Sesuatu yang Winessa Ketahui

1568 Words
“Apakah ini saling berkaitan?” Perempuan setengah baya itu bertanya. Gary mengangkat bahunya pelan. Ia juga tidak tahu apakah yang kini terjadi bukan hanya sebuah kebetulan. Hanya saja, kejadian itu memang aneh menurutnya. Tak lama, seseorang membuka pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Di belakang sana, setelah pintu itu terbuka, seorang lelaki dengan wajah pucat baru saja tiba. “Lucio!” Lelaki berwajah pucat itu menutup pintu. Bergegas mendekati ranjang di mana Lawson terkulai lemah. “Apa yang terjadi?” tanyanya terlihat begitu terkejut. “Baru beberapa waktu yang lalu kami bertemu.” Lelaki itu menarik kursi dan duduk tepat di sebelah ranjang. Di sebelahnya, perempuan yang bahkan berwajah lebih pucat terlihat memasang wajah yang begitu menyedihkan. Sama seperti dirinya, dua tahun yang lalu. Saat dirinya kehilangan seseorang yang paling ia cintai. Sejak hari kematian Melyn, lelaki itu berpikir bahwa Tuhan memberikan jalan ini sebagai penebusan dosa. Namun, dengan apa yang terjadi pada sahabatnya saat ini, ia kembali berpikir. Apakah Tuhan tidak cukup menyiksanya hanya dengan kehilangan Melyn? Bukankah kehilangan Melyn sudah cukup membuat hari-harinya menderita? “Bagaimana kondisinya sekarang?” Lelaki itu mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya. Ia tahu hanya dengan melihat berapa banyaknya belalai medis yang terpasang di dadaa sahabatnya yang berbaring di ranjang. Bagaimana oksigen terpasang di hidungnya. Bagaimana alat deteksi detak jantung itu berbunyi dan bagaimana luka-luka terlihat di tubuh Lawson. Ia hanya ingin menghibur diri. Hanya ingin mendengar kalimat yang akan mengobati lukanya. Seperti kalimat dia akan baik-baik saja, dia sebentar lagi bangun, atau tidak ada luka yang serius, tidak perlu begitu khawatir. Ia hanya ingin mendengar itu. Namun, rasanya mustahil. Wajah-wajah itu hanya menampakkan keputus asaan. Pada akhirnya ia hanya menerima jawaban yang semakin membuatnya kesakitan. Lagi-lagi, derai air mata turut mengalir di pipi perempuan paruh baya itu. Ia berharap bisa mengatakan hal yang membuat semua orang merasa lebih baik. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fakta memang kadang membunuh harapan seseorang. Tak lama, perempuan yang sejak tadi duduk di sampingnya menepuk punggung tangan lelaki itu. “Aku turut berduka atas kepergian kekasihmu. Maaf karena aku baru mengetahuinya,” ucapnya parau. Setelahnya, lelaki berparas tampan itu hanya menganggukkan kepala. Ia terus berdoa, semoga kalimat itu tidak akan terucap juga untuk Anna dari orang lain. Tak lama, dering telepon salah satu dari mereka terdengar. Gary, yang berada di sisi kiri ranjang segera bangkit. Telepon itu dari Shiny, istrinya. “Aku akan mengangkat telepon dulu,” ujarnya yang disusul anggukan dari kedua orang yang juga dirundung kepedihan. Gary bergegas. Berbicara beberapa patah kata di telepon, lalu mengakhiri pembicaraannya dengan Shiny. Setelah menutup telepon, ia kembali ke ruangan Lawson. Mengambil jaket yang tadi sempat ia buka dan ia taruh di sofa. “Aku harus pergi, anakku mengalami demam tinggi. Aku sungguh minta maaf, Tante Anna. Aku akan kembali lagi besok. Lucio, maaf aku duluan,” katanya sebelum lelaki itu melangkah ke luar ruangan. Kini hanya tersisa Lucio dan Anna. Isak pelan terdengar, seakan bersahutan dengan suara deteksi detak jantung milik Lawson. “Aku baru menemuinya hari ini. Betapa bertemu mereka adalah salah satu obat yang menghibur,” Lelaki itu akhirnya kembali bersuara. “Aku harap, kami bisa melakukan hal seperti tadi lagi,” tambahnya. Detik jarum jam terus berjalan. Mereka menghabiskan waktu yang kebanyakan diisi isak dan keheningan. Setelah beberapa waktu berlalu, Anna kembali mengeluarkan suara. “Pulanglah, Lucio. Kau butuh istirahat. Kau bisa kembali lagi besok.” Lucio menatap iba Anna yang bahkan terlihat lebih menyedihkan. “Apa Tante tidak istirahat juga?” Anna mengangguk. “Aku akan tidur di sini menemani Lawson.” “Kabari aku jika terjadi sesuatu,” katanya. “Aku akan menghubungimu, Lucio.” Dan akhirnya, Anna kembali seorang diri. Tangis kembali pecah ketika ia hanya berdua dengan Lawson. Sejak kepergian suaminya yang entah sudah berapa lama, hanya Lawson yang ia miliki. Pembicaraan tentang Melyn dengan Gary tadi tiba-tiba kembali menggelayuti pikirannya. Apa benar ini semua berkaitan? Tak lama, layar handphone yang tengah diisi daya itu menyala. Sebuah pesan bergambar dari Gary. Terlihat empat orang berjajar dengan senyum yang mengembang di wajah mereka. Gary, Lawson, Lucio, dan Melyn. Di bawahnya, tertulis pesan singkat. “Perempuan ini lah yang katanya dilihat Lawson di bar tadi malam.” *** “Lawson, sebelum hal ini terjadi, ia mengalami sesuatu.” “Ia bertemu dengan Melyn. Perempuan yang tewas dua tahun lalu dalam kejadian Badai Eta di Guatemala.” Kata-kata Anna masih tergiang-ngiang di telinga Winessa sejak malam itu. “Bagaimana mungkin? Perempuan itu kutemui di Shatranj.” “Itu adalah Melyn.” Berkali-kali ia menyangkal ingatannya, tetap saja wajah perempuan itu memang benar ia kenali. Terhitung tiga hari sudah, tidak ada perubahan yang berarti, baik dari Halum, Hores, maupun Lawson. Tidak ada tanda-tanda mereka akan membuka mata dan kembali menyapa ibu mereka. “Dua tahun lalu, Badai Eta di Guatemala.” Winessa masih duduk di tepian ranjang. Sempat ia keluar dari rumah sakit, hanya untuk mengambil pakaian ganti di rumah Anna. Setelahnya, ia berdiam diri di ruangan itu. Setiap malam, ia masih mendongengkan cerita-cerita menarik untuk kedua anak lelakinya itu. Namun, malam ini benar-benar pikirannya tidak bisa disangkal lagi. Perkataan Anna tentang seorang perempuan yang menemui Lawson sebelum kecelakaan masih berputar di kepala. Ditambah, bagaimana Lawson dan Halum mengalami mimpi yang sama persis. Demi membuktikan bahwa ingatannya tidak salah, malam ini, Winessa meminta pertolongan Anna. Tak lama, derit pintu dorong itu terdengar. Seperti yang diharapkan oleh Winessa, perempuan paruh baya itu datang dengan seorang lelaki tampan berwajah pucat. Lelaki itu menganggukkan kepala setelah ia masuk. Bibirnya tersenyum tipis, tapi terlihat menyakitkan. Winessa memandanginya. Ia tidak ingat lelaki ini. Hanya perempuan pada gambar yang ditunjukkan Anna. Benar, Winessa hanya mengetahui perempuan itu, tidak dengan kekasihnya. Anna menarik kursi, mempersilakan Lucio duduk di kursi yang sudah ia tarik. Berhadapan dengan Winessa. “Halo, Lucio.” Winessa mengulurkan tangan yang disambut dengan uluran tangan balik dari Lucio. “Maaf merepotkanmu untuk datang malam-malam seperti ini,” katanya lagi. Lucio hanya tersenyum. Ia tidak merasa keberatan. “Aku juga memang hendak menjenguk Lawson. Semoga mereka bertiga lekas sadar.” Lucio membalasnya dengan doa yang baik. Winessa balik membalasnya dengan senyuman. Itu juga yang selalu menjadi doa darinya setiap malam menjelang tidur untuk mereka bertiga. Ia hanya ingin mereka sadar. Ia ingin mereka kembali. Menjalani hari-hari seperti sedia kala. Itu saja. “Bukan tanpa maksud aku meminta Anna mengajakmu kemari,” Winessa menyudahi basa-basi dan mulai masuk pada inti pembicaraan mereka kali ini. “Jadi, ada yang bisa dibantu?” Lelaki itu menjawab perkataan Winessa dengan pertanyaan. Winessa menatap lekat mata Lucio. Mata yang sama seperti miliknya, sejak lelaki yang dicintainya itu tewas, sama seperti Melyn, kekasih Lucio. Mereka berdua mencoba terlihat baik-baik saja. Namun, sorot mata tidak bisa bohong. Tidak ada yang baik-baik saja. Semua memiliki luka dengan porsinya masing-masing. “Tentang Melyn, kekasihmu.” Lucio membulatkan mata begitu mendengar kata Melyn terucap di bibir Winessa. Bagaiman mungkin orang ini tahu tentang kekasihnya? “Sebelumnya maaf karena mengorek lukamu, Lucio,” ujarnya lagi. Lelaki itu tersenyum, ia tidak keberatan, meskipun memang mendengar nama Melyn saja sudah membuat sesak di dadaa. “Apa yang terjadi padanya?” Ia mengambil napas beberapa jenak. “Dua tahun lalu, kami pergi ke Guatemala.” Ia memulai ceritanya. Bagaimana maut akhirnya memisahkan mereka. “Kami tidak pernah tahu jikalau badai itu akan menerjang Guatemala. Kebetulan, kita baru saja turun dari puncak untuk merayakan kebersamaan kami selama enam tahun.” Winessa mengangguk, turut prihatin dengan apa yang terjadi. “Sebelumnya kami sempat terpisah.” Sejenak, lelaki berwajah pucat itu terdiam sementara Winessa masih setia menunggu cerita selanjutnya yang akan keluar dari mulut Lucio. “Aku terbaring  tak sadarkan diri di sebuah rumah sakit setelah badai Eta berlangsung. Sementara, mereka tidak menemukan Melyn.” Inilah yang sejak tadi ditunggu oleh Winessa. Bagian ini, bagian ketidaksadaran Lucio yang mungkin membuka petunjuk untuk mereka. “Berapa lama kau tak sadarkan diri, Lucio?” “Mungkin sekitar dua pekan? Yang pasti bukan waktu yang sebentar. Aku tidak ingat tepatnya berapa hari. Itu yang kudengar dari mereka.” Winessa mengangguk lagi. Ada harapan yang terpancar di matanya. Perempuan itu mengulurkan tangannya ke Anna. Ia meminta handphone yang memang sebelumnya sudah Anna siapkan. Gambar mereka berempat. Winessa menunjukkannya pada lelaki berwajah pucat itu. Ia menujuk satu-satunya gadis yang ada di sana. Mengenakan gaun putih, rambut yang tergerai, tersenyum begitu manis. “Apakah ini Melyn, Lucio?” Setelah melihat gambar tersebut, Lucio menganggukkan kepalanya. “Iya. Ini Melyn, kekasihku,” katanya. “Aku mengenal perempuan ini. Tapi tidak sebagai Melyn, Lucio.” Dahi Lucio berkerut. Ia tidak mengerti maksud Winessa. “Ingatanku tidak mungkin salah. Dia benar-benar perempuan itu, perempuan yang kuketahui. Aku pernah menemuinya.” Winessa mencoba meyakinkan Lucio. Ia bahkan menaruh tangannya di pundak lelaki berwajah pucat itu. “Apa kau tidak ingat apa yang kau lakukan selama kau tidak sadarkan diri?” tanyanya lagi. Lucio menggelengkan kepala. “Hanya sedikit. Seperti kilas balik yang dipercepat, mungkin? Aku tidak ingat pasti.” Winessa menganggukkan kepala.  “Apa yang bisa kau ingat? Aku yakin kau bisa mengingatnya Lucio.” Mata mereka beradu. Sebisa mungkin, Winessa mencoba untuk meyakinkan Lucio. Winessa mendekatkan wajahnya. Ia sedikit berbisik, “Bagaimana dengan Spiller?” Begitu mendengar kalimat pertanyaan itu, Lucio menatap lurus ke depan. Kemudian tatapannya kosong. Ia seolah tersedot ke dalam lorong hitam yang amat panjang. Tak lama ia memegangi kepalanya. Setelahnya ia nampak kesakitan. “Bukankah kau tahu itu, Lucio?” Winessa kembali berbisik dan senyuman akhirnya tersungging di bibirnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD