Saat mereka sedang asik bercengkrama, Mira melihat Betty dan Toyo melintas di depan rumahnya. Sepasang suami istri paruh baya itu hanya sekedar melintasi rumahnya saja, tanpa berniat untuk mampir walau hanya sebentar. Jika Betty masih memandang sekilas pada Mira, Toyo justru mengalihkan pandangannya dari wanita mud aitu. Hati Mira sangat sedih menyadari kenyataan itu.
Hanifa bisa melihat raut kesedihan di wajah sahabatnya itu dan menyadari bahwa hubungan Mira dengan sepasang suami istri itu belum membaik hingga saat ini. mereka adalah orang tua Mira yang dengan teganya tidak ingin lagi menganggap Mira sebagai anak karena bersikeras tetap menikah dengan Hendra. Lelaki yang sama sekali tidak direstui oleh keluarganya itu tetap menjadi pilihan terakhir Mira untuk melabuhkan hati dan cintanya.
“Sabar, ya. Semoga suatu saat Om dan Tante bisa menerima pernikahan kamu dan Hendra. Apalagi, Hendra sudah berubah sekarang. Dia juga udah punya pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan sekarang, ungkap Hanifa yang berusaha membesarkan hati Mira.
“Aku sangat berharap di mana ada hari saat Mama dan Papa tidak mengusirku lagi saat aku dan Hendra datang mengunjunginya,” balas Mira dengan tatapan sendu dan menerawang jauh.
“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu, ya.” Hanifa berpamitan pada Mira karena memang sudah menunjukkan pukul lima sore.
“Makasih ya udah nemenin aku sore ini. Hendra kayaknya juga bentar lagi pulang,” sahut Mira yang sudah terlihat cantik bak Rapunzel karena jalinan rambutnya yang panjang dan rapi.
“Iya. Kalau Hendra nggak di rumah, telpon aja aku. Kalau aku nggak sibuk, pasti aku datang,” kata Hanifa lagi dan keduanya saling membalas senyuman.
Hanifa meninggalkan rumah Mira dengan perasaan iba karena tadi sahabatnya itu sedang merasa sedih saat kedua orang tua yang disayanginya enggan menatap kepadanya apalagi untuk mampir. Hanifa sangat mengerti bagaimana perasaan Mira saat ini, karena sudah setahun setengah Mira mendapat tatapan kemarahan dari keluarganya. Apalagi dari sang ayah yang memang termasuk salah satu orang terpandang di tempat mereka tinggal.
Mereka tinggal di sebuah Kota bernama Pekanbaru, akan tetapi tidak di pusat kota. Rumah mereka jauh dari hiruk pikuk dan lalu lalang jalan lintas. Itu sebabnya mereka selalu menyebutnya dengan kata kampung. Hal itu tentu saja karena suasana dan keadaan di sana lebih seperti di kampung-kampung. Sepeninggal Hanifa, Mira masih duduk di teras rumahnya dengan rasa sedih.
Ia masih berharap bahwa secepatnya mereka bisa diterima oleh orang tuanya itu. Mira sangat menyayangi orang tuanya, tetapi juga tidak bisa meninggalkan Hendra saat itu. Maklum saja, saat itu rasa cinta masih sangat menggebu-gebu di hati Mira pada Hendra dan sangat tak ingin kehilangan pujaan hatinya itu. namun, meski begitu Mira pun enggan untuk menyesali keputusan yang sudah ia ambil saat itu. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah menjalani kehidupannya dengan baik dan membuktikan pada kedua orang tuanya bahwa Hendra sangat bisa membahagiakannya dan memberikan kehidupan yang layak untuknya. Seperti yang orang tuanya inginkan selama ini.
Setelah puas mengeluarkan perasaan sedihnya, Mira menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan lahan. Ia harus bisa dan kuat menjalani semua ini, karena memang ini lah jalan yang ia pilih. Mira memutuskan untuk masuk ke dalam rumah karena ia akan segera menyiapkan segala hal untuk menyambut Hendra pulang. Mira masih berharap bahwa Hendra tidak lagi menjauhinya mala mini.
“Mira …,” panggil sebuah suara yang terdengar sangat penuh dengan kelembutan.
Tubuh Mira membeku di tempatnya berdiri saat ia mendengar suara hangat nan lembut yang ia rindukan itu. Mira tak kuasa menahan air matanya. Seolah tidak memiliki batasan, air matanya menetes tak berhenti meski tubuhnya belum ia putar menghadap pada sumber suara itu.
“Apa Mama boleh masuk?” tanya suara wanita itu lagi dengan lembut.
Mira langsung saja memutar tubuhnya dan menatap lekat pada sosok wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya itu. Di depannya sudah berdiri Betty, ibu kandung Mira yang tadi lewat bersama ayahnya, Toyo. Dengan perasaan haru, Mira bergegas menghambur ke dalam dekapan Betty. Seakan sudah merindukan wanita itu selama puluhan tahun, Mira tak terlihat berniat melepaskan pelukannya dari Betty.
“Mama … maafkan Mira udah bikin Mama sedih dan kecewa selama ini,” ucap Mira di sela isak tangisnya.
“Udah lah, Nak. Mama udah lama melupakan masalah itu. Hanya Papamu saja yang masih susah untuk menerima semua ini.” Betty menjawab dengan suara yang sangat teduh dan membelai punggung Mira dengan lembut.
Mira dan Betty mengurai pelukan yang sudah berlangsung cukup lama meski nyatanya belum mampu melepas semua kerinduan antara ibu dan anak itu. Betty sangat menyayangi Mira dan sudah pasti ia menginginkan semua yang terbaik untuk anaknya itu. Hal itu pula yang menjadi penyebab kemarahan Betty saat Mira bersikukuh tetap ingin menikah dengan Hendra yang tidak memiliki apa pun sebagai jaminan bahwa ia bisa memberikan kehidupan yang layak dan bahagia untuk Mira. Tentu saja itu adalah harapan dan keinginan setiap ibu untuk anak perempuannya.
“Makasih, ya, Ma. Aku liat Mama sama Papa tadi lewat aja. Papa justru nggak liat ke arah aku sedikit pun,” ungkap Mira pada Betty.
“Iya. Papa lagi nemenin Papa ke rumah Om Lukman. Papa sama Om Lukman kan sedang ada proyek untuk bangun sebuah Yayasan Anak Yatim di belakang rumah kita,” terang Betty setelah Mira membawanya duduk di sofa ruang tamunya yang sangat cantik.
“Di tanah kosong deket rumah Hanifa itu, Ma?” tanya Mira penasaran.
“Iya. Di belakang itu deh kayaknya. Mama juga nggak ngerti, urusan Papa kamu lah itu, Mir.”
“Semoga usaha Papa berjalan dengan lancar dan selalu dimudahkan segala urusannya, ya, Ma.”
“Aamiin.”
Betty memandang sekeliling rumah Mira dengan takjub. Meski belum pernah sekali pun masuk ke rumah Mira dan Hendra sejak mereka menikah, akan tetapi Betty sangat yakin bahwa tidak mungkin Mira memiliki semua perabotan dengan harga yang tidak lah murah. Betty memang sudah mendengar tentang kepergian Hendra bekerja ke Kalimantan. Itu semua karena ia masih terus menanyakan tentang kabar Mira kepada Hanifa. Sahabat Mira yang tinggal tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya itu selalu mengatakan semua hal yang membahagiakan tentang Mira dan Hendra padanya. Semua itu bertujuan agar orang tua Mira tidak semakin membenci Mira dan Hendra.
“Rumah kamu bagus banget, Mir. Perabotannya juga pasti bukan barang murah,” ucap Betty yang berdecak kagum melihat keindahan dan kerapian rumah sang anak.
“Iya, Ma. Ini semua hasil kerja Hendra selama enam bulan di Kalimantan. Gajinya cukup besar dan sekarang dia juga udah dipindahkan ke kantor cabang yang ada di sini,” terang Mira menjelaskan pada ibunya dengan rasa bangga dan senang tentunya.
“Syukur lah kalau gitu. Setidaknya dia udah bikin hidup kamu nggak menderita lagi.”
“Apa itu tandanya, Mama udah restuin pernikahan aku sama Hendra, Ma?” tanya Mira penuh rasa harap pada Betty. Mira menatap wajah ibunya dengan sangat dalam menanti jawaban apa yang akan diberikan ibunya itu padanya.
“Jangan mimpi kamu, anak durhaka!” hardik sebuah suara yang sangat ditakuti oleh Mira selama ini,
Toyo berdiri di depan pintu rumahnya dengan tatapan sangar dan penuh kemarahan. Betty yang melihat suaminya di ambang pintu, langsung berdiri dengan wajah yang pucat. Betty takut kalau Toyo akan mengeluarkan kata-kata yang lebih kasar lagi pada Mira.
“Pa-Papa … udah selesai ngobrol sama Mas Lukman? Yuk kita pulang,” ajak Betty dan langsung berjalan mendekati Toyo dan meraih pergelangan tangan suaminya itu. Berusaha untuk menjauhkan Toyo dari Mira.
“Katanya kamu ke warung Sofia, nyatanya malah ke rumah anak durhaka ini. ngapain kamu temui dia? Dia jadi ngelunjak tuh pakai nanya udah merestui hubungannya dengan berandalan itu segala. Mimpi apa dia emangnya semalam?” tanya Toyo dan mengomel sambil terus menatap Mira dengan mata merah. Entah itu kemarahan, entah karena rasa sedih karena sudah lama tidak melihat putri kesayangannya itu. Toyo sendiri tak bisa mengerti perasaannya saat ini.
“Papa …,” lirih Mira dengan sedih mendengar semua ucapan yang dilontarkan oleh Toyo padanya. namun, mendengar hal itu justru membuat Toyo mendekat dan menampar pipi Mira dengan kasar.
Plak!
Suara tamparan terdengar sangat keras dan bekas tamparan itu meninggalkan memar merah di pipi kanan Mira. Namun, Betty lebih terkejut lagi saat melihat siapa yang berdiri di belakangnya saat ini dengan deru napas yang sangat membara karena menahan emosi. Gemertak giginya terdengar sangat keras sehingga mengundang perhatian Mira dan juga Toyo.