"Ka-kau kenapa, Putriku? Jeong Guk siapa? Ibu baru kali ini tahu nama itu. Jangan buat Ibu bingung."
Seo Rie, ayah Airin pun ikut kebingungan. Dia menyentuh tangan putrinya. "Sebaiknya kau istirahat, ya. Jangan pikirkan apa pun. Appa akan memangil dokter untuk memeriksamu dengan lebih hati-hati."
Airin ingin menjawab, tapi terdengar suara ketukan dari luar. Mereka bertiga pun kompal menoleh ke arah pintu.
"Akhirnya kau sadar juga. Syukurlah."
"Pak Hansol ...," ucap Airin. Pria itu melempar senyum.
"Kau masih ingat denganku? Aku pikir kau akan melupakanku setelah kejadian naas malam itu."
"Aku ... aku hanya memimpikan sesuatu yang aneh saat tidur panjangku."
Hansol hanya tersenyum, kemudian memberi salam kepada orang tua Airin dan mengobrol dengan mereka.
"Pendeta bilang sekaranglah saatnya Airin menyelesaikan takdirnya di masa lalu. Dia harus bisa menghapuskan dendam siluman rubah yang dibawanya hingga saat ini. Jika, dia tak bisa menyelesaikan takdirnya, maka Airin akan selalu celaka."
Bukannya mendengarkan kata-kata Hansol, Seo Rie malah marah dan mengusir pria itu. Dia tak mau mendengar apa pun jika itu berkaitan dengan rubah atau segala urusan dengan pendeta dan ramalan-ramalannya yang Seo Rie anggap hanya bualan.
"Tapi ...."
"Pergi kau, pergi!"
"Tidak, Appa ...." Suara Airin menghentikan perdebatan itu. Tiga orang yang tadi bicara di luar ruangan seketika menoleh.
"Airin! Kenapa kau keluar? Kau belum sembuh, ayo kembali ke tempat tidurmu!"
"Tidak, Eomma." Airin malah berjalan mendekati Hansol. "Tolong, bawa aku menemui pendeta itu."
Hansol mengangguk, tapi Seo Rei segera mencegahnya. Ceonsa menitikkan air mata. Airin bahkan baru selesai dioprasi kemarin. Sekarang dia sudah ingin pergi. Ada apa sebenarnya, dia sama sekali tak mengerti.
Melihat Ceonsa menangis, Airin pun merasa bersalah. Dia meminta maaf dan berjanji akan menemui Hansol lagi setelah benar-benar sembuh, dan diizinkan meninggalkan rumah sakit. Untuk sementara dia meminta Hansol untuk pergi dan tak usah menemuinya lagi.
Setelah kepergian Hansol, Airin kembali beristirahat di ranjangnya. Dia sudah berjanji tak akan menyakiti ibunya lagi. Dia tak mau berpisah lagi dengan orang tuanya seperti waktu itu.
Airin memejamkan matanya setelah memakan bubur yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Dia ingin segera pulih, lalu pergi menemui pendeta yang memberinya jimat. Dia ingin bertemu dengan Jeong Guk. Yang dia inginkan sekarang hanya mencari tahu di mana Jeong Guk.
***
Waktu berlalu dengan tenang. Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, Airin melewati hari-harinya tanpa banyak protes dan mengeluh. Semuanya berjalan lancar. Dia sembuh dengan cepat, kamudian dipulangkan oleh pihak rumah sakit.
Perdebatan terjadi lagi setelah itu. "Tapi, aku sudah sehat, Eomma! Aku mau bekerja."
"Iya, kau akan bekerja, tapi tidak di Seoul. Kau akan tetap tinggal di desa. Kau akan tinggal di Gwangju bersama kami."
"Tapi ... Appa ... perusahaan itu ada di Seoul, bukan Gwangju."
"Maka kau tak akan bekerja di perusahaan itu lagi. Kau akan bekerja di tempat kerja yang lain. Di desa pun banyak pekerjaan yamg cocok untukmu."
Airin menghela napas. "Baiklah, kita pulang saja. Aku akan mencari kerjaan lain."
Pada akhirnya Airin pun kembali ke Gwangju. Kini, sudah seminggu lamanya dia tinggal di sana.
Setiap pagi Airin akan pergi ke kebun untuk membantu sang ayah menanam strowbery, siangnya akan dia habiskan hanya untuk menonton drama Korea.
Malam itu, hujan kembali melanda Korea, termasuk Gwangju. Kedua orang tua Airin seperti tersihir oleh ilmu tidur. Mereka berdua tidur sangat nyenak. Airin gelisah dalam tidurnya.
Tubuhnya bergerak-geral tak menentu. Dia pun terjaga dan terduduk menyaksikan hujan yang menerpa jendela. Airin hanya menatapnya dalam diam.
Setitik cahaya terbang di udara. Airin terkejut menyaksikannya. Perlahan, cahaya keemasan itu masuk ke kamarnya. Airin sangat takjub melihat bahwa cahaya itu adalah kupu-kupu yang sangat cantik. Airin mengulurkan tangan ingin menyentuh kupu-kupu itu. Namun, hal ajaib terjadi dia tiba-tiba saja menghilang dari kamarnya dan muncul di suatu tempat asing yang tidak dia kenali.
Airin menatap bingung. Dia melempar pandangan berkeliling. Ada banyak patung dewa-dewi di sana. Airin langsung dapat menyimpulkan jika itu adalah sebuah kuil. Gadis itu pun berjalan berkeliling memcari kupu-kupu yang tadi sebab kupu-kupu itu menghilang begitu saja.
Airin memasuki sebuah ruang khusus. Ada sebuah lukisan yang menarik perhatiannya. Sebuah lukisan hutan bambu dan seekor rubah.
Airin memperhatikannya dengan lebih saksama. Ada debar-debar halus yang menyusupi dadanya kala itu. Dia merasa kalau dirinya ada keterkaitan dengan lukisan itu. Airin menyentuhkan tangannya di atas lukisan. Dia meraba gambar rubah itu. Matanya pun menangis.
"Jeong Guk. Kau kah Jeong Guk?" Airin bergumam. Dia menempelkan wajahnya di sana. "Jika kau memang Jeong Guk, bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa hidupku jadi serumit ini?"
Airin cukup lama menangis di sana. Air matanya bahkan membasahi lukisan itu. Setelah lama tak ada reaksi, entah apa yang di pikirkannya, Airin melakukan hal gila dengan menyentuhkan bibirnya dengan bibir si rubah.
Petir menggelegar. Airin terkesiap, lalu mendapati dirinya sudah kembali ke kamarnya. Dia mencari-cari lukisan itu, tapi tak menemukan apa pun.
"Apa aku kembali bermimpi?" tanyanya dalam hati. Dengan pasrah dan mencoba mengabaikan semua halusinasi yang dia alami barusan, Airin pun mencoba tidur kembali.
Hujan mereda. Cuaca dingin menyusup hingga kesumsum tulang. Penghangat ruangan Airin yang sedikit bermasalah membuat Airin menutup dirinya menggunakan selimut yang begitu tebal. Saat itulah sesosok makhluk berbulu tiba-tiba muncul di sebelahnya. Dia menatap Airin dengan perasaan kesal, lalu tidur di sebelah gadis itu. Dia memeluk Airin dan menghangatkannya di balik bulu-bulunya.
Airin terlelap hingga pagi menjelang. Mimpinya begitu indah malam ini. Dia belum menyadari bahwa ada sesosok lain di sebelahnya saat ini. Lalu, ketika dia terjaga di pagi hari, barulah dia terkejut menyaksilan dirinya sudah ada dalam delapan seorang pria yang sangat tampan. Dia ingin menjerit, tapi pria itu membekap mulutnya dengan ciuman yang begitu liar dan dalam.
Lidah pria itu menyusup ke dalam mulut Airin, membelit lidahnya hingga Airin hanya bisa mengerang tertahan. Napas keduanya memburu. Pria itu menahan pergerakan tangan Airin dengan satu tangannya. Sementara tangannya yang lain menyusup di balik gaun tidur gadis itu. Tangan itu bergerak intens meremas dan memelintir apa yang ada di d**a Airin.
Gadis itu mengerang. Dia tersulut gairah. Napasnya terengah-engah. Pria itu terus melancarkan aksinya dengan hebat, tapi tepat ketika dia akan menelanjangi Airin, Seo Rie mengetuk pintu dari luar. Pria rubah itu terkejut, lalu menghilang dari sana.