah. "Aku harus membunuh siluman itu!"
"Bukan kau. Tugasmu hanya harus menjauhkan wanita itu. Dan, yang lainnya biar jadi urusanku."
"Setuju." Pangeran mengulurkan tangannya, mengajak pria asing itu untuk menjalin persahabatan. "Panggil aku San."
"Kau tak perlu menyamar di depanku, Pangeran. Tapi, sesuai permintaanmu kau akan kupanggil San. Dan, kau bisa memanggilku Jang Jiang."
Mereka berdua pun berjalan beriringan. "Sekarang kita akan ke gunung rubah. Kita harus mencari wanita itu dan memberinya pengertian tentang bahayanya tinggal dengan rubah itu."
"Tapi, kenapa rubah itu memilih Se Hwa. Bukankah di sini ada banyak sekali manusia."
"Kau tidak tau?"
Pangeran menggeleng. Dia memang tak tahu apa pun jika berurusan dengan siluman. Yang dia tahu hanyalah dia harus membunuh rubah itu.
"Jiwa wanita itu sangat harum. Semua siluman menginginkannya. Darahnya pasti manis karena wanginya bahkan tercium dari tempat yang cukup jauh. Aku belum pernah bertemu manusia yang memiliki jiwa seperti itu."
Pangeran tak mengerti apa yang dibicarakan pria yang bersamanya saat ini. Dia hanya menyetujui satu hal bahwa Se Hwa memang istimewa.
"Kau tau, dengan memakan jiwa istimewa seperti itu, maka siluman manapun akan memilikin kekuatan setara dengan dewa. Tak akan ada yang bisa mengalahkannya. Itulah kenapa siluman rubah itu memanfaatkannya."
"Tapi, bagaimana kau bisa tau?"
Pria itu tertawa. Dia mengusap-usap janggutnya yang tak begitu panjang. "Aku ini pemburu siluman. Bagaimanapun, siluman tidak boleh tinggal di dunia manusia. Mereka terlalu berbahaya karena mereka memakan jiwa-jiwa manusia yang berhasil masuk perangkapnya."
"Kau benar." Pangeran menyetujui dengan penuh keyakinan. "Bahkan, mereka menyebarkan virus mematikan di Joseon. Untunglah Se Hwa bisa menyelamatkan warga desa. Hampir saja siluman rubah itu berpesta dengan jiwa-jiwa mereka yang mati karena wabah itu."
Pria itu menghentikan langkah. Matanya menatap lurus ke arah puncak gunung rubah. "Kau akan segera naik tahta, jadi jagalah negerimu agar tak terusik oleh siluman-siluman itu." Jung Jiang menoleh kembali menatap sang pangeran. "Akan kuberitahu caranya menumpas iblis-iblis yang saat ini tengah berkeliaran dan membaur dengan manusia-manusia lainnya."
"Baik, Guru. Ajarkan aku bagaimana caranya. Apa pun ajaranmu pasti akan aku laksanakan."
Jung Jiang tersenyum. "Kau orang yang luar biasa, Anak Muda. Meski aku tak menunjukkan siapa diriku, tapi kau bisa mengenaliku dan memanggilku sebagai gurumu. Aku sangat tersanjung. Aku berjanji, akan kubasmi siluman-siluman jahat itu agar Joseon tetap jaya selamanya."
Mendengar ucapan Jung Jiang, pangeran pun sangat senang. Dia merasa telah bertemu dengan guru yang agung dan akan mengabdikan dirinya untuk belajar dari pria paruh baya itu.
"Sekarang, untuk mempercepat perjalanan ke gunung rubah sebaiknya kita menyewa seekor kuda."
"Kenapa Guru Jung harus repot. Gunakan saja kudaku, aku akan menyewa kuda dari penduduk setempat."
"Kau sangat baik. Aku doakan semoga di bawah kepemimpinanmu Joseon akan menemukan masa keemasannya."
"Terima kasih, Guru." Setelah itu, Pangeran dan Jung Jiang pun berangkat ke gunung rubah.
Derap kaki kuda yang dipacu membelah kesunyian hutan yang akan mengantar mereka ke gunung rubah. Hari masih siang kala itu. Ringkik kuda jantan terdengar gagah dan menantang seisi hutan. Penghuni hutan menyingkir perlahan, bersembunyi di antara semak-semak karena mengira mereka berdua adalah pemburu.
Suara angin menyapa dedaunan tak mampu mengalihkan konsentrasi mereka. Keduanya sudah terfokus pada puncak gunung rubah yang mungkin harus ditempuh dalam waktu tiga hari dua malam.
Pangeran terus dilanda cemas akan nasib Se Hwa. Makin lambat dia menyelamatkan perempuan itu, maka akan makin berbahaya baginya.
"Kau tak usah mengkhawatirkannya," kata Jung Jiang ketika mereka sedang beristirahat untuk mengambil air minum di sumber mata air di kaki gunung. "Yang harus kau pikirkan sekarang adalah, bagaimana cara meyakinkannya agar dia mau kembali ke istana dan meninggalkan rubah itu. Guna-guna rubah itu sangat kuat. Pasti akan susah bagimu untuk menyadarkan Se Hwa. Gadis itu akan bisa sadar sepenuhnya jika benar-benar jauh dari si rubah yang mengenainya guna-guna."
Pria tadi memasukkan tangan ke lipatan bajunya. Dia mengekuarkan botol kecil yang berisikan butir-butir obat. "Ambil ini. Obat ini akan melumpuhkan ingatan perempuan itu untuk sementara waktu. Kau bisa membawanya pergi setelah itu. Pikirkanlah bagaimana caramu agar dia bisa menelan pil ini tanpa sepengetahuannya, sebab jika diberikan secara langsung, dia pasti tak akan mau meminumnya."
"Baik, Guru."
Setelah mengisi botol air mereka dengan air jernih dari sumber air tanah yang segar, mereka pun memutuskan untuk mencari tempat peristirahatan agar besok bisa melanjutkan perjalanan dengan kondisi yang segar dan bugar. Lagipula, sebentar lagi malam. Jika malam tiba pasti akan ada banyak binatang buas yang mencari mangsa.
Pangeran dan Jung Jiang beristirahat di dalam gua. Pangeran keluar mencari kayu kering untuk menyalakan api unggun di dalam goa nanti.
Rona senja pun menyapa di ufuk barat. Pangeran berdiam memandangi langit yang kemerahan itu. Sesaat dia teringat akan kebersamaannya dengan Se Hwa. Sudah banyak hal mereka lakukan bersama. Termasuk menikmati senja ketika mereka harus berperang melawan serangan mongol di perbatasan. Urusan politik memang selalu membingungkan. Joseon dan Mongol bersahabat, tapi suatu waktu mereka saling salah paham dan saling serang, sampai kemudian mereka bersatu kembali dan saling memaafkan.
Ah, San rindu menonton senja bersama orang yang dicintainya. Begitu kembali nanti, apa pun yang akan terjadi, dia akan meminta raja untuk menikahkannya dengan Se Hwa.