Cahaya terang menghujani mata Halum yang baru saja terbuka. Ini bukan tempat di mana ia terakhir kali tersadar. Tidak. Ia tidak salah ingat. Baru saja, kejadian itu baru saja ia alami. Di sebuah jalan sepi, dengan sinar rembulan yang terang.
Mobil yang mereka naikki terguling dan membuatnya terhempas dari dalam mobil. Anak lelaki itu ingat, suara yang membuatnya takut dan terkejut. Suara dentuman keras, riuhnya pecahan kaca. Ia ingat, bagaimana tubuhnya kaku dan tak dapat ia gerakkan sama sekali. Bagaimana hangatnya darah yang keluar menggenangi kepala. Dan anak itu ingat, bagaimana bulan yang bulat itu seakan-akan tersenyum, sebelum kedua matanya benar-benar tertutup.
‘Hores? Lawson?’
Anak kecil dan lelaki yang baru saja bersamanya kini hinggap di pikiran Halum. Tidak satu pun dari mereka tertangkap matanya.
‘Di mana mereka?’
Anak lelaki itu mencoba untuk bangkit. Seharusnya, Hores dan Lawson ada di sana. Bukankah terakhir kali, mereka memang bersama? Sampai bayangan hitam itu mengejar dan membuat mobil mereka terguling dan membuat Halum tak sadarkan diri.
Ia mengerjapkan mata berkali-kali. Tempat ini benar-benar terlihat asing. Sama sekali tak ia kenali. Dingin amat menusuk tulang. Rupanya, ia berbaring di atas salju. Salju putih yang dingin.
“Hores!”
Anak itu berteriak, memanggil adiknya yang entah ada di mana. Ia mengedar pandang ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada yang datang. Hanya ada pohon-pohon pinus tinggi yang juga diselimuti salju.
“Lawson!”
“Hores! Lawson! Kalian di mana?”
Sekali lagi ia berteriak. Namun, ia kehilangan adik lelaki juga sepupunya.
Anak lelaki itu kemudian terdiam setelah berhasil bangkit. Ia baru menyadari sesuatu. Tidak ada luka di tubuhnya. Sama sekali. Ia juga tidak merasakan sakit di bagian mana pun. Hanya rasa dingin yang menusuk. Tidak lebih.
Halum terus berjalan. Matanya tertuju ke barat. Ke arah cahaya yang terpancar memantul di langit. Sebuah cahaya yang menarik perhatiannya saat itu. Halum berharap, ia bisa menemukan Lawson dan Hores di sana.
Namun, semakin jauh ia melangkah, cahaya itu kian meredup. Demi tidak kehilangan petunjuk, ia berlari sekuat yang ia mampu. Sampai akhirnya, ia melihat sesuatu di ujung sana. Gelap yang berbatasan dengan dinginnya salju. Seperti sebuah hutan yang diceritakan ibunya dahulu.
Anak lelaki itu mencoba mendekat. Perlahan, ia melangkah dengan hati-hati. Di antara dingin yang ia pijak dan gelap yang terlihat di sana, ada seutas benang yang tak lagi mengeluarkan cahaya.
“Apakah cahaya itu berasal dari sini?”
Setelahnya, ia merasa sesuatu menyentuh tubuh. Seperti hembusan angin yang dingin. Bulu kuduk Halum berdiri. Ia hanya mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam. Terhitung beberapa jenak, ia mulai merasakan panas di seluruh tubuhnya. Lupa dengan benang yang cahayanya sudah meredup itu, panas yang dirasakan Halum membuat pikirannya teralihkan. Ia menarik langkah mundur.
“Ada apa denganku? Mengapa rasanya panas sekali? Dan-“
Ia merasakan hidungnya terasa gatal. Seperti saat ia akan terserang flu. Ia merasakan hawa dingin itu juga membelai-belai hidungnya.
“Apakah aku ha-haciiim flu lagi?”
Anak itu terus saja bersin. Berkali-kali setelah tak sengaja menghirup hawa dingin yang ia rasakan di hidungnya.
“Ah, menjengkelkan sekali!”
Gatal masih saja mengganggu hidung anak lelaki itu. Ia terus menggosok-gosok tangan sampai hidungnya memerah seperti tomat matang, kemerahan. Rasa panas semakin menyeruak, tubuhnya terasa terbakar.
“Kenapa panas sekali? Air! Aku harus cari air!”
Hanya itu yang ada dipikirannya. Panas hanya akan kalah dengan air, sama halnya dengan api. Halum mengedarkan pandangnya lagi. Rasanya tidak mungkin bila ia masuk ke hutan yang gelap di depannya. Belum tentu di dalam sana ada kubangan air, sungai, dan apapun itu yang bisa meringankan rasa panas di tubuhnya. Terlebih, gelap yang menghalangi pandangan mata ditambah anak lelaki itu tidak memegang senter atau apapun yang bisa membantunya melihat di kegelapan. Akhirnya, ia mengambil langkah berbalik. Kembali ke tempat di mana ia terbangun tadi, setidaknya tempat itu terlihat lebih terang di banding hutan di depannya. Ia berjalan dengan kepala yang terus menengadah, dengan bersin yang masih saja menjadi latar suara di heningnya hutan yang sedang ia singgahi.
Setelah beberapa langkah berjalan, anak lelaki itu melihat pohon-pohon pinus berjajar rapi, seolah memang ditanam dengan rencana yang terorganisir. Ia merasakah tubuhnya semakin panas meskipun salju tebal terasa di kakinya. Anak itu tidak kuat lagi. Ia berguling-guling di hamparan salju yang dingin, tapi tak sedikit pun rasa panas dari tubuhnya terobati. Rasa terbakar masih ada di sana, malah semakin menjadi.
Tak lama, terdengar isak tangis. Dekat sekali. Seolah seorang perempuan menangis tepat di cuping telinganya. Suara yang lembut, tapi terdengar begitu menyakitkan. Amat menyakitkan.
Halum celingukan. Masih dengan bersin yang sesekali keluar dari hidungnya, ia mencari-cari dari mana isak tangis itu berasal. Matanya memandang jauh ke atas, barangkali seseorang yang sedang memanjat pohon pinus menangis di atas sana. Namun, ia tak menemukan siapa pun. Lagipula, siapa orang konyol yang akan memanjat pohon pinus yang begitu tinggi di tengah cuaca dingin seperti ini.
Namun setelahnya, suara tangis lainnya terdengar. Suara seorang laki-laki dewasa yang terdengar begitu parau. Dalam sekali. Seperti seorang ayah yang kehilangan anaknya. Halum bangkit, terus mengalihkan pandangan ke kiri dan kanan, mencari pemilik suara-suara itu. Semakin lama, tangis-tangis itu semakin terdengar dengan jelas. Tidak hanya satu dua. Kini bahkan terdengar seperti paduan suara yang melibatkan banyak orang. Sangat riuh! Anak lelaki itu beringsut mundur. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia benar-benar terganggu dengan suara-suara yang menghujani pendengarannya.
“s****n! Apa lagi ini?”
Ia menutup kedua telinganya dengan tangan. Suara-suara itu seolah-olah menusuk pendengaran Halum. Benar-benar sangat mengganggu.
‘Tidak! Ini tidak benar!’’
Anak itu masih berpikir bahwa apa yang ia alami tidaklah nyata. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Ini pasti salah. Semua hanya ilusi. Pasti. Apakah ini adalah jiwanya yang sedang bermain-main di alam mimpi sementara tubuhnya tak sadarkan diri?
Namun, tangis-tangis itu makin pecah. Berebut mengambil tempat di telinga Halum yang mulai memerah. Anak lelaki itu terlihat kesal. Ia menarik napas panjang berkali-kali. Matanya masih mengedar ke sekeliling.
‘Lihat saja, begitu kudapatkan kalian! Akan kubalas perbuatan konyol ini!’ Ia terus merutuki Suara-suara tangisan itu dalam hati.
Akhirnya, ia tak tahan lagi. Suara-suara itu bahkan lebih memuakkan sepuluh kali lipat dibanding kegaduhan yang tikus-tuikus nakal lakukan di dalam rumahnya. Ia berpikir untuk menjauh. Tempat ini jelas tidak begitu menguntungkan baginya. Halum berlari dengan wajah yang begitu dipenuhi amarah. Suara itu benar-benar menggangu.
“Hentikan!”
Ia berlari secepat mungkin. Sayangnya, suara-suara itu bak menempel di cuping telinganya, seperti perangkat headphone yang selalu anak lelaki itu gunakan saat bermail video game. Bahkan, bak seseorang yang menekan tombol volume, suara-suara itu semakin menggelegar di pendengarannya. Ia menggelengkan kepala berkali-kali. Halum harus keluar dari tempat ini sesegera mungkin. Sesekali ia menoleh ke belakang. Berharap tangisan-tangisan yang terdengar tidak lagi mengejar. Anak itu masih berlari seolah-olah sedang diburu para pembunuh. Pohon-pohon pinus masih menjadi pemandangan yang ia temui. Tidak ada hal lain dan suara-suara itu masih terngiang-ngiang di pendengarannya.
“Hentikan!”
Ia berteriak, masih menutup kedua telinganya dan pandangan mata yang terus berpencar, menyelusuri tiap-tiap sudut tempat tersebut.
“Aku mohon! Hentikan!”
Ia terus berlari, lagi-lagi ia mencoba menengok ke belakang. Suara-suara itu semakin mengejarnya. Seperti anjing kelaparan yang sedang melihat daging segar. Halum adalah mangsa yang jarang mereka temui. Sejak para Askar tidak lagi mendengar suara mereka karena Mellowing, pinus-pinus itu tak bisa memangsa siapa pun untuk mendengar tangisannya yang pilu.
Napas Halum sudah terengah-engah. Bersin memang sudah tak lagi menguasai hidungnya, tapi rasa panas di tubuh anak lelaki itu masih terasa. Ia masih berharap bahwa ini adalah mimpi. Benar-benar sebuah ilusi yang begitu ia membuka mata, akan lenyap seketika seperti koin dalam pertunjukan sulap yang juga menghilang setelah pesulap berkata, ‘Simsalabim’. Anak itu yakin bahwa ia sedang bermimpi. Dengan jelas anak lelaki itu mengingat bagaimana darah bercucuran dari kepalanya yang kini terlihat baik-baik saja.
‘Benar! Ini hanya sebuah mimpi!’ Ia terus meyakinkan diri tentang apa yang ia alami saat ini.
Anak lelaki itu terus berlari. Tidak peduli bahwa selama pinus itu terlihat oleh matanya, selama itu pula tangisan akan menggangu pendengaran. Tak peduli berapa jauh ia harus melangkahkan kakinya yang mulai lelah. Tak peduli kalau akhirnya ia mungkin menyerah. Selama sisa kekuatan dalam tubuhnya ada dan masih bisa ia gunakan, maka berlari semampunya adalah jalan terakhir sembari berharap sebelum tenaganya habis, ia sudah terbangun dari mimpi tak masuk akalnya ini.
‘Ayolah, bangun!’
Akhirnya ia mengentikan langkahnya. Mencoba beberapa cara untuk membuatnya tersadar dan menghilang dari tempat s****n ini. Ia melakukan banyak hal untuk membuatnya terbangun. Mencubit pipi, menamparnya, bahkan melakukan apapun untuk melukai tubuhnya. Berharap ini semua benar-benar hanya sebuah mimpi yang akan lenyap begitu ia bangun.
Sampai akhirnya, ia kembali terhentak saat sesuatu mulai menggerayangi kaki. Akar-akar yang muncul dari dalam tanah yang tertutup salju itu bergerak. Akar itu menyumbul dari tanah.
‘Demi apa pun! Tempat terkutuk apakah ini?’ Anak lelaki itu mendumal dalam hati.
Sebelum akar-akar itu sempurna mencengkeram kakinya yang mulai gemetar, ia mencoba untuk lari. Tidak ada pilihan lain. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari tempat gila ini. Akar-akar itu semakin cepat merayap. Seolah mengejar dan mengincar kaki Halum. Akar-akar yang begitu kelaparan, sudah lama akar-akar itu tidak mendapatkan anak kecil lagi sejak kematian Pion, Joulie, hingga hampir seluruh anak di tempat ini. Hingga tak bersisa.
“Lepaskan aku, dasar akar s****n!”
Halum terus mengumpat. Ia menghentak-hentakkan kakinya berkali-kali agar akar-akar itu melepaskan cengkeramannya. Ia benar-benar harus pergi. Ke mana pun, asal jangan di tempat yang gila ini.
Anak lelaki itu terus berlari demi menghindari nya. Sesekali, kepala Halum menengok ke belakang. Tak sadar, ada akar yang menyumbul dari tanah tepat di depannya.
Bug!
Kaki anak lelaki itu tersandung. Tubuhnya berguling-guling di jalan menurun yang dipenuhi dengan salju. Sampai akhirnya, tubuh itu tercebur ke Sungai Riveria. Air yang dari permukaannya terlihat seperti s**u dan beraroma Gardenia. Seketika, rasa panas yang sejak tadi membakar tubuhnya, lenyap bagai butiran debu yang tertiup angin. Hilang tak bersisa.
Anak lelaki itu melambaikan tangan. Beberapa kali mencoba untuk keluar dari air yang seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup. Kakinya tidak bisa mencapai dasar sungai yang cukup dalam. Sampai akhirnya ia mendengar alunan lembut yang sangat ia hafal. Alunan yang selalu menemani malam-malamnya, dulu. Alunan yang keluar dari bibir Winessa untuknya dan untuk Hores sang adik, menjelang tidur.
Ia mencoba membuka mata. Berada di dalam air rupanya tidak seburuk yang ia kira. Meskipun sejak tadi ia bergelut dengan salju yang dingin, entah mengapa air ini terasa begitu hangat. Layaknya ia sedang berada di sebuah kolam air hangat. Rasa yang sama seperti ketika Halum mendengar cerita ibunya di atas ranjang dengan balutan selimut yang tebal dan nyaman. Ia menyundulkan kepala, menghirup udara sejenak sebelum ia kembali ke dalam air. Permukaan yang terlihat seperti s**u rupanya sangat berbanding terbalik dengan keadaan di dalam sini. Airnya begitu jernih sampai bebatuan yang beraneka bentuk terlihat dengan jelas di dasar sungai, meskipun jaraknya cukup jauh dari jangkauan anak lelaki itu. Ia mendengar alunan lembut. Alunan yang tidak asing baginya. Lagi, ia menyundul ke permukaan. Suara itu tidak terdengar. Hening. Tidak ada apapun di atas sana. Kemudian, ia kembali menenggelamkan diri dan alunan itu kembali terngiang di telinganya. Benar. Ini adalah lagu yang sering Winessa nyanyikan sebelum kedua anaknya itu terlelap. Suara itu hanya terdengar di dalam air.
‘Ibu?’
Anak lelaki itu membatin. Ia bertanya pada dirinya sendiri, benarkah benaknya kali ini?
Ia tidak mungkin salah. Suara ini milik ibunya. Benar, suara ini milik Winessa. Alunan itu, benar-benar seperti milik ibunya.
Dari kejauhan, terlihat seorang wanita menghampirinya. Anehnya, Halum tidak kehabisan napas. Napasnya terasa lebih panjang dibanding saat uji praktek dengan Pak Sam di kolam renang. Seolah selang oksigen terpasang pada hidungnya, ia tak merasakan sesak sama sekali.
Perempuan cantik itu berkulit putih. Tersenyum menghampiri Halum yang juga terkesima. Matanya tak berpaling ke arah lain. Terkunci pada sosok perempuan itu. Sementara, jarak perempuan itu semakin lama semakin dekat. Halum senang sekali. Ia memandangi wajah perempuan itu lekat-lekat. Semakin dekat, akhirnya mereka saling berhadapan. Ia tersenyum, juga wanita itu. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat anak lelaki itu benar-benar terkejut.
Bibir wanita yang tersenyum itu seolah tertarik lalu sobek. Dari mulut itu terlihat semua giginya yang berubah menjadi gigi taring yang runcing seperti mata tombak. Matanya menghitam. Rambut yang tadi terlihat begitu cantik, kini menjadi berantakan tak beraturan. Kuku-kukunya memanjang dan runcing. Kulitnya memang masihlah putih, tapi kini terlihat seperti kulit orang mati. Pucat pasi.
Halum mencoba melarikan diri begitu sadar bahwa makhluk di hadapannya ini berbahaya. Ia terus berusaha agar bisa sampai di permukaan dengan melambai-lambaikan tangannya. Ia harus menemukan daratan. Harus! Ia tidak ingin makhluk aneh di dalam air itu menerkamnya habis-habisan. Akhirnya, ia melihat cahaya. Sebentar lagi wajahnya akan muncul ke permukaan dan ia bisa keluar dari situasi yang menegangkan tersebut. Ia semakin kuat berenang ke permukaan setelah berpikir ada harapan baginya untuk lari. Namun sayang, harap tinggal harap.
Kuku panjang itu berhasil menarik kaki Halum. Makhluk itu mencengkeram kakinya hingga meninggalkan bekas luka yang cukup panjang. Ia mencoba untuk melepaskan cengkraman, tapi mahluk itu lebih bertenaga darinya. Sampai akhirnya Halum kembali menutup mata dan tidak sadar akan apa yang terjadi selanjutnya.
***
Halum membuka kedua matanya dan menangkap lelangit putih persis di depan mata.
‘Rupanya tadi hanya mimpi,’ batinnya.
Ia bernapas lega. Mimpi buruk itu benar-benar terlihat nyata baginya. Begitu menyebalkan dan begitu mengerikan. Sebuah mimpi yang rasanya tidak ingin ia ulangi lagi. Halum mengalihkan pandang. Melihat sekeliling, mencari Winessa dan Hores karena berpikir bahwa ia telah kembali ke kamar tidurnya atau mungkin terbaring di kamar rumah sakit. Namun, nihil. Ini tidak seperti ia benar-benar bangun di dunianya.
Anak lelaki itu meraba ranjang yang ia tiduri. Lembut dan hangat sekali. Halum mencoba bangkit dari tidurnya lalu menatap ke jendela, gorden berwarna putih terlihat begitu mewah terpasang di sana. Begitu juga dengan lampu gantung dari berlian di tengah ruangan yang terlihat begitu elegan. Belum lagi, hiasan-hiasan lain yang juga serba putih dan begitu mewah. Jelas, ini bukan sebuat tempat di mana ia bisa merasakan kenyataan.
‘Sepertinya ini bukan rumah sakit.’ Lagi-lagi ia menggumam. Ia berpikir bahwa tidak ada rumah sakit yang sedemikian rupa. Ruangan ini bahkan lebih mirip hotel bintang lima di banding tempat perawatan seseorang yang sedang terluka.
‘Apakah aku masih berada di alam mimpi’
Ketika kebingungan masih bersarang di kepala Halum, ia mendengar ketukan pelan dan seseorang muncul dari balik pintu.
“Kau sudah bangun, Tuan Muda?”