Prolog

488 Words
“Apa yang kau takutkan?” mendengar suara itu sontak membuat perempuan itu menoleh. Kini tepat di belakangnya berdiri seorang pria, memandang ia dengan wajah tanpa ekspresi. Pria itu mendekat, kemudian berdiri di sampingnya seraya memandang aliran sungai yang deras beberapa meter di bawah sana. “Mengapa kau ragu?” “Apa kau takut dengan suhu dingin sungai?” pria itu kembali bersuara. “Kau takut dengan aliran sungainya yang deras?” lanjutnya. “Atau... “ Pria itu kembali menatapnya. “ .. kau takut dengan rasa sakitnya ketika tubuhmu terhantam dengan keras?” dia tersenyum meremehkan. “Lucu sekali,” dengusnya. “Bukankah ini adalah jalan yang kau pilih? Lalu mengapa takut?” Perempuan itu tak sanggup membalas, ia memandang aliran sungai di bawahnya. “Bila memang rasanya begitu menyakitkan, maukah kau ikut denganku? Ke tempat di mana kau tidak perlu merasakan sesak di hatimu, tempat di mana orang-orang akan datang dengan air mata, tempat di mana mereka akan mengerti artinya penyesalan.” Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, lututnya bergetar seraya terus memperhatikan sungai, kendati demikian tawaran itu terdengar menggiurkan di telinganya. “Apakah itu benar? Apakah tempat itu benar-benar ada?” gumamnya. “Apakah ... “ napasnya tercekat. “ .. apakah setelah ini mereka tidak akan mengkhianatiku lagi?” Tatapannya begitu kosong, terlalu banyak beban yang harus dirasakannya dalam satu waktu. “Ya, semua itu akan menjadi milikmu. Jadi, maukah kau ikut denganku?” telapak tangannya kembali terulur. Perempuan itu melirik telapak tangan yang terulur padanya, kemudian memandang kepada pria itu. Ia tidak dapat melihat dengan jelas sosok di balik jubah hitam tersebut, tetapi entah mengapa dirinya merasa sosok itu adalah bagian dalam dirinya. “Austin, kenapa kau mau membantuku? Siapa kau sebenarnya?” tanya perempuan itu. “Aku adalah bagian rasa sakit yang menumpuk di sudut hatimu, rasa sakit yang membuatmu kesulitan bernapas, rasa sakit yang menimbulkan percikan dendam. Jika kau ikut denganku, semua rasa sakit itu akan musnah.” Keheningan melanda, dari tempatnya berpijak saat ini terasa begitu sunyi. Suara aliran sungai sama sekali tak terdengar, embusan angin tak terasa menyentuh kulitnya, decitan besi jembatan sudah tidak terdengar di telinga. Perlahan tangannya terangkat, kemudian menerima uluran tangan tersebut. Sesaat kemudian, tubuhnya terdorong ke depan. Sesuatu seolah menariknya ke bawah, matanya terpejam, embusan angin di sekitar tubuhnya terasa begitu kencang. Dadanya berpacu dengan cepat, helai rambut berhasil menutup jarak pandang. Tubuhnya seolah tertarik semakin dalam, sesuatu yang keras menyentuh punggungnya, gelembung air perlahan keluar dari mulut dan hidung. Matanya terbuka, pemandangan langit siang itu terasa begitu indah bila dilihat dari posisinya berada. Ia tidak berniat menggapai permukaan, air perlahan memasuki tubuhnya, terasa begitu menyesakkan, air memaksa masuk sehingga membuat paru-paru di dalam tubuhnya terasa perih. Hingga secara perlahan kegelapan merenggut kesadaran, seulas senyum terbit di bibirnya. Kau tidak perlu menjadi bintang di antara gelapnya malam, cukup jadi dirimu sendiri. Aku tidak perlu untaian kata indah, cukup dirimu berada di sampingku dan mengatakan 'Semua akan baik-baik saja.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD