Hores

1728 Words
“Apakah sekarang sedang mati lampu? Mengapa di sini gelap sekali? Aku tidak dapat melihat apapun!” Anak lelaki itu menjulurkan tangan. Mencoba meraba-raba barangkali di hadapannya ada benda atau seseorang. Berkali-kali, ia mengucek mata, berharap dapat melihat sesuatu. Namun, nihil. Gelap tetap menguasai pandangannya. “Ibu?” Ia mencoba memanggil Winessa. Setiap mati lampu, hanya ibunya yang akan berlari membawakan lilin untuknya. “Bisakah nyalakan lampunya untukku?” Tidak ada jawaban. Ia hanya sendiri. Benar-benar sendiri. Langkah demi langkah ia memberanikan diri untuk maju, meskipun tak tahu apa yang ada di depannya. Tangannya masih menjulur, meraba-raba. “Ibu?” “Kumohon, jawab aku!” Anak itu mulai berderai air mata. Ia hanya seorang anak kecil yang ketakutan dalam kegelapan. Itulah Hores. Dibanding dengan kakaknya yang lebih keras kepala dan berani, Hores hanyalah anak kecil yang seringkali merasa ketakutan. Ia lebih senang jika Halum menggodanya atau mengerjainya daripada harus ditinggal seorang diri. “Ibu!” Ia masih memanggil-manggil Winessa meski dengan air mata yang membasahi pipi. Anak itu merengek. Seperti anak anjing kecil yang ditinggal induknya di pinggir jalan. Mengiba, menunggu seseorang datang menolong dirinya yang malang. Ia masih meneriakkan kata-kata ibu, tolong, dan kumohon. Sampai akhirnya ia mendongak ke atas. Melihat sesuatu yang lebih terang dibanding tempatnya sekarang. Tangan yang sejak tadi menjulur itu menemukan jalan buntu. Di depannya ada penghalang yang terasa lembab. Apakah ini tembok? Tidak, ini bukan tembok. Ini adalah tanah. Rasanya seperti tanah yang mengeras. “A-apakah ini sebuah sumur?” Anak lelaki itu menelan ludah. Membayangkan sejak tadi ia seorang diri, terjebak di dalam kegelapan dan entah mungkin ada mahluk-mahluk yang menemaninya sejak tadi. Ia bergidik ngeri. Kepalanya mulai berpikiran yang tidak-tidak. ‘Bagaimana jika di dalam sini ada kelabang raksasa? Atau mungkin kecoa terbang? Atau cacing-cacing yang menggeliat mengenai kakiku?’ Anak itu menangis semakin kencang. Ia kembali meraba-raba permukaan tanah yang ada di hadapannya. Mempercepat pencarian jalan keluar. Ia tidak bisa berlama-lama di bawah sini. Tidak boleh! Ia harus keluar, setidaknya ke tempat yang lebih terang. Sesekali, ia masih memanggil ibunya. Berkali-kali juga ia menyeka air mata di pipinya dengan lengan yang kotor terkena tanah. Hores masih berusaha mencari jalan keluar. Tangannya belum menemukan pijakan yang bisa ia gunakan untuk naik ke atas. Tangisnya semakin keras ketika ia mendengar suara aneh. Seperti auman singa yang menggema. Terdengar begitu dekat dengan telinganya. Anak itu beringsut mundur, terkaget-kaget. “Ibu, aku ingin pulang!” rengeknya. Tak lama, satu demi satu tetes air menghujani wajahnya yang menengadah. Gerimis. Ia mempercepat pergerakan tangan untuk menemukan pijakan. Ia tidak ingin tenggelam di dalam sumur, seorang diri. Tangannya masih berusaha meraba-raba. Ketemu! Ia menemukan bebatuan yang bisa ia pakai untuk naik ke atas. Satu demi satu batu ia coba panjat. Meski sesekali jatuh karena licin, ia masih mencoba untuk keluar. tempat yang gelap ini. Wajahnya kotor dengan tanah, begitupun dengan baju yang ia kenakan. Kaus putih lengan pendek. Kaus yang terakhir kali ia gunakan saat malam di mana mobil itu terguling. Entah ke mana hoddie merah maroon yang juga ia kenakan malam itu, yang tersisa di tubuhnya hanya kaus lengan putih yang kini bermotif abstrak berwarna coklat. Akhirnya anak kecil itu berhasil. Ia membiarkan tubuhnya terlentang di hamparan belukar. Dipayungi dengan pepohonan rimbun, gelap hampir menelan penglihatannya. Kicau burung yang entah ia pun tak tahu burung apa, terdengar di telinganya. Ia sedikit bernapas lega. Setidaknya di atas sini tidak begitu gelap dibanding saat ia terjebak di bawah sana. “Ibu,” panggilnya pelan. Ia hampir kehabisan tenaga. “Aku haus.” Kata demi kata yang keluar dari bibirnya itu terdengar menyedihkan. “Kapan ibu akan datang?” Suara itu semakin pelan. Di atas sana, di atara rimbunnya dedaunan, ada celah yang bisa ia lihat. Purnama. Bulan yang sama bulatnya dengan malam itu. Bulan yang juga dilihat oleh Halum, sebelum gelap benar-benar menguasai matanya. “A-aku ingin jus jeruk.” Anak itu mulai meracau. Ia memejamkan mata. Mencoba mengatur napas yang terengah-engah. Tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bahwa hal seperti ini akan terjadi padanya. Tak lama, matanya kembali terbuka. Tepat setelah ia mendengar auman singa persis dengan yang ia dengar di bawah tadi. Seketika ia bangkit. Lupa dengan dahaga yang tadi ia rasakan. ‘Apakah aku harus lari?’ gumamnya. Anak itu mengedar pandang ke segala arah. Ini seperti di dalam hutan. Sejauh mata memandang, ia hanya menemukan pepohonan dengan akar-akar besar, dedaunan rimbun, dan semak belukar. Seperti hutan hujan yang Winessa ceritakan padanya. “Kenapa aku terjebak di tempat seperti ini?” Sekarang, tidak hanya auman singa. Ia mendengar suara-suara aneh. Mulai dari suara yang wajar ia temukan dalam hutan seperti jangkrik dan hewan-hewan melata, sampai suara yang ia pun tak yakin dari mana sumbernya. Dalam hati, ia terus mengucap, “Ibu, tolong aku. Ibu selamatkan aku. Aku mohon.”  Ia beringsut mundur setelah dedaunan di hadapannya bergerak. Dalam kepalanya ia membayangkan, di belakang dedaunan itu ada seekor singa yang siap menerkam, mencabik, dan mengunyah dagingnya sampai habis tak tersisa. Sebagaimana ia mendengar auman bahkan sejak ia di dalam lubang, tempat pertama kali ia terbangun. Badannya gemetar. Keringat mengucur dari dahi. Kenapa aku harus berakhir menjadi makanan mahluk buas? “Ibu, aku ingin pulang. Aku ingin pulang!” Ia terus mengeluarkan kalimat itu dari bibirnya. Anak itu mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat pelindung diri. Diraihnya batu dengan salah satu sisi yang tajam, ia genggam dan bersiap untuk menghantam apa pun yang akan muncul di hadapannya, masih dengan rasa ketakutan yang hebat menggelayuti tubuh dan air mata juga keringat dingin yang bercucuran di dahi. Batu itu lepas dari genggaman ketika seekor rusa yang terlihat lucu keluar dari balik dedaunan. Rusa kecil yang kelihatannya tidak takut pada Hores. Setidaknya, anak kecil itu tidak terlalu khawatir lagi. Ia memiliki teman sekarang. Ia tersenyum. Hores mencoba mendekatinya, tapi rusa itu tiba-tiba saja berlari. Setelahnya, terdengar suara langkah kaki. ‘Pasti ada orang lain di sini,’ pikirnya. Hores mengendap-endap. Ia tahu, ada orang lain di sini. Setidaknya, ia bisa meminta pertolongan. Anak itu mengintip dan melihat sesuatu dari balik semak-semak. Mahluk yang belum pernah ia lihat sebelumnya dalam dunia nyata. Bertubuh kecil, memakai pakaian serba hitam yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Mahluk itu berdiri membelakangi semak yang menutupi Hores. Mahluk aneh itu menunduk. Mengambil daun-daun kering beraneka bentuk dan menyusunnya. Ia tak sadar jikalau Hores mulai melangkahkan kaki, mendekatinya. “Mosi!” Tiba-tiba terdengar suara perempuan. Mahluk itu meninggalkan tumpukan daun kering. Ia melirik ke kiri dan kanan, lalu berjalan menghampiri seseorang yang memanggilnya. Hores membuntuti mahluk tersebut. Ia begitu tertarik dengan mahluk kecil yang ia ketahui bernama Mosi. “Mosi? Hewan apakah itu?” Hores mulai berbicara dengan dirinya sendiri. Ia hampir lupa bahwa beberapa waktu yang lalu, ia hanya seorang anak kecil yang terus menangis dan memanggil ibunya. Mahluk kecil itu memiliki telinga yang runcing dan rambut hitam yang tipis. Menggunakan baju serba hitam dengan lengan panjang dan kaki yang tertutup sampai mata kaki. Ia juga memakai sepatu berwarna hitam. Baju yang menurut Hores begitu rumit, yang mengingatkannya pada film ninja meskipun mahluk ini tidak turut menutupi kepalanya. “Kupikir dia bukan hewan. Aku belum pernah melihat hewan berbentuk seperti itu. Dia juga memiliki dua kaki, sama sepertiku. Lalu, dia itu apa? ” Hores begitu penasaran. Ia masih mengikuti mahluk kecil yang berhasil membuat ketakutan dan tangisannya terhenti sejenak, tergantikan oleh rasa penasaran. ‘Dia berjalan seperti manusia,’ batinnya. “Kulit coklat kehijauan dengan telinga runcing. Aku sepertinya pernah mendengar....” Hores mencoba menjawab pertanyaan yang menggelayuti kepala. Ia mengingat-ingat, sepertinya ia tahu tentang mahluk ini. “Goblin! Benar. Ibu pernah bercerita. Si nakal pencuri emas!” Hores terlihat begitu senang, cerita Winessa ternyata bukan hanya omong kosong dan benar adanya. Ia yakin betul, bahwa dunia yang Winessa ceritakan itu benar-benar nyata. Seketika, ketakutan yang sejak tadi menyelimuti hatinya luruh. Rasa penasaran membuat rasa cemasnya teralihkan. Ia tersenyum ketika melihat mahluk itu melompat-lompat, hendak menepuk kupu-kupu kecil bersayap hitam. Bagi Hores, ia terlihat begitu menggemaskan. Ingin rasanya ia menubruk tubuh mahluk kecil itu dan berguling-guling di atas rerumputan. “Ia benar-benar seperti boneka hidup,” gumamnya pelan dengan mata yang berbinar. Mahluk itu berlarian. Mencoba menangkap daun-daun yang berguguran lagi. Kemudian ia tertawa. Berbaring, memainkan dedaunan yang ada di sekitar tubuhnya. Bangkit, lalu membaringkan tubuhnya lagi. Hores merasa begitu terhibur. Sampai ia tak sadar, ia menginjak ranting kering yang akhirnya menimbulkan suara. Mahluk kecil itu terperanjat. Ia tahu, seseorang tengah mengawasinya. Ia berjalan ke semak di mana Hores bersembunyi. Tak sengaja mereka beradu tatap. Tanpa pikir panjang, mahluk itu berlari ketakutan. “Siii!” “Hei, tu-tunggu!” Hores mencoba untuk mengejar Mosi. Hores berharap Mosi tahu bahwa ia tidak akan menyakitinya.Namun sayang, mahluk kecil itu berhambur, meninggalkan Hores yang juga terkejut saat menemukannya pertama kali. Hores mencoba mengejar mahluk bernama Mosi tersebut. Ia mencarinya dengan hati-hati. Ia tak ingin mahluk itu takut padanya. Maka, Hores mengendap-endap seperti saat pertama kali ia mengintip dari balik semak-semak. “Aku sangat yakin, mahluk itu pasti ke arah sini.” Terlihat pohon paling besar berdiri kokoh. Tak jauh dari sana, ia mendengar suara. “Itu pasti dia,” Hores tampak begitu senang karena ia akan bertemu dengan mahluk itu lagi. Ketika ia menyibak dedaunan yang menghalangi, wajah cerah itu seketika berubah menjadi sebuah ketakutan. Anak panah mengarah tepat di depan wajahnya. Hores perlahan mundur, tapi pohon besar di belakangnya membuat ia terpojok. Perempuan dengan panah itu semakin mendekat. Matanya terlihat begitu tajam, seolah ingin membunuh Hores. Hores menelan ludah. Gadis itu mendekatkan wajah. “Siapa kau?” tanyanya. Hores menjawab dengan gugup. “A-aku Ho-hores.” Gadis itu membuang alat panah yang tadi ia acungkan tepat di depan wajah Hores. Kini, tangannya mendorong keras dadaa Hores. Gadis itu membuat tubuh Hores terkunci dan kesulitan bernapas. “Siapa yang mengirimu?” Ia kembali bertanya dengan nada tegas. Hores tidak bisa menjawab. Anak itu pun tak tahu bagaimana bisa ia terjebak di tempat asing ini dan ia pun tak mengerti tentang apa yang dimaksud oleh gadis itu. “A-aku tidak ta-tahu.” “Jangan berbohong!” Gadis itu mulai meninggikan suaranya. Matanya benar-benar menyala dan berapi-api. Penuh dengan semangat. Semangat ingin membunuh. “A-aku benar-benar tidak tahu. Come on!” “Pasti Whichessenova! Mengaku saja!” Hores tercengang. Nama itu terdengar tidak asing. Seolah dekat sekali dengannya. “Tu-tunggu, siapa?” “Whicessenova! Pasti si uban itu, kan? Lelaki itu mengirimmu ke sini, bukankah begitu?” ‘Whichessenova?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD