Bab 2 Pernyataan tanpa jawaban

1899 Words
Chloe memandang tangan kekar yang membungkus kedua telapak tangannya dalam genggaman, terasa hangat dan membuat hatinya berdebar-debar. Kini tatapannya beralih pada si empunya tangan, bola mata sejernih lautan itu memancarkan keseriusan. Tak ayal hal itu membuat pipinya bersemu merah, Chloe tersenyum dalam hati. “Bagaimana? Apa kau suka restorannya?” suara Mark menyadarkannya. Chloe mengangguk, matanya kini tengah menjelajahi ruangan. Ya, Mark memesan sebuah private room. Restoran mewah di tengah kota, pria itu berhasil membawanya kemari dengan mobil pinjaman teman. Entah untuk apa Mark melakukannya, padahal sehari-hari biasanya pria itu mengendarai sepeda motor. Restoran ini memiliki interior mewah khas bintang lima, pelayanan sejak mereka di depan pintu begitu baik, bahkan iringan piano di ruangan tempatnya kini berada terdengar menenangkan hati. Satu-satunya penerangan di dalam ruangan berasal dari beberapa lilin yang terpasang apik di sudut ruangan, cahaya paling terang yang berasal dari lilin besar sepenuhnya menyorot ke meja mereka. Sebuah buket bunga mawar kini telah berada dalam pangkuan Chloe, terlihat indah dan wangi. Entah berapa lama Mark mempersiapkan semua ini, tetapi ia merasa sedikit tidak nyaman. “Aku menyukainya,” jawab Chloe. Mark mengembuskan napas lega, senyum hangat masih terpampang di wajahnya. “Aku sengaja menyiapkan semua ini sejak jauh-jauh hari, syukurlah jika kau menyukainya.” Chloe dapat melihat kegugupan yang berhasil ditutupi Mark, hal yang sama pun dirasakannya. Mark berdeham, dia harap Chloe tidak dapat mendengar suara berdebar keras di dadanya. Mark begitu gugup, sekalipun beberapa wanita pernah berkencan dengannya, tetap saja dia tidak dapat memungkiri daya tarik Chloe. Meskipun perempuan itu tidak melakukan apa pun, terdengar berlebihan memang, tetapi Mark menginginkan perempuan itu menjadi miliknya. “Apa kau ingat pertemuan pertama kita?” tanyanya. Chloe tersentak, ia tampak memikirkan jawaban atas pertanyaan Mark. Tak berapa lama ia mengangguk, tentu saja dirinya mengingat kejadian memalukan itu. Kejadian di mana Chloe menuduh Mark adalah seorang penguntit, tentu saja hal itu bukan tanpa alasan. ~ Malam hari sepulang kerja, ia menaiki bus, tanpa di duga bus justru berhenti mendadak, hal itu membuat tasnya terjatuh. Selurus isi tas berhamburan, tentu saja dirinya panik luar biasa. Ketika dirinya turun dari bus, ia melewati beberapa gang yang sepi. Tanpa di duga, seseorang justru mengikutinya. Chloe begitu panik dan takut, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti di salah satu gang yang ramai orang. Begitu 'penguntit' datang, Chloe bergegas memukul sosok itu dengan tasnya seraya berteriak penguntit. Hal itu sontak membuat kegaduhan di sana, Mark begitu terkejut dan segera menyodorkan dompet milik Chloe. Chloe semakin curiga, tetapi kecurigaannya berhenti ketika Mark menceritakan apa yang terjadi. Sejak saat itu, mereka sering bertemu. Entah secara kebetulan maupun takdir, bahkan di tempat Chloe melamar pekerjaan lainnya. ~ Mengingat kejadian dua tahun yang lalu itu sontak membuat Chloe tertawa, hal itu mengundang Mark untuk turut masuk dalam tawa. “Kau tahu, setelah kejadian itu. Aku selalu ragu jika melewati gang tersebut,” ujar Mark seraya menghentikan tawanya. Chloe meredakan tawanya, ia mencoba mengatur napas. “Maafkan aku, lagi pula mengapa kau tidak menjelaskannya sejak awal? Kau mengikuti seorang perempuan diam-diam di gang yang sepi dan malam hari, tentu saja siapa pun yang berada di posisiku saat itu pasti takut.” Perempuan itu kembali tertawa, seolah hal dikatakannya begitu lucu. Mark tertegun, ini pertama kalinya dia melihat Chloe tertawa lepas karenanya. Jantungnya kembali berdebar kencang, rona merah tipis timbul di pipi tirusnya. Debaran itu terasa menyenangkan untuknya, hingga sebuah senyum tertarik di kedua sudut bibir. Chloe menghentikan tawanya kembali, tatapan intens Mark membuatnya canggung. Ia berdeham, tetapi Mark tidak mengubah tatapannya. Pria itu tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam jas hitam yang dikenakan, kemudian menyodorkan sebuah kotak beludru merah ke arahnya. Chloe tersentak, matanya memandang bingung pada cincin perak di atas kotak. Terlihat indah dan mahal, meskipun dalam penampilan sederhana. “Chloe, maukah kau menikah denganku?” Suara Mark terdengar rendah dan dalam, samar-samar ekspresi berharap terlihat di wajahnya. Chloe menelan ludahnya gugup, ia tidak tahu harus menjawab apa. Menikah? Bahkan kata itu tidak pernah terlintas di kepalanya, tanpa sadar keringat dingin membasahi wajahnya. “Mark, aku... A.. aku... “ Kalimatnya justru tersendat di sana, tidak ada jawaban pasti setelahnya. Pandangan Chloe menjadi tidak fokus, ia tidak berani menatap Mark. Melihat keanehan yang terjadi pada Chloe, sontak membuat Mark meletakkan kotak berisi cincin tersebut kembali ke dalam saku jas. “Chloe? Hei, tenanglah. Chloe... “ ucap Mark. Perempuan itu kembali ke dunianya setelah Mark mengelus punggung tangannya, Chloe menatap Mark terkejut. Tatapan khawatir pria itu membuatnya dilanda rasa bersalah, Chloe tidak mengerti mengapa dirinya seperti ini. “Mark, maaf. Aku hanya panik, kau tiba-tiba mengatakannya. Jadi, aku ... Aku ... “ Mark tersenyum tipis, “Kau tidak perlu meminta maaf. Ini memang terkesan tiba-tiba, maaf membuatmu terkejut.” Chloe menunduk, ia memainkan jari jemarinya. “Mark, kau tahu seperti apa keluargaku. Aku bahkan tidak pernah memikirkan untuk menikah, meskipun aku ingin keluar dari keluarga ini. Tetapi aku tidak mau menjadikan seseorang sebagai jalan keluarnya, bila pun memang. Aku tidak mau menyakiti orang itu, menikah denganku artinya kau harus siap menghadapi keluargaku yang berantakan.” Mark mengerti kegundahan Chloe, dia tahu seperti apa keluarga perempuan itu. Satu-satunya orang normal di sana mungkin hanya Chloe, terdengar kasar memang tetapi itulah kenyataannya setelah kurang lebih dua puluh lima bulan mengenal perempuan itu. “Aku tidak akan memaksamu, ini pasti berat untukmu. Tetapi bisakah kau memikirkannya terlebih dahulu?” pinta Mark. Chloe menatap Mark lama, ia ragu. Pernikahan belum tentu membuat kehidupannya berubah, mungkin saja dirinya malah membawa Mark ke dalam penderitaan yang sama. Namun, Chloe tidak berani mengungkapkan apa yang berada dalam benaknya. Diikuti kepalanya yang mengangguk, senyum cerah kembali hadir di wajah Mark. Kini setitik rasa bersalah muncul di hati Chloe, ia dengan sadar telah memberikan harapan kepada Mark. Chloe melirik pria itu, senyum tampak tak memudar di wajahnya yang cerah. Apakah Chloe sanggup menghilangkan senyum itu, dan tanpa sadar ia merasa sangat jahat bila sampai menggantungkan hubungan mereka. Chloe mengambil napas dalam-dalam, ia harus mengatakan dengan tegas. Memberikan harapan kepada orang lain adalah sesuatu yang jahat, Chloe mungkin akan melukai pria itu begitu dalam. Mark kembali memotong daging sapi dengan saus jamur di atas piringnya, kemudian mengambil suapan kecil. Dia meletakkan garpu dan pisaunya begitu menyadari keheningan di meja, sontak saja Mark mendongak. Chloe tampak berada dalam dunianya sendiri, Mark mencoba menebak pikiran di balik kening yang mengernyit dalam itu. “Chloe,” panggilnya. Perempuan itu tersentak ketika dia menyentuh punggung tangannya, kemudian tersenyum canggung. Mark melanjutkan, “Ada apa? Apa kau tidak suka makanannya? Atau kau merasa tidak enak badan?” Mendengar suara Mark yang penuh kekhawatiran membuat Chloe dilanda rasa bersalah semakin besar, ia menggeleng sembari melirik piring Mark yang masih menyisakan setengah makanan. “Mark,” lirih Chloe. Mark bergumam sebagai balasan, dia masih menatap hangat padanya. “Jangan menungguku,” lanjut Chloe. Ekspresi Mark berubah, dia menatap bingung pada Chloe. Sebelum Mark bertanya, Chloe sudah terlebih dahulu berbicara. “Aku tidak ingin memberikan harapan yang akhirnya akan menghancurkan kita secara perlahan, bisakah kita seperti ini dulu sampai semuanya baik-baik saja? Mark, sulit untukku percaya pada pria. Namun, kau berbeda. Aku tahu kau adalah pria yang baik, tetapi keadaan akulah yang tidak baik-baik saja.” Chloe tersenyum, meskipun senyumnya itu tidak sampai mata. “Aku tidak mau kau berharap, tetapi aku juga tidak mau kehilanganmu. Bukankah aku sangat egois,” tuturnya. Mark melirik tangannya yang menyentuh tangan Chloe, kemudian perlahan menariknya perlahan sampai tangannya kembali ke pangkuan. Mark merasa munafik bila berkata dia tidak kecewa, bahkan kini Mark merasakan dadanya sesak. Dia mendongak, kemudian tersenyum hampa. “Manusia pasti menginginkan yang terbaik untuk dirinya sendiri, kau tidak egois, Chloe. Justru akulah yang merasa diriku begitu egois, seharusnya aku bersyukur telah mendapatkan hatimu, dan tak seharusnya aku menuntut lebih. Maaf, apa aku membuatmu tidak nyaman?” Chloe menggeleng cepat, “Mark. Tolong jangan mengatakan maaf, kau membuatku semakin merasa bersalah.” “Chloe, aku percaya pada takdir. Karena itulah aku memutuskan mengejarmu, tetapi kini aku sadar. Bahwa tidak semua hal bisa kita dapatkan,” kata Mark. “Kau tidak perlu merasa bersalah, aku mengerti jika hati tidak dapat dipaksa. Aku tidak akan menunggu, aku berjalan di sampingmu sampai kau membuka seluruh hatimu untukku.” ~~ “Aku tahu kalian sedang di mabuk cinta, tetapi bisakah kalian fokus di tempat kerja?!” terdengar nada kesal dari bos restoran tempat Chloe dan Mark bekerja. “Ini bahkan belum setengah waktu dari jam kerja, kalian bebas bermesraan bila telah menyelesaikan semua pekerjaan ini. Atau kalian mau aku memotong gaji?” Sebelum wanita 45 tahun itu semakin marah, Chloe lebih memilih kembali ke tempatnya. Dengan buku menu, dia berjalan menghampiri salah satu meja setelah orang yang duduk di sana mengangkat tangannya. Suasana restoran siang ini begitu ramai dari biasanya, selain karena waktu makan siang kantor, restoran kali ini rata-rata dipenuhi pelanggan perempuan. Tempat itu sepenuhnya terasa sesak, meskipun kipas angin menyala di setiap sudut restoran. Bahkan Chloe sudah tidak dapat menghitung berapa banyak pelanggan hari ini, dia berharap bos memberinya bonus. Chloe baru saja menginjakkan kaki di dapur, sebelum suara seseorang menghentikannya. Ia menoleh, di meja sudut ruangan terlihat seorang pria mengangkat tangannya. Chloe bergegas menghampiri dengan buku menu dalam dekapan, kemudian ia meletakkan buku tersebut di atas meja pelanggan yang memanggilnya. Sembari menunggu pesanan, Chloe tanpa sadar malah memperhatikan penampilan aneh pria itu. Ia baru menyadari bahwa pria itu mengenakan mantel hitam tebal dengan syal merah di cuaca yang panas ini, bahkan Chloe tidak yakin kipas angin mampu mendinginkan ruangan ini. Beberapa detik kemudian ia disadarkan oleh suara pria itu, Chloe kembali memfokuskan diri pada pekerjaan. Ia bersiap menuliskan pesanan, tetapi pria itu justru menunjuk menu di dalam buku dengan tangannya. Chloe mengikuti arah jari itu, kemudian menuliskan ulang pada secarik kertas di tangannya. “Spaghetti carbonara dengan minuman soda satu? Apa sudah benar pesanannya, tuan?” ulang Chloe. Sejujurnya ia penasaran dengan wajah di balik topi dan kacamata hitam itu, sungguh Chloe masih tidak habis pikir. Pria itu berdeham, tampak tak nyaman dengan tatapan intens Chloe. “Ya,” balasnya. Chloe berdeham menyadari kelakuannya yang tak sopan, kemudian ia melemparkan senyuman. “Mohon tunggu sebentar,” ujarnya sebelum beranjak dari sana. Mata bak elang itu terus memperhatikan, hingga tubuh Chloe menghilang di balik pintu dapur. Sementara itu di dapur, Chloe bergegas menghampiri Mark yang tampak sibuk dengan peralatan dapur. Chloe menyerahkan kertas berisi pesanan pada pria itu, kemudian beralih menuju wastafel. Kini yang menggantikan Chloe untuk menanyakan pesanan pengunjung adalah pelayan pria yang lain, sementara dirinya mulai membersihkan peralatan masak yang tampak kotor itu. Jika orang yang datang banyak artinya menambah pekerjaan lain, mesin pencuci piring sedang kondisi rusak. Sehingga mau tak mau Chloe membersihkannya manual, Mark menghentikan aktivitas memasaknya. Suara piring beradu dengan air mengalihkan perhatiannya, tampak Chloe tengah fokus pada piring cucian. Mark bersyukur suasana canggung malam kemarin tidak berdampak di tempat kerja, meskipun kini dirinyalah yang justru merasakan canggung. Mark ragu untuk menyapa, sekalipun beberapa saat yang lalu mereka terlibat dalam pembicaraan yang lucu. Mark menghela napas pelan, kemudian kembali fokus pada masakannya. Dia membatalkan niat untuk berbicara, karena justru akan terasa semakin canggung bila pembicaraan itu usai. Di sisi lain, Chloe menyadari tingkah Mark yang menatapnya terang-terangan. Hal itu membuatnya gugup, meskipun pembicaraan malam itu hanya membawa kecanggungan. Dia hanya berharap, hubungan mereka tetap seperti ini. Meskipun di lubuk hati terdalamnya, Chloe menginginkan yang terbaik untuk mereka berdua. Chloe hanya tidak siap memulai sebuah hubungan lebih dari ini, ketakutan akan sesuatu yang belum terjadi terkadang menjadi kecemasan terbesarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD