“Apa yang kalian lakukan di rumahku? Dan kenapa Anda menampar istriku?” tanya Hendra yang baru saja pulang dan membuat Betty serta Toyo merasa tercengang.
Penampilan Hendra yang sangat jauh berbeda dengan yang dulu mereka kenal, membuat mereka hampir saja tak mengenali menantu yang tak mereka anggap itu. Apalagi, Hendra seolah tidak mengenali mereka. Biasanya, Mira dan Hendra masih mau berkunjung ke rumah mereka meski selalu saja diusir oleh Toyo dengan tidak ada rasa iba sedikit pun.
Namun, Hendra masih tetap akan berusaha sopan pada mereka berdua. Berbeda jauh dengan Hendra yang berdiri di depan mereka saat ini. Seorang pria dengan tampilan rapi, seragam kerja yang terlihat tidak murah, dan perawakannya yang tampan serta bersih. Bahkan Toyo tidak melihat garis kekasaran di wajah Hendra yang sekarang.
“Hen, Papa sama Mama cuma mampir sebentar,” ucap Mira berusaha untuk membela orang tuanya di depan Hendra.
Mira takut Hendra kalap dan berbuat kasar pada orang tuanya. Meski selama ini hal itu tidak pernah benar-benar dilakukan oleh Hendra. Namun, tetap saja Mira harus menjaga kewarasan Hendra dan mengingatkan bahwa Toyo dan Betty adalah mertuanya.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Mira, Hendra seperti tercengang dan membisu di tempatnya berdiri. Seperti sedang berusaha mencerna sesuatu yang tersuguh di depannya saat ini.
“Mama, Papa … kenapa berdiri di luar aja, ayo silakan masuk. Sayang, ajak duduk dong Mama sama Papanya,” ucap Hendra tiba-tiba berubah bersikap ramah pada Betty dan Toyo.
“Nggak usah sok baik lah kamu, Hen! Aku ke sini bukan untuk mampir ke rumah kalian ini, jangan mimpi aku akan mendatangi anak durhaka ini!” ungkap Toyo dengan amarah dan emosi yang menggebu.
“Papa … nggak usah teriak-teriak gitu. Malu didengar sama tetangga Mira. Kita juga yang bakalan malu,” cegah Betty pada suaminya.
“Alaah … semua orang juga udah tau gimana kelakuan anakmu itu. Lebih memilih tetap menikah dengan berandalan ini dari pada mendengarkan ucapan kita sebagai orang tuanya. Dasar anak durhaka!” umpat Toyo lagi yang masih saja dengan amarahnya yang menggebu.
“Papa! Tolong hargai Hendra sebagai suami aku. Dia udah selalu sabar sama sikap Papa selama ini yang selalu saja merendahkan dan menghina dia,” ujar Mira membela Hendra.
Sementara itu Hendra masih diam di posisinya dan tidak bergeming sedikit pun. Ia seperti sedang tercengang melihat pertengkaran ayah dan anak itu. Seakan-akan ia sama sekali tidak pernah melihat hal seperti itu selama pernikahannya dengan Mira. Begitu pun dengan Betty yang sudah menangis melihat pertengkaran anak dan suaminya itu. Itu saja yang selalu mereka bahas setiap kali bertemu, dan selalu saja berakhir dengan perang dingin yang tak breujung. Keduanya selalu saja menunjukkan egonya masing-masing.
“Menghargai dia? Berandalan ini memang nggak pantas dihargai sedikit pun. Jangan kamu pikir dengan berpakaian seperti seorang pengusaha begini bisa membuatku tertipu. Apa yang bisa dia kerjakan? Apa yang dia dapat dari hasil merantaunya ke Kalimantan kemarin?”
“Hendra sudah memiliki pekerjaan tetap sekarang, Pa. Dia bukan pengangguran lagi seperti dulu. hidup kami sudah bahagia sekarang. Kenapa Papa nggak mau mencoba untuk menerima Hendra dengan tangan terbuka?”
“Aku tidak akan pernah bisa menerima dia. Kecuali saat nanti kalian bisa memberikan aku seorang cucu! Selama itu belum kalian penuhi, khususnya kamu Mira! Jangan pernah panggil aku Papa!” Toyo berkata dengan wajah bengisnya dan kemudian beranjak dari tempatnya berdiri seraya menarik paksa pergelangan tangan Betty.
Mira menangis mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh ayahnya itu. Ia tak pernah mengira bahwa hati dan ego Toyo akan sekeras batu dan sangat sulit untuk bisa ia luluhkan. Mira menatap kedua orang tuanya yang berjalan semakin menjauh dari pekarangan rumahnya. Memang rumahnya yang sangat sederhana itu belum ia renovasi, karena Mira hanya tak ingin terlalu terlihat berlebihan oleh warga sekitar. Hanya perabot rumah saja yang Mira ganti dan tambah agar tampilan dalam rumahnya lebih indah dan nyaman dipandang mata. Mungkin itu sebabnya Toyo berkata Hendra tidak membawa hasil apa-apa setelah berbulan-bulan merantau ke Kalimantan.
Hendra yang dari tadi hanya diam terpaku, kini berjalan mendekati Mira. Ia membawa Mira ke dalam dekapannya dan mengusap rambut di kepala wanita itu setelah beberapa saat ragu-ragu dan tangannya menggantung di udara. Mira menumpahkan tangisnya di dalam pelukan suami yang ia pilih dan mengorbankan hubungannya dengan kedua orang tuanya tadi.
Pikiran Hendra jauh melayang entah ke mana. Memikirkan nasib Mira yang dibenci oleh ayahnya sendiri karena sudah memilih untuk tetap menikah dengan pria yang sama sekali tak direstui. Hendra merasa sangat salut dengan perjuangan dan pengorbanan Mira selama ini. begitu sulit hidup yang harus ia jalani selama pernikan mereka.
“Maafkan semua ucapan Papa, ya, Hen. Papa hanya sedang emosi dan nggak usah diambil hati,” pinta Mira sambil mendongakkan kepalanya menatap pada wajah Hendra yang rasanya semakin tinggi saja dari dirinya.
“Iya. Nggak apa-apa. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu pula dengan orang tua kamu,” ungkap Hendra pada Mira.
Mira merasa ucapan Hendra sedikit janggal di telinganya. Pasalnya, jika dulu orang tuanya berbicara kasar seperti mencaci maki dan menghinanya, sesampai di rumah, maka Hendra akan membalas rasa sakit hatinya dengan berkata kasar pada Mira. Bahkan, ia tak segan-segan bermain tangan pada Mira agar luapan emosinya mendapat tempat pelampiasan. Memang sangat berbeda dengan sikap dan ucapannya saat ini.
“Kamu benar, Hen. Tapi aku sendiri merasa bahwa sikap dan ucapan Papa udah kelewatan banget. Aku aja sebagai anaknya ga terima kamu diperlakukan seperti itu,” ungkap Mira lagi.
“Ya udah, nggak usah diambil hati. Namanya juga orang tua.” Hendra kembali mencoba untuk menghibur Mira dengan mengatakan hal yang baik-baik saja.
“Tapi, Hen …,” ucap Mira terputus saat ia mengingat kembali apa yang dikatakan oleh ayahnya tadi. Tentang syarat yang akan membuat ayahnya itu menerima dan memaafkan mereka berdua.
“Tapia pa?” tanya Hendra penasaran.
“Nggak jadi deh, Hen. Ya udah, yuk masuk aja dulu. Kamu pasti capek pulang kerja. Mandi dulu dan siap-siap untuk makan malam, ya.” Mira berkata seraya mengambil alih tas kerja yang dipegang Hendra.
“Oke. Aku ke kamar dulu, ya. Kamu masak apa emangnya?” tanya Hendra dengan lembut saat Mira bergelayut manja di lengannya.
“Aku masak kesukaan kamu lah, semur ayam sama jengkol,” jawab Mira.
“Je-jengkol?” tanya Hendra kaget dan terlihat seperti geli menyebutkan nama makanan kesukaannya itu.
“Iya. Jengkol. Emang kamu udah nggak suka jengkol lagi semenjak di Kalimantan?” tanya Mira dan membuat Hendra seperti tidak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak tahu harus menjawab apa dan apa yang akan ia lakukan nantinya jika benar-benar Mira menyuguhkan jengkol di depan matanya.