STORY 13 - Guilty
***
Sekantung plastic berisikan baju kaos dan celana pendek laki-laki. Drake mencoba untuk tetap tenang, wanita itu pasti kelelahan karena baru datang dari kota yang berjarak cukup jauh dari desa ini.
Nora bahkan tidak lupa membelikannya pakaian, ‘Wanita ini tak berbakat menjadi penculik,’ dengus laki-laki itu, seraya bergerak mencari pakaian yang tipis untuknya tidur.
Satu buah lilin sebenarnya tidak cukup mengganjal kelemahan Drake. Tapi apa boleh buat, dia harus bertahan sampai lampu hidup kembali. Jangan sampai lilin ini mati lebih dulu sebelum lampunya hidup.
Drake bahkan langsung mengisi ulang daya handphonenya untuk jaga-jaga. Besok pagi dia akan menanyakan foto itu pada Nora lagi.
Jika ditanyakan kembali, apakah pikiran Drake sudah berubah. Tentu saja belum, dia masih enggan untuk bertemu dengan dua orang itu. Meski Houven pasti bingung mencarinya.
Drake bahkan sudah bisa menebak seperti apa panik semua orang di perusahaan. Terutama ayah dan ibu. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak perlu merasa khawatir jika kedua orang itu berbuat nekat dan melaporkan berita tentang kepergiannya.
Menyiarkan pada televisi dan koran. “Hh, tidak mungkin,” gumam Drake yakin. Dua orang itu tidak mungkin gegabah dan menyiarkan kasus kepergiannya ke sembarang media.
Semua akan berefek sangat besar, dan pengaruhnya akan menghancurkan keseimbangan perusahaan mereka. Perusahaan akan berubah chaos dan mempertanyakan seperti apa kinerja tempat mereka.
Hah, membayangkan itu saja sudah membuat Drake tertawa kecil. “Bagi mereka uang itu segalanya, jika menyiarkan berita tentang kepergianku pada media massa berarti sama dengan menghancurkan perusahaan.” Kembali bergumam. Semua rencana ini sudah Drake pikirkan matang-matang.
Tentu saja termasuk rencananya untuk bunuh diri. Namun siapa sangka rencana Drake justru dengan mudah digagalkan oleh wanita itu. Noravayne Adela.
‘Hh, menyebalkan.’ Untuk pertama kalinya, semua rencana yang Drake atur bisa gagal. Wanita berkekuatan gorilla, tidak takut dan enggan untuk peduli dengan statusnya sebagai seorang Clayton.
Mengambil satu baju berwarna abu, Drake baru saja ingin membuka pakaian, laki-laki itu langsung mendengar suara teriakan kecil dari luar. Alisnya tertekuk bingung,
Mengurungkan niat, menaruh kembali semua pakaian di tangannya. Ia berjalan hendak membuka pintu kamar.
“Tuan Anderman, Tuan Anderman, bisa buka pintunya?” Suara Nora sudah lebih dulu menyapanya di luar sana. Ketukan berulang yang tidak sabaran. Seolah wanita itu tengah panik.
“Tunggu sebentar,” ucapnya singkat, bergerak membuka pintu, manik abu Drake menatap jelas sosok Nora berdiri di depannya. Wanita itu menengadah dengan napas terengah.
Menyembunyikan ketakutannya, Nora berusaha tenang, dalam remang cahaya pun Drake bisa melihat ekspresi wanita itu memucat. “Bi-bisa kau bantu aku?” Suara Nora yang gemetar.
“Kenapa wajahmu pucat seperti itu?” Mengabaikan ucapan Nora, Drake justrus menanyakan raut sang Adela. Wanita di depannya tersentak kaget. Mengerjap beberapa kali.
“Pu-pucat? Tidak, wajahku baik-baik saja, aku hanya ingin minta tolong padamu, bisa ‘kan?!” Mengelak dengan cepat. Drake masih enggan keluar dari kamarnya.
Kali ini Ia merasa terhibur dengan ketakutan Nora. Melihat wanita yang tadinya bertingkah keren, dan sok dingin sekarang berubah pucat. Bahkan suaranya pun terbata.
Mengangkat kedua tangan dan bersidekap di depan d**a. “Kau ingin aku melakukan apa, Nona penculik?” ucap Drake dengan nada remeh.
Mendengus tipis, melihat jelas kedua manik keemasan itu melebar shock. Dia diam tiba-tiba, menatap wajah Drake yang kini menyeringai senang.
‘Ah, sial. Sepertinya Nora salah meminta tolong.’ batin wanita itu mulai berperang. Minta tolong atau tidak? Harga diri Nora bisa tercoreng!
Berpikir ratusan kali, jika Nora mengatasi kecoak itu sendiri. Apa dia bisa? Yang ada semua barang-barang di kamarnya hancur gara-gara dia melempar semua itu ke segala arah. Trauma Nora saat kecil dulu sudah cukup membuatnya kapok.
Menganggap bahwa kecoak mungkin bukan binatang yang menakutkan. Pokoknya binatang melata atau yang lebih kecil dari Nora, dia tidak akan takut. Tapi siapa sangka.
Saat tertidur pun kecoak akan selalu mengintai, menggerayangi tubuh Nora, bahkan tak sengaja hampir masuk ke mulutnya saat tidur dulu. Menakutkan!!
“Kau harus membantuku!” Ah, persetan!! Nora tidak peduli lagi, berdiri menatap Drake dengan tegas. “Usir kecoak yang ada di kamarku, Tuan Anderman!” ucapnya cepat.
***
“Hah, aku lelah, Nona Nora.” Sikap yang begitu familiar Nora perhatikan dengan jelas. Bagaimana Drake menguap bahkan berniat menutup pintu kamarnya, hampir meninggalkan Nora.
“Ba-bantu aku dulu!” Masih tidak menyerah, tangan Nora bergerak memegang kenop pintu, menahan agar Drake tidak menutup pintu lebih dulu.
Menyadari tingkah Drake yang berusaha meniru tingkahnya tadi. Mau tak mau membuat Nora kesal. “Bantu aku, Tuan!” teriaknya lagi.
Drake masih tersenyum tipis, menempelkan topeng dengan erat di wajahnya, “Bagaimana kalau besok saja kubantu, oke? Aku lelah sekali, Nona Nora.” Bergerak menyentuh kenop pintu.
Berniat menutup benda itu, “Bantu aku dulu!” Tapi Nora masih enggan menyerah, dia menahan bahkan mendorong agar pintu tidak bisa ditutup.
Sang Anderman tidak mau kalah, “Besok saja, oke?! Aku lelah,” Mendorong dari arah sebaliknya. Alhasil kedua orang itu malah saling mendorong pintu satu sama lain.
Tidak ada pilihan lagi, Drake pasti ingin balas dendam dengannya. “Hh, baiklah! Akan kukembalikan semua barangmu sekarang, tapi bantu aku dulu,”
“Tidak mau.”
Astaga! Nora tidak mau tidur di ruang tamu! Di sana hanya ada sofa kecil yang membuat seluruh tubuhnya sakit. Semua sikap dingin, keren dan aura komandan Nora menghilang dalam sekejap.
Tanpa sadar memperlihatkan sedikit sifat aslinya, Nora terlalu takut, “Hua! Tolong bantu aku satu kali saja! Aku sudah membelikanmu pakaian tadi, bantu aku menyingkirkan binatang itu!!” Sang Adela berubah menjadi wanita yang cerewet karena ketakutannya.
“Tidak mau.”
Astaga!! Manik Nora melebar, melihat sikap keras kepala Drake yang luar biasa batu. “Ah, baiklah kalau begitu!! Karena ini rumahku,” Kesal minta ampun, Nora mengeluarkan semua tenaganya,
“Kau mau apa?!” Drake terdorong masuk ke kamar, begitu juga Nora. Dengan manik keemasan yang menatap tajam.
“Kalau kau tidak mau menyingkirkan kecoak itu malam ini juga, aku akan tidur di sini!!” teriak Nora lantang. Seolah tidak takut, Ia berjalan masuk ke dalam kamar dan berdiri tepat di depan Drake.
Berkacak pinggang kesal, “Mana yang kau pilih?” Mendengus senang, kali ini Nora yakin kalau Drake akan menyerah. Tidak mungkin laki-laki yang takut dengan gelap itu mau tidur bersama wanita ‘kan?
Dia menang.
“Baiklah.” Satu jawaban Drake terdengar singkat. Batin Nora hampir berteriak senang. Ia mendengus dan mengangguk cepat.
“Baguslah kalau kau sadar,” Wanita itu hendak berjalan keluar dari kamar, sebelum Drake lebih dulu bergerak, menarik kenop pintu yang Ia genggam sejak tadi.
“Lho?” Nora mengerjap polos. Melihat laki-laki tegap itu dengan santai menutup pintu kamarnya. Dalam kondisi Nora masih ada di sini.
Kembali menengadah bingung, “Ke-kenapa kau malam tutup pintunya?” tanya Nora pelan.
Seringai tipis yang begitu tampan tercetak di wajah Drake, seolah tidak ragu mengambil pilihan Nora. “Seperti pilihanmu tadi. Kau boleh tidur di bawah dan aku tidur di kasur,” Mengendikkan bahu tipis.
Tubuh tegap itu berbalik hendak menuju tempat tidur, “Oh, aku belum sempat mengganti pakaian, kau bisa berbalik sebentar ‘kan?” Meninggalkan Nora yang masih membeku di tempat.
Masih dengan topeng manis melekat jelas, “Atau kau ingin melihat tubuhku juga, Nona Nora?” Satu pertanyaan yang begitu pelan dan sengaja rendah teralun.
Menambah panas udara di ruangan Drake. Nora yang awalnya membeku perlahan meleleh. Semburat merah di pipi nampak samar, kedua tangan wanita itu mengepal.
Untuk pertama kalinya, seorang Noravayne Adela merasa sangat malu!! “Kau!!” Kedua manik itu berbalik menatap Drake penuh amarah, berniat mengeluarkan seribu macam umpatan pada sang Anderman.
***
“Ck, sebegitu inginnya kau melihat tubuhku? Sudah hampir dua kali hari ini kau mengintipku,” Tubuh tegap dengan beberapa otot dan urat di area tangan Drake nampak jelas.
Lagi-lagi, manik Nora melebar. “AAA!! KAU MAU APA?!” Baru pertama kali wanita itu berteriak di hadapan laki-laki seperti ini. Tidak bisa menahan rona merah di pipi, tubuh Nora bergerak reflek mendorong Drake sekuat mungkin.
“GAH!” Sang Anderman sukses mencium dinding, dalam kondisi telanjang d**a. “Kenapa kau malah mendorongku?!” Laki-laki itu langsung berbalik, menatap tajam Nora.
Wanita yang kini menarik napasnya panjang, “Aku hanya meminta bantuanmu untuk menyingkirkan binatang sialan itu, kenapa susah sekali?!” bentak Nora balik.
“Kalau aku bilang besok ya besok,” Drake mendesah panjang, menggosok kening yang memerah. Tenaga Nora tidak main-main kuatnya. Perlahan menggunakan pakaian dengan benar, setelah itu berniat menuju tempat tidur.
Sayang, Nora lagi-lagi bergerak cepat. Menarik pakaian Drake, “Bantu aku dulu!” Memaksanya untuk berjalan keluar.
“Ck, kau saja menyembunyikan foto milikku hampir seharian ‘kan? Jadi bertahanlah sampai besok!” Tidak mengira bahwa Drake adalah sosok yang pendendam.
Drake menahan tubuhnya bagaikan batu, “Satu kali saja!”
“Tidak.”
“Astaga, baiklah!!” Kesal setengah mati, Nora mengerang. Melepas cengkramannya tadi, dan tanpa aba-aba berjalan menuju tempat tidur Drake. Berbaring di sana menyelimuti dirinya sendiri.
“Kau tidur di bawah atau kalau perlu tidur di sofa, paham?!” Menunjuk ke arah lantai, alis wanita itu tertekuk kesal. “Ini rumahku jadi aku bebas memilih,” dengusnya senang.
Menangkap ekspresi Drake yang merasa terganggu, “Sifatmu benar-benar seperti anak kecil,” ucap sang Anderman menahan kesal.
Ya, memang sifat asli Nora seperti itu. “Terserahmu saja, kalau kau tidak mau membantuku, jangan harap bisa tidur tenang di sini.” Mengucapkan kalimat terakhirnya. Nora berniat tidur, meski dadanya masih berdetak keras karena untuk pertama kali dia berada di kamar yang sama dengan seorang laki-laki.
Bukan di ruangan kantor tapi kamar tidur, dua hal itu berbeda jauh! Ditambah lagi Nora tidak punya pengalaman dalam hal cinta-cintaan. Dia benar-benar buta.
‘Ck, dia hanya perlu membantuku saja, apa susahnya.’ batinnya kesal. Mencoba menarik selimut, ‘Lho,’ Seseorang dengan sengaja menarik selimut di tangan Nora.
“Sudah kubilang kalau kau tidur di bawah ‘kan? Ini kamarku, Nona Nora.” Suara berat Drake mengalun pelan, sang Adela merasakan jelas bagaimana tubuh tegap itu berusaha duduk di pinggir tempat tidur.
“Kalau kau memang sebegitu inginnya tidur denganku, ya sudah. Minggir.” Mendorong tubuh Nora agar menempel pada dinding dan dengan polosnya ikut naik ke tempat tidur. Napas Nora reflek tercekat.
“Ka-kau kenapa ikut naik?! Tidur di bawah sana!” Masih enggan membalikkan tubuhnya, Nora sedikit memberontak.
“Ck, katanya kau lelah. Kenapa tenagamu masih seperti gorilla?” Tangan Nora tanpa arah mendorong wajah Drake. Laki-laki itu masih bersikeras.
Gorilla adalah satu ejekan paling menyebalkan yang pernah Nora dengar. Amarahnya langsung tersulut detik berikutnya.
Bergerak kembali, kali ini tanpa basa-basi berbalik hendak meneriaki Drake kembali. “Jangan panggil aku gorilla-”
Bukan dalam jarak beberapa meter lagi, tanpa sadar Nora mencium aroma mint ocean dari tubuh Drake. Pandangan mereka bertemu, hanya dalam jarak beberapa cm, deru napas saling menyapa satu sama lain. Tubuh keduanya membeku kompak. Dalam ruang yang temaram dan udara dingin masuk melalui celah jendela yang terbuka,
Situasi macam apa ini?
***
Pukul 20.05 pm – hujan – Rumah utama Clayton
“ARGHHH!! SIALAN!!” Suara teriakan bergema memenuhi seluruh ruangan. Diiringi lemparan beberapa barang menimbulkan bunyi denting bahkan pecahan kaca bertebaran dimana-mana.
Laki-laki bertubuh besar itu berulang kali mengamuk selama hampir dua hari tepat setelah kepergian putranya tanpa pemberitahuan siapapun.
“Drake Anderman Clayton!! Kemana kau pergi!!!” Awalnya dia memang memberikan waktu satu hari bagi Drake untuk pergi tanpa memberitahunya. Tapi setelah menunggu bahkan hampir dua hari penuh.
Drake tidak juga kembali. Bayangkan berapa banyak pekerjaan yang menumpuk gara-gara kepergian laki-laki itu!! Memikirkannya saja sudah cukup membuat kepala Ivondes meledak.
“ANAK SIALAN!! KAU BERANI PERGI TANPA SEPENGETAHUANKU!!” teriak Ivon sekali lagi, tidak memperdulikan keberadaan sang istri di dekatnya.
Sosok Lanser masih gemetar menatap sang suami yang nampak kalut, dan mengamuk. Berusaha menghentikan pun tidak ada gunanya lagi.
Ia hanya bisa duduk di sofa sembari menatap kemarahan Ivondes meluap. Tidak hanya dia saja di ruangan ini, tapi juga Houven.
Laki-laki paruh baya yang masih berdiri tegap, menundukkan wajah, ada sedikit luka di bagian pipinya. Pertama kali menemukan informasi kepergian Drake, Ivon langsung saja menerjang sang asisten.
Hal yang membuat Lanser cukup kagum saat itu, walaupun Houven merupakan bawahan Drake dan sudah bekerja selama hampir bertahun-tahun di keluarga Clayton.
Namun hal itu tidak menghalangi sang asisten untuk melakukan pembelaan diri saat Ivondes berniat melampiaskan semua amarah padanya. Seolah memberikan sang tuan kesempatan untuk memukulnya satu kali saja,
Setelah itu pada pukulan kedua Ivondes berniat meluapkan amarahnya, tapi sayang Houven langsung saja menghindar. Tidak memberikan kesempatan lagi pada Ivondes berbuat semaunya, tentu saja dengan menggunakan tameng undang-undang pekerja.
Sekarang bisa dilihat sendiri, kemana Ivon melampiaskan amarahnya. Melempar dan menghancurkan seluruh barang di dalam ruangan.
Tidak bisa melakukan apapun, “Kenapa dia berani pergi dan melawanku?! Apa anak sialan itu tidak takut jika aku melukai ibunya-” Suara Ivon tercekat, begitu mengingat kembali semua hal dalam pikirannya.
Satu rahasia yang sengaja Ia sembunyikan dari Drake demi menjaga agar laki-laki itu tetap patuh padanya. Kedua manik Ivondes melebar beberapa saat, tubuh itu gemetar, dan tangan yang tadinya mengepal sebuah vas kaca, menjatuhkan benda itu ke lantai.
“A-ada apa, sayang?!” Lanser panik, melihat tingkah aneh suaminya. Ia memberanikan diri untuk bangkit, melihat jelas raut wajah Ivondes perlahan berubah pucat.
“Jangan bilang,” bisik Ivon pelan, maniknya menatap ke segala arah, napas itu memburu. “Jangan bilang dia tahu!!” Begitu menyambungkan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Kepergian Drake tanpa pemberitahuan, “TEMUKAN ANAK ITU SECEPATNYA!! TEMUKAN!!” Ivondes tidak ingin kehilangan penopangnya, setelah semua rencana yang Ia buat dengan matang. Mendidik Drake menjadi sosok sempurna untuknya.
Bahkan hingga mengatur pertunangan bagi laki-laki itu secepat mungkin. “TEMUKAN ANAK ITU, HOUVEN!!”