Part 69

1084 Words
"Airin, kau sudah bangun, Nak?" Seo Rie mengetuk pintu. Gadis itu tergagap bingung. Dia tak mengerti apa yang membuatnya bingung. Apa yang dialaminya barusan seperti sebuah mimpi. Ada yang mencumbunya dengan begitu b*******h, lalu semuanya hilang secara tiba-tiba, dan terdengar bunyi ketukan pintu. Gadis itu menyingkap selimutnya. Tak ada siapa pun di sana. Ayahnya masih memanggil di luar sana. Dia pun turun dari ranjang, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. "Aku sudah bangun, Appa. Ada apa?" "Bagaimana tidurmu semalam?" Sang ayah menatap anaknya penuh raut ke khawatiran. "Maafkan appa dan eomma karena tidur terlalu lelap." "Tak apa-apa, Appa. Aku pun tidur nyenyak semalam. Hujan dan petir tak lagi menggangguku." "Baguslah. Oh, ya, eomma sedang menyiapkan sarapan. Turunlah. Kita akan sarapan bersama sebelum pergi ke kebun." "Baik. Aku mandi dulu." Sang ayah pun meninggalkan tempat itu dan Airin kembali menutup pintu. Dia menatap kamarnya sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Entah itu nyata atau bukan, dia benar-benar tak bisa membedakannya. Airin merapikan tempat tidurnya, melipat seprai dan menyapunya. Ketika itulah dia menemukan bulu-bulu halus berwarna putih bertebaran di sana. "Apa ini bulu rubah? Jeong Guk? Apa Jeong Guk datang kemari?" Airin berlari ke arah jendela. Tak ada siapa pun di sana. Dia pun memeriksa ke tempat lain, tapi tetap saja tak menemukan apa yang dicarinya. Airin menghela napas kecewa. Mungkin yang dialaminya semalam hanya halusinasi. Dia pun membuang bulu-bulu itu ke tong sampah. Selesai membersihkan kamar, Airin membersihkan dirinya, lalu bergabung dengan orang tuanya. "Nak, kau tak masalah untuk pergi ke kebun sendiri, kan?" "Kenapa, Eomma? Kalian akan ke mana?" "Barusan, Eomma mendapat telepon dari keluarga temannya. Katanya teman Eomma meninggal dunia, jadi aku dan Appa memutuskan untuk datang ke sana melayat." "Oo ...." Airin manggut-manggut. Dia memasukkan sejumput kimci lobak ke mulutnya. "Ya, sudah, aku pergi sendiri saja. Tak masalah." "Terima kasih, Nak." Sang Ibu tersenyum. "Kami akan kembali sebelum malam." Airin hanya manggut-manggut. Setelah selesai sarapan, kedua orang tuanya pun berangkat mendahului. Tempat mereka melayat memang cukup jauh. Hal itu membuat mereka harus berangkat pagi itu juga agar bisa kembali sebelum malam tiba. Mereka tak ingin meninggalkan Airin sendirian. Mobil yang dikendarai Seo Rie dan istrinya pun melaju. Di atas tembok pagar rumahnya bediri seekor rubah putih kecil dengan matanya yang berbinar merah. Sayangnya tak ada yang melihat rubah itu, juga kemarahan di matanya. Kedua orang tua Airin pergi begitu saja tanpa merasakan firasat buruk apa pun. Airin bernyanyi riang di dalam rumah. Diambilnya tas slempang yang bertengger di meja rias. Dia bersiap mengayun langkah keluar tatkala sesosok manusia berdiri di belakangnya. Dia terlonjak. "Jeong Guk ...." Gadis itu tersenyum riang. Dia hendak memeluk pria itu, tapi tanpa banyak kata Jeong Guk mencekik lehernya. Tubuh Airin terdorong ke belakang hingga membentur meja rias. Alat-alat make-up berserakan akibat benturan. "Akh! Akh!" Gadis itu meronta di dalm cekikan tangan Jeong Guk yang makin menjadi-jadi. Kuku tangannya yang panjang menggores kulit leher Airin. "Kau harus membayar seluruh kematian keluargaku di Tuman!" ucap Jeong Guk berang, lalu matanya menyala merah. Airin menitikkan air mata. Rasanya dia sudah tak tahan lagi dan tak bisa bernapas. Namun, yang lebih menyakitinya adalah dendam yang berkobar di mata pria itu. Air mata Airin jatuh membasahi tangan Jeong Guk. Sejenak emosi pria itu menurun. Dia menatap air mata itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasakan hal lain, dia terjebak pada sebuah perasaan yang tak diketahuinya. Namun, kemarahannya kembali. Cekikannya kembali menguat. Airin terus-menerus meronta. Ketika gadis itu akan kehilangan nyawanya, Jeong Guk melemparnya ke lantai dengan sangat kasar. Tubuh Airin jatuh tersungkur. Kepalanya membentur kaki ranjang. Dia berusaha menghirup udara sebanyak yang dia bisa. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Beberapa kali gadis itu terbatuk. Jeong Guk berdiri dengan angkuh dengan tatapan jijik dan benci. "Je-Jeong Guk ... apa yang kau ...." Suara dering ponsel memutus perkataan gadis itu. Dia berusaha bangkit sambil menahan sakit pada lehernya. Di raihnya ponsel di atas nakas. "Anyeong, selamat pagi," ucap gadis itu memberi salam. "Selamat pagi. Apakah benar saya bicara dengan Nona Han Airin?" "Iya, itu saya." "Kami dari kepolisian Gwangju hendak meyampaikan bahwa kedua orang tua Anda mengalami kecelakaan di jalan ...." "Apa ...." Airin bergumam. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Apa yang diucapkan polisi hanya terdengar samar-samar di telinganya. Tubuh Airin tumbang, terjerembab di lantai. "Appa ... Eomma ...," ratapnya. Dia menangis. Sementara itu, polisi masih berbicara memberikan penjelasan di mana kedua orang tua itu sekarang. Airin pun berusaha mengumpulkan tenaganya untuk bisa menemui kedua orang tua mereka. Dia bangkit, lalu bergegas hendak meninggalkan tempat itu. Jeong Guk menyeringai. Tiba-tiba tubuh Airin melayang, lalu terlempar ke ranjang. "Jeong Guk, apa yang akan ...." Tanpa aba-aba Jeong Guk menindih gadis itu. Dia memperkosanya. "Jeong Guk, hentikan ... kumohon ... hentikan ...." "Ini untuk hari-hari yang aku lalui di dalam lukisan selama ribuan tahun." "Akh!" Airin menjerit ketika Jeong Guk menyesap dadanya hingga rasanya hampir putus. "Sa-sakit ... Jeong ... sak-kit ...." Jeong Guk tak peduli. Dia merobek semua pakaian yang dikenakan gadis itu. Sesekali kukunya yang runcing menggores tubuh Airin hingga perih dan sakit menderanya. "Ini untuk segala tipu-muslihatmu kepadaku di masa lalu!" Jeong Guk melesakkan miliknya ke titik sensitif gadis itu. "Aaakh!" Airin menangis. Bagian bawahnya benar-benar perih. Darah pun menetes dari selaput daranya yang pecah. "Sakit, Jeong Guk hentikan ... kumohon ... apa yang kau lakukan padaku ... sakit." Gadis itu terus menjerit dan menangis, tapi Jeong Guk malah mengujamnya makin brutal. Dia menebarkan sihir di sekitar rumah sehingga jeritan dan tangisan Airin tak terdengar ke tetangga. Dengan leluasa dia melakukan aksi bejatnya. Didorongnya gadis itu hingga tengkurap, lalu kembali menghujamnya, bahkan dari bagian belakang. Airin terus menangis kesakitan kala sesuatu menembus lubang pantatnya. Alih-alih merasakan nikmat, dia justru merasa terlecehkan. Sementara pikirannya juga terus melayang kepada kedua orang tuanya. "Akh!" Gadis itu mengerang ketika Jeong Guk mencakar punggungnya hingga berdarah. "Kau memiliki mutiara rubah. Karena itu kau tak akan mati. Lagipula belum saatnya kau menemui ajalmu! Aku harus menyiksamu sampai aku puas dan seluruh dendam warga desa yang kau bunuh terbalaskan," bisik Jeong Guk sambil menekan leher Airin, sedangkan benda miliknya terus menyusup masuk hingga rasa sakit mendera pinggul Airin. Gadis itu tak menjawab. Dia hanya bisa pasrah dalam erangan-erangan rasa sakit yang diterimanya. Jeong Guk menghujam makin cepat, lalu menyemburkan lavanya di wajah gadis itu. Ditatapnya Airin dengan wajah puas. Wajah Airin yang kesakitan, pikiran yang kacau, dan derai air mata. Itulah yang dia pikirkan selama ribuan tahun, dan dia akan melihat wajah frustasi itu mulai sekarang. Dia tak akan mengampuni Airin, meski wanita itu berlutut di kakinya memohon ampun sambil menangis darah.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD