“Di mana kakakmu, Hores?”
Winessa masih menggenggam gagang telepon. Setelah mencoba menghubungi kedua anaknya yang ia tinggalkan di rumah, akhirnya ia menemukan jawaban. Anaknya yang paling kecil menjawab teleponnya di seberang sana.
Diliriknya jam yang masih menunjuk ke angka sebelas. Hampir tengah malam. Cukup lama perempuan itu menunggu suara yang ia nantikan. Ia sudah berdiri dengan gelisah. Tiba-tiba, seseorang terdengar berbicara. Anak tertua yang ia tunggu sejak tadi.
“Halo, Halum. Dengarkan ibu, Nak.”
Winessa segera berbicara setelah telepon itu berpindah tangan pada Halum. Sementara, anak lelakinya itu hanya menjawab singkat, mendengarkan apa yang keluar dari bibir Winessa setelahnya.
“Kemasi barang-barangmu dan Hores.”
Lawan bicaranya di seberang sana terdengar menyelah. Anak itu tidak mengerti apa yang ada di pikiran Winessa. Kenapa harus sekarang? Perempuan itu pun tahu, ini jam yang sangat tidak masuk akal untuk berpergian. Namun, firasat buruk itu selalu menghantuinya. Sejak dua hari lalu ia datang ke rumah Anna, ia memang merasakan ada yang tidak beres dengan rumahnya itu. Ia ingin membagikan ceritanya pada Anna. Sayangnya, Halum dan Hores tidak turut serta dalam kunjungan. Mereka masih harus bersekolah hingga hari ini, akhir pekan, mereka baru bisa menyusul ibunya ke rumah Anna.
“Tidak perlu banyak bertanya, Halum.”
Tiba-tiba, wajah perempuan itu pucat pasi setelah mendengar perkataan anaknya. Ia tahu, hal itu sepertinya benar-benar akan terjadi. Halum mengatakan sesuatu tentang apaa yang telah ia alami, juga Hores malam itu. Ditambah dengan sikap ibunya yang terlihat aneh seperti sekarang ini.
“Jangan berpikiran macam-macam, Halum. Jaga adikmu. Tunggu sampai Lawson datang. Aku akan menyuruhnya menjemput kalian. Ibu mohon, jangan pergi ke mana pun sebelum Lawson menjemput kalian.”
Akhirnya anak lelaki itu tidak bisa mengelak lagi. Telepon terputus.
“Bagaimana, Nes?”
Tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu. Seorang perempuan berambut pirang sebahu. Penampilannya terlihat lebih tua dari Winessa beberapa tahun. Ia adalah Anna, kakak dari Winessa. Ibu dari Lawson yang tadi ia bicarakan dengan Halum di telepon.
“Aku sudah mengabari anak-anak. Bagaimana dengan Lawson? Dia sudah membaca pesanmu?”
Perempuan itu menggelengkan kepala. Lelaki yang mereka panggil Lawson memang belum menjawab pesan darinya sejak sore tadi. Entah apa yang sedang lelaki itu lakukan. Harusnya, Halum dan Hores sudah tiba di rumah Anna jika saja Lawson tidak sulit dihubungi seperti ini.
“Apakah begitu mendesak, Nes?”
Perempuan yang sejak tadi melihat wajah cemas Winessa pun turut penasaran. Pasalnya, Winessa belum menceritakan apapun padanya tentang apa yang terjadi hari ini.
“Haruskah kucoba telepon lagi?”
Setelah melihat Winessa yang hanya diam, ia mulai mengerti. Bahwa mungkin, ini bukan saatnya bagi perempuan itu mendengar penjelasan. Akhirnya, ia menawarkan kembali untuk menelpon anaknya, Lawson.
Winessa mengangguk seraya berujar, “Kuharap Lawson segera menjawab panggilanmu, Anna.”
***
Suara bass yang begitu keras membuat ruangan itu turut bergetar. Dengan lampu warna-warni yang mengisi ruang, membuat suasana semakin menggila, sama seperti malam-malam sebelumnya. Orang-orang berkumpul, menari, menikmati lagu yang disuguhkan DJ acara malam itu dengan tangan yang menggenggam gelas berisi alkohol yang membuat mereka semakin menikmati pesta sampai pagi menjelang. Terlihat juga seorang perempuan yang berdiri di tengah kerumunan, di atas meja bundar. Memakai pakaian yang bisa dibilang kurang bahan. Menari dengan begitu lihai dan gemulai, menghibur semua orang yang ada di sana.
Sementara, di tengah kerumunan itu, seorang lelaki tengah duduk di sofa hitam dengan segelas minuman. Ia tidak turut menggoyang-goyangkan tubuh maupun bergerombol dengan yang lain. Ia hanya seorang diri.
Hari ini, hari pertemuannya dengan teman-teman angkatan semasa sekolah. Pemilik bar ini adalah salah satu temannya, maka ia seringkali berkunjung untuk melepas rindu ketika si pemilik baru itu berkunjung ke barat miliknya. Separuh dari mereka menikmati musik yang disuguhkan sang raja piringan hitam. Menari-nari sambil sesekali bertanya tentang apa saja karena banyak waktu yang telah mereka lewati setelah mereka berpisah. Sementara sisanya, sibuk dengan minuman, bertukar kartu nama, dan hal lainnya yang lazim dilakukan saat pertemuan reuni di tiap-tiap sofa yang tersebar di bar ini.
Lelaki itu menatap seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Perempuan itu terus memandang ke arah Lawson yang masih terduduk di sofa hitam.
“Aku tidak yakin, tapi kurasa aku seakan terikat hubungan dengannya.”
Lelaki itu tidak sepenuhnya mabuk. Ia baru meneguk satu gelas vodka yang baginya terlihat biasa saja. Ia masih bisa menangani itu. Itu tidak akan membuatnya kehilangan akal.
Tak lama, seseorang menepuk pundak dari arah belakang.
“Hei, Lawson! Kenapa kau duduk sendirian?”
Lelaki itu menoleh demi melihat siapa yang menepuk ppundaknya.
“Gary!”
Suaranya begitu girang saat mendapati seseorang di belakangnya itu adalah Gary, salah satu orang yang memang ingin sekali ia temui hari ini. Ia bergegas bangkit, memeluk teman yang sudah cukup lama tidak berjumpa dengannya.
“Apa kabarmu?”
Lelaki itu duduk di seberang meja Lawson setelah melepas pelukan mereka dan mulai menuangkan minumannya pada gelas kosong yang memang sudah tersedia di sana.
“Seperti yang kau lihat.”
Keduanya tertawa. Ini adalah kali pertama mereka berjumpa setelah hampir lima tahun tidak ada komunikasi di antara keduanya. Gary yang pindah ke luar kota dan akhirnya menikah dan menetap di kota tersebut, baru saja kembali setelah ia mendapatkan rotasi dari tempat kerjanya.
“Bagaimana kabar Shiny?”
Lelaki itu tertawa. “Ya, dia mulai sibuk dengan si kecil.”
“Ya, Tuhan. Kau sudah menjadi ayah? Paman macam apa aku yang tak tahu kalau sudah punya keponakan?”
Karena lamanya waktu yang mereka habiskan dalam perpisahan, Lawson sampai tak tahu kalau Gary kini sudah memiliki anak.
“Haha. Benar. Besok-besok datanglah ke rumahku, Lawson.”
Lawson yang semula menikmati percakapannya dengan Gary, kini mulai teralihkan. Pandangan lelaki itu tiba-tiba beralih pada perempuan berambut blonde yang berdiri di tangga. Memegang segelas minuman dan tersenyum ke arahnya. Perempuan yang sama, yang sejak tadi memandangi nya.
Lawson mencoba mengingat-ingat. Barangkali, perempuan itu pernah menjalin hubungan dengannya, mengingat dulu dirinya cukup populer di sekolah menengah dan banyak mengencani perempuan-perempuan sampai ia lupa siapa saja yang pernah menjalin hubungan dengannya. Hanya satu dua wanita yang masih terpatri di kepala Lawson, dan keduanya sudah lama tak berjumpa.
“Gary,” ia mulai mengeluarkan apa yang ada di pikirannya saat ini. Jika memang ia lupa, bukankah mungkin saja teman dekatnya itu dapat membantu? Ia berpikir kalau Gary mungkin saja mengenali perempuan itu, mengingat lelaki itulah yang paling bagus ingatannya.
Seseorang yang dipanggil namanya itu mendongak, lalu menjawab setelah meneguk segelas Smirnoff yang ada di tangannya.
“Apa?”
Lawson memicingkan matanya demi melihat lebih jelas ke arah perempuan yang mulai menaiki anak tangga, tapi terhenti langkahnya setelah anak tangga ke tiga.
“Kau lihat perempuan yang berdiri di sana?”
Gary menoleh, turut memicingkan mata. Apakah rabun jauhnya semakin parah? Atau mungkin pengaruh minuman yang ia tenggak baru saja? Rasanya tidak mungkin, hanya setenggak masih masuk ke kapasitas minumnya selama ini. Ia tidak melihat siapapun di sana. Di tempat telunjuk Lawson mengarah yang katanya ada seorang perempuan yang sedang memperhatikan lelaki itu sejak tadi.
“Perempuan yang mana yang kau maksud, Lawson?”
Demi mempertegas siapa yang dimaksud sahabatnya itu, Gary bertanya. Barangkali telunjuk Lawson salah arah.
“Itu, yang berdiri di tangga.”
Gary menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak melihat seseorang yang dimaksud Lawson. Rupanya sejak awal ia tak salah. Lawson memang menunjuk ke arah tangga dan ia tak menemukan siapa pun di sana.
“Kau tahu, Gary? Perempuan itu sejak tadi memandangiku. Apa mungkin dia pernah menjalin hubungan denganku?”
Mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari bibir Lawson, Gary tertawa.
“Kau bahkan tidak mengingat dengan wanita mana saja kau pernah menjalin hubungan saking banyaknya wanita yang kau kencani, Lawson.”
Lawson tersenyum kecut. Gary memang benar. Ia bahkan tidak ingat dengan perempuan mana saja ia pernah menjalin hubungan. Lelaki itu paling tahu, sejak muda dulu Lawson memang senang bermain api.
Sekali lagi, rasa penasaran masih menggelayuti pikirannya. Ia melirik ke arah perempuan yang berdiri di tangga. Nihil. Perempuan itu sudah tidak ada di sana.
‘Ke mana perempuan itu pergi?’ Hatinya bertanya-tanya.
“Gary, Lawson!”
Tiba-tiba suara seseorang memecah hening di antara keduanya setelah beberapa saat memperdebatkan perempuan yang katanya berdiri di atas anak tangga sambil memperhatikan Lawson. Mereka menoleh secara bersamaan ke sumber suara. Lelaki dengan jas warna hitam melambaikan tangan. Lelaki yang juga mereka kenali dan mereka tunggu-tunggu kehadirannya. Ialah yang paling tampan di antara ketiganya.
“Lucio!”
Lelaki itu tersenyum. Kemudian duduk di sebelah Lawson, sesaat setelah ia tiba di tempat mereka meneguk minuman.
“Bagaimana kabarmu?”
Lelaki yang baru saja duduk itu ditodong oleh pertanyaan. Rasanya baru saja celananya menyentuh Sofa, tapi ia sudah harus menjawab pertanyaan yang keluar dari bibir temannya. Ia tersenyum, tapi matanya tidak bisa berbohong. Tatapannya begitu kosong. Seperti ada yang hilang dari sana.
“Seperti yang kau lihat.”
“Kau masih dengan Melyn? Kapan kau akan menikahinya, Lucio?” Lawson membuka percakapan yang kemudian disusul dengan tatapan tajam dari Gary. Lelaki itu memang tidak tahu kalau ada yang salah dengan Melyn, kekasih dari sahabatnya itu, mengingat mereka memang tidak bertukar kabar sama sekali setelah berpisah cukup lama.
“Ah, Lucio. Aku turut berduka atas kepergian Melyn.”
Lelaki itu tersenyum lagi. Senyuman yang terlihat pahit. Sementara, Lawson terlihat kebingungan. Ia merasa bersalah karena telah menanyakan perempuan yang telah mati pada kekasihnya.
‘Apa hanya aku yang tak tahu apapun di sini?’
Ia menatap Gary, mencoba berbicara tanpa suara. Mengandalkan alis dan gerakan bibir, ia mencari tahu apa yang terjadi pada Lucio.
‘Kekasihnya, Melyn. Meninggal.’
Begitulah kira-kira yang dapat ia tangkap dari pergerakan mulut Gary yang rupanya mengerti atas pertanyaan Lawson meskipun hanya dengan raut wajah dan pergerakan pada alisnya.
“Maaf aku tidak tahu, Lucio.”
Lawson turut menyesal atas ucapan yang baru saja ia lontarkan pada Lucio. Ia benar-benar tidak tahu kalau kekasih sahabatnya itu sudah pergi untuk selama-lamanya.
“Tidak, tidak apa-apa, Lawson. Lagipula kau memang tidak tahu. Melyn sudah tenang sekarang.”
Gary dan Lawson tidak ingin membuka kembali luka Lucio. Ia tahu, semakin sering nama perempuan itu disebut, sama saja dengan mengorek luka di d**a lelaki tampan itu. Sementara itu Lawson masih terdiam, tidak mau salah bicara lagi karena ia berpikir hanya dirinya lah yang paling banyak tidak tahunya di sini.
“Bagaimana jika kita bersulang untuk merayakan pertemuan kita?”
Gary mengacungkan gelas, mencoba untuk mencairkan suasana yang sedikit canggung di antara mereka. Disusul dengan anggukkan dsri Lucio yang setelahnya turut mengacungkan gelas. Lawson yang terakhir kali mengangkat gelas, menjadi pembuka denting gelas yang beradu di antara ketiganya. Lalu, mereka membiarkan alkohol-alkohol itu mengalir ke kerongkongan mereka.
Kemudian ketiganya terlibat pembicaraan ringan. Dari mulai keseharian, kisah-kisah yang mereka lalui, pencapaian-pencapaian yang sudah terjajaki, sampai kelakuan-kelakuan konyol yang pernah mereka lakukan di bangku sekolah dahulu. Mengenang masa lalu dalam sebuah pertemuan reuni adalah hal yang paling tidak boleh dilewatkan, bukan?
“Aku ingat betul saat Mr. Jeff menggambar wajahmu saat tertidur di kelas, Gary.”
Lawson yang ingat akan kejadian konyol itu berujar.
“Ah, aku benar-benar nyenyak sepertinya. Aku tidak merasakan apapun di wajahku.”
Sementara Gary menyetujuinya dengan berkata demikian. Saat itu, Gary memang tertidur begitu pulas.
“Dan dengan percaya dirinya kau mendatangi Catlin di kelasnya saat pelajaran Ms. Berlyn yang terkenal killer itu berlangsung. Aku pikir kau benar-benar gila saat itu. Benarkan, Lawson?”
Lucio pun mengingat bagaimana wajah polos Gary yang tak tahu tentang coretan di wajahnya melangkah menuju kelas Catlin, perempuan yang saat itu sedang dikencaninya.
“Aku pikir saat itu aku terlalu tampan sampai semua mata tertuju padaku. Termasuk Ms. Berlyn. Untuk pertama kalinya, guru yang terkenal galak itu tersenyum ke arahku. Aku kira dia mulai menyukaiku.”
“Dan ternyata hahaha.”
Tawa meledak di antara ketiganya. Betapa banyak waktu menyenangkan yang telah mereka lewati bersama-sama.
Tiba-tiba tawa Lawson terhenti. Perempuan itu muncul lagi di matanya. Ia melangkah dari ujung ruangan, dengan telunjuk yang terus bergerak seolah-olah mengajak Lawson untuk mengikuti langkah perempuan itu. Anehnya, Lawson juga begitu penasaran. Ia ingin tahu sebenarnya siapa perempuan itu.
“Ah, teman-teman. Sepertinya aku harus ke toilet.”
Akhirnya ia memutuskan untuk menemuinya. Lawson berjalan menuju perempuan misterius itu. Ia menaikki anak tangga satu per satu, menuju sebuah ruangan yang paling pojok. Tempat di mana perempuan itu terakhir kali terlihat.
“Hei!”
Perempuan itu tidak menjawab panggilan Lawson, yang ia lakukan hanya memasang senyum yang menggoda. Sampai akhirnya, Lawson memasuki ruangan itu dan melihat seseorang tengah menunggunya di sana.
Seketika, suara musik yang tadinya keras, tidak terdengar lagi. Berganti dengan seruan-seruan suara laki-laki yang berat dan suara adu pedang. Begitu riuh.
Ruangan itu seketika berubah menjadi lebih luas. Interior ruangan terlihat seperti bangunan kuno. Khas Roma.
‘Apa ini?’ Lawson semakin tidak mengerti dengan yang terjadi padanya.
‘Apa aku sudah mulai mabuk?’
Sampai akhirnya, tiba-tiba sebuah pedang mengacung di hadapannya. Pedang dari seorang lelaki bertopeng.
“Καλούπι![1]”
Lelaki dengan topeng di wajahnya itu membuat Lawson tercengang. Ia tidak mengenalinya sama sekali. Mana mungkin teman reuninya melakukan hal konyol dan kekanakan seperti sekarang ini?
Lawson menghindar. Ia menundukkan kepala lalu berguling ke arah lain dengan spontan. Sejak di bangku sekolah, ia memang sesekali terlibat perkelahian yang akhirnya membuat refleksnya begitu baik. Ia berhasil menghindari pedang tersebut beberapa kali. Sementara, lelaki asing itu terus mengejarnya. Seakan-akan Lawson adalah seekor hewan buruan yang siap ia bunuh.
“Tu... Tunggu dulu. Apa apaan ini?” Lawson terduduk di meja. Merasa sudah lelah dengan permainan kejar-kejaran ini.
Sementara pedang itu masih melayang-layang, mengejarnya. Tidak kenal rasa lelah. Tidak terlihat seperti Lawson yang sesekali mengatur napasnya yang terengah-engah.
Seketika napas Lawson tercekat saat pedang itu mengenai meja. Beruntungnya ia melebarkan kaki, sehingga pedang itu tidak mengenai tubuhnya. Lagi-lagi, spontanitas menyelamatkan nyawanya.
“Oh, tidak. Masa depanku! Hampir saja.”
Tanpa basa-basi, Lawson melompat ke belakang kursi. Ia bersembunyi di sana, mencoba untuk melindungi diri.
“Hei, Bung! Bisakah kita bicarakan baik-baik?”
Tidak, lelaki asing itu tidak mengerti apa yang dibicarakan Lawson. Ia masih menatap dengan tatapan ingin membunuh.
Sementara Lawson terus berpikir, siapa manusia aneh ini. Mengapa ia tak mengerti bahasa yang dilularkan Lawson seperti orang pada umumnya? Ditambah, tadi ia sempat mengucapkan sesuatu yang juga tidak Lawson mengerti.
Lelaki itu sekali lagi berguling. Ia menghindari hujaman demi hujaman s*****a tajam yang dimainkan lelaki asing itu dengan lihainya.
Sayang seribu sayang, pedang itu pada akhirnya mengenai perut kanannya. Lawson terbelalak, dari mulutnya keluar darah.
“Lawson!”
Samar-samar, Lawson mendengar seseorang meneriakki namanya.
“Lawson! Hey, Bung! Sadarlah!”
Ia membuka mata. Dilihatnya sekeliling. Masih di ruangan yang sama dengan desain interior yang berbeda. Musik yang keras masih menjadi latar mereka. Orang yang meneriakkinya adalah Gary. Lelaki yang baru saja berbagi minuman dengannya dan Lucio di lantai bawah bar ini.
“Ah, Gary?”
Seketika, ia ingat bahwa baru saja perutnya tertancap pedang. Ia meraba ke bagian di mana luka itu berada, nihil. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada darah, bahkan luka sama sekali.
“Kenapa kau tidur di ruangan ini? Jika lelah, mengapa tidak pulang?”
“Aku? Tertidur? Jadi maksudmu sejak tadi aku tertidur di sini?”
Seseorang yang menjadi lawan bicara nya itu mengangguk. Setelah berpamitan ke toilet, Lawson lama tak kembali. Akhirnya Gary memutuskan untuk menyusul lelaki itu. Ternyata, ia menemukan Lawson di ruangan ini sedang tertidur dengan tangan telungkup di meja.
“Apa tidurmu nyenyak di tempat seberisik ini, Lawson? Kau bahkan terlihat seperti bayi beruang yang tidur begitu tenang. Kukira kekuatanmu dengan minuman dahulu tidak selemah itu.”
Lawson tidak menatap lawan bicara nya. Ia memandang lurus, mengingat ingat apa yang baru saja ia alami.
“Sepertinya kau benar, Gary. Aku bahkan bermimpi.”
Gary terkekeh mendengar ucapan Lawson yang menurutnya konyol. Bagaimana mungkin Lawson hisa tidur nyenyak bahkan bermimpi di tempat yang begitu berisik ini?
“Aku ingat sekarang. Perempuan yang di tangga itu.”
Gary menaikkan sebelah alisnya, tidak paham ucapan Lawson yang tiba-tiba. Perempuan? Ia bahkan tidak tahu perempuan mana yang Lawson maksud.
“Aku ingat sekarang, wajahnya terlihat seperti Melyn.”
Gary semakin tidak paham dengan semua kata-kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Itu terdengar seperti ocehan orang mabuk yang nyawanya belum sempurna terkumpul.
“Kurasa kau masih di alam mimpi, Lawson. Lanjutkan tidurmu di rumah sana!”
Dengan santai Gary menanggapi ucapan Lawson. Ia tidak berpikir kalau semua yang keluar dari mulut lelaki itu adalah hal yang serius.
“Tidak, Gary. Aku serius! Perempuan itu pasti Melyn!”
Lawson mencoba meyakinkannya sekali lagi.
“Lawson, Melyn sudah di alam baka! Aku bahkan menyaksikan peti matinya masuk ke tanah saat itu!”
Lawson memegangi kepalanya yang terasa pusing dengan semua yang ia alami. Ia yakin betul, bahwa perempuan itu adalah Melyn, kekasih Lucio yang telah tewas dua tahun lalu. Ia ingat wajahnya.
Tak lama, getaran handphone terasa di saku lelaki itu. Sebuah telepon masuk dari seseorang yang sangat dekat dengannya.
“Ada apa?” Tanpa basa-basi Lawson bertanya.
Gary yang memandangi Lawson mendongakkan kepalanya, seolah bertanya siapa yang menghubunginya kali ini.
Mulut Lawson mengeja tanpa suara, ‘Winessa.’ Yang kemudian disusul dengan anggukan kepala dari Gary. Ia tahu perempuan itu.
“Baiklah. Aku akan segera ke sana.”
Kalimat itulah yang menjadi penutup perbincangan mereka di telepon. Lelaki itu segera bangkit, meninggalkan Gary yang masih terpaku di ruangan tersebut. Sebelum tubuhnya benar-benar menghilang dari balik pintu, Lawson berteriak, “Aku harus pergi sekarang, Gary. Aku akan menghubungimu nanti!”
[1] Mati dalam Bahasa Yunani.