STORY 10 - Prove
***
Matanya tidak bisa tertutup dengan benar!! Semalaman Nora bahkan tak bisa tidur nyenyak. Pikirannya entah kenapa terus mencari cara yang tepat untuk mencegah agar Drake tidak bunuh diri.
Apa dia bisa meninggalkan laki-laki itu sendirian di rumah hari ini? Bagaimana kalau dia melakukan hal aneh dan melarikan diri, lalu meloncat lagi dari jembatan saat tidak ada siapapun yang melihat?!
Kenapa Nora harus begitu peduli dengan orang yang bahkan tidak Ia kenali!! “Argh!!” Reflek menjerit, wanita itu langsung bangkit dari posisi berbaringnya. Menyibak selimut dengan keras, beranjak dari tempat tidur dengan kantung mata terlihat jelas.
“Gara-gara dia aku tidak bisa tidur!” Hari pertamanya di tempat ini, dan Tuhan langsung memberi Nora ujian besar!
Bahkan dia saja tidak tenang, memikirkan kalau Drake tiba-tiba pergi dari kamar, berlari menuju jembatan dan melompat!!
Kedua manik keemasan itu terbelalak tiba-tiba, takut kalau semua pikirannya menjadi kenyataan. Ia bergegas membuka pintu kamar dan berlari menuju kamar Drake.
“Tuan Anderman!” Tanpa aba-aba memanggil nama laki-laki itu, membuka pintu kamar Drake penuh rasa takut. “Kau tidak kabur ‘kan?!” Satu suara nyaring Nora beretriak lagi.
Beriringan dengan pintu yang terbuka setengah, kedua manik sang Adela reflek melebar. Mendapatkan pemandangan sosok Drake berdiri membelakanginya, laki-laki itu ikut berbalik.
Tangan yang tadi hendak mengancingkan baju berkerah terhenti sesaat. Tubuh sempurna penuh dengan kotak enam istimewa di bagian perut nampak jelas. Drake membeku.
Satu hal yang seharusnya biasa Nora lihat, mengingat dia sering melihat semua anak buah berlatih bahkan melepas pakaian mereka saat berkeringat.
Tubuh Moran, bahkan adik laki-lakinya. Nora harusnya sudah terbiasa! “Ah,” Tanpa sadar bibirnya berujar lebih dulu, manik melebar itu berubah menjadi datar.
Begitu juga Drake, tubuh laki-laki yang awalnya membeku kini berusaha tenang. Ia mendesah, “Selain wanita gila, kau juga m***m rupanya?” Ejekan sang Anderman menjadi sarapan pagi Nora.
Mau tak mau, Nora mendehem singkat. Mengatur kembali ekspresinya menjadi dingin, “Kukira kau kabur. Selesaikan kegiatanmu setelah itu temui aku di dapur.” ujar Nora berusaha tetap tenang.
Menutup pintu perlahan, masih dengan pandangan datar. “Aku tidak m***m, ingat itu!” Satu teriakan terakhir menjadi peringatan bagi Drake.
Meninggalkan laki-laki itu sendiri lagi. Drake mengendikkan bahu sekilas. Alasan kenapa dia sekarang sedang menggunakan baju lagi? Tentu saja karena ruangan ini berubah panas kemarin malam.
Dia bahkan terpaksa membuka jendela kamar, agar udara bisa masuk. Tapi malah berujung nyamuk datang menggigiti seluruh tubuhnya.
Apa Drake bisa bertahan tinggal di tempat seperti ini? Mengingat kalau sejak kecil, laki-laki itu sudah berada dalam lingkungan yang berada.
“Hh, berada?” Tiba-tiba teringat sesuatu, sejak kapan Drake berpikir kalau hidup masalah kecilnya sangatlah bahagia?
Pada akhirnya mungkin Drake akan berterima kasih pada ajaran sang ibu tiri dan ayah kandungnya, karena berulang kali memasukkan Drake ke dalam ruang hukuman saat Ia melakukan kesalahan sedikit pun.
Dia jadi bisa sedikit beradaptasi dengan lingkungan ini.
***
Di lain sisi
Nora reflek menyender pada dinding kamarnya, menarik napas berulang kali. ‘Tenang, Nora. Tubuh kotak-kotak seperti itu, sudah biasa kau lihat, kenapa harus panik?!’ batin wanita itu pada dirinya sendiri.
Kali ini tanpa sungkan menampar pipi cukup keras, “Sadarlah, bodoh.” Perut kotak-kotak nan sempurna milik Drake sedikit mengawang di pikirannya. Oh, ayolah! Nora bahkan sudah sering melihat perut seperti itu di tempat latihan!
Menarik napas panjang, Nora mencoba bersikap normal. Kedua manik itu menatap jam dinding. “Sudah pukul enam, aku harus bersiap-siap,” ucap sang Adela, mengikat rambut pendek bergelombangnya agar rapi.
Berjalan menuju dapur, dia harus membuat sarapan dulu sebelum pergi ke kota. ‘Haruskah kubuatkan laki-laki itu juga?’ batin Nora lagi.
Sebuah dapur kecil dengan sebuah meja makan menempel pada dinding. Nora suka desain dapur rumah ini. Ada area khusus masak dan area makan tersendiri yang lengkap berisikan meja dinding khusus untuk dua orang, dan tak lupa sebuah jendela jendela, memperlihatkan suasana hijau desa Sukasari.
Membuka jendela untuk area memasak, Nora bergegas mengambil sebuah telur dan bacon, roti di kulkas. Semua bahan makanan sudah Ia siapkan sebelum datang kemari. Membeli setengahnya di kota untuk berjaga-jaga,
Breakfast seperti biasa, Nora tidak peduli laki-laki itu mau suka atau tidak. Dia memang tak begitu mahir dalam hal memasak, karena apa yang biasa Ia pikirkan hanya berkelahi, latihan, dan menangkap penjahat.
Jadi jangan berharap banyak dan berpkir bahwa dia wanita yang sempurna. “Oke, kita selesaikan ini dengan cepat.” Ucapnya mengambil satu teflon dan mulai beraksi.
***
Nora bisa merasakan tatapan datar Drake tertuju ke arahnya. Dalam posisi duduk berdampingan. Wanita itu tentu saja tidak tinggal diam. Ia ikut menoleh kesal.
“Apa?!” ujarnya tegas. Menatap manik abu Drake yang masih nampak datar dan seolah mengejek.
Suasana dapur yang sedikit berantakan, dan aroma gosong menguar. Drake reflek mendesah panjang, Ia menggeleng kecil. Menatap satu piring berisikan makanan yang katanya satu ceplok telor, roti dan bacon nikmat menggugah selera.
“Kau namakan ini makanan?” tanya Drake sarkas. Bergerak menyentuh makanan di depannya dengan sendok. Telur ceplok yang gosong dibagian pinggir hingga menyisakan kuningnya saja, roti gosong crispy, dan baconnya bahkan menciut karena terlalu lama digoreng.
Nora tersinggung, “Ya sudah kalau tidak mau makan! Biar aku saja yang mengambil bagianmu.” Tanpa basa-basi menarik piring Drake, tapi langsung dihentikan oleh laki-laki itu.
“Hh, kasihan kalau penculikku sampai keracunan karena makanannya sendiri.” Bergerak menyantap sarapan dari Nora.
Membiarkan wanita di sampingnya terdiam sesaat, sebelum akhirnya Nora mendengus singkat. “Sejak awal kau hanya perlu diam, tuan.” ucap Nora kesal.
Menatap sarapannya sendiri, “Walaupun gosong seperti ini, setidaknya bisa mengganjal perutku,” Sembari menyendok satu potong roti dan telur ceplok. Nora menyantap makanan itu cepat.
Merasakan pahit, asin menyatu dalam mulutnya. Untuk pertama kali, Nora memasak sendiri. Karena hampir bertahun-tahun menjadi Komandan, Nora setiap harinya selalu bergantung pada makanan kantin yang nikmat.
“Uhuk!” Wanita itu terbatuk sesaat, nyaris tersedak. Tapi berusaha menjaga agar wajahnya tetap tenang. “Hm, ini enak. Tentu saja.” ucap sang Adela yakin.
Menarik napas panjang, tanpa basa-basi Ia langsung menyantap semua sarapannya dengan gesit. Kalau masalah makanan gosong, Nora tidak takut!
‘Aku harus belajar masak nanti,’ Walau dalam hati, batin Nora hampir menangis.
Wanita itu sama sekali tidak sadar kalau Drake sudah memperhatikan setiap gerak-gerik Nora sedari awal. Melihat bagaimana ekspresi Nora yang begitu cepat berubah.
Berusaha terlihat tenang namun tersedak, bahkan hampir membiru saat menyantap makanan buatannya sendiri.
‘Kh, wanita gila,’ Drake menahan diri agar tak tertawa. Nora benar-benar aneh.
***
Pukul tujuh pagi
“Kuingatkan sekali lagi. Jangan keluar dari rumah ini sebelum aku kembali, mengerti? Kalau sampai kau keluar dan mencoba kabur, aku tidak akan segan melakukan apa yang kukatakan kemarin malam.” Menggunakan jaket jeans dan celana panjangnya.
Nora mengingatkan Drake kembali, “Semua makanan sudah ada di kulkas, ada televisi kecil di sana, aku hanya pergi sebentar.” Entah darimana Nora nekat meninggalkan laki-laki itu sendirian di sini.
Semua barang berharga sudah Ia simpan di tempat tersembunyi, “Kau tidak akan melihat satu pisau pun di sini, Tuan Aderman.” Bergerak mendekati Drake, “Karena itu kumohon berhentilah melakukan hal-hal aneh.”
Nora mencoba mengambil sesuatu di dalam tasnya. “Kunci mobilmu ada di tanganku, semua barang dan beberapa foto akan menjadi sitaan kalau kau berani macam-macam,” ujar wanita itu berani.
Melihat perubahan jelas di raut wajah Drake, “Kau mengambil satu foto di dalam sana?” tanya sang Anderman was-was.
Nora justru mengangguk polos, “Tentu saja. Semua barangmu sudah kusimpan di tempat khusus. Aku akan mengembalikannya nanti, jadi berusahalah bertahan.” Wanita itu merasa puas saat melihat ekspresi Drake.
Ada satu benda yang sanggup menahan diri Drake agar tidak melakukan hal-hal aneh. “Kau baru saja mengancamku?”
Mengalihkan pandangan ke arah jam dinding, “Aku harus bergegas, ingat kata-kataku tadi, Tuan Anderman.” tukas Nora lagi. Berbalik hendak meninggalkan Drake, sebelum membuka pintu rumah.
Drake sudah lebih dulu menarik pergelangan Nora cepat, “Aku belum mendapat jawabanmu!” Tubuh Nora berbalik lagi, menatap Drake datar.
Kedua manik abu itu seolah bisa menusuknya kapan saja, “Dimana kau sembunyikan foto milikku?” tanya Drake penuh nada menekan. Meremas pergelangan Nora.
Sakit tentu saja, Nora meringis sekilas. Namun Ia berusaha tenang, bergerak lebih gesit. Melepaskan cengkraman Drake.
“Kau akan tahu saat aku kembali nanti.” ucapnya dingin. “Sampai aku kembali. Jangan coba-coba untuk kabur atau bunuh diri lagi, Tuan.” Kali ini Nora bergerak lebih gesit, membuka pintu rumah, dan langsung menutup cepat.
Meninggalkan Drake sendiri di dalam sana. Tidak ada pintu yang terkunci. Drake tetap membeku di depan pintu. Mengingat semua ucapan Nora.
Perihal tentang foto yang wanita itu ambil. Foto ibunya.
“Ck, sialan!” Drake reflek memukul dinding keras.
***
Butuh waktu beberapa jam bagi Nora untuk sampai ke perkotaan lagi. Dia sudah mengatur sedemikian rupa agar bisa ke kota pukul sepuluh pagi. Tentu saja dengan tetap memberitahu Marry tentang kedatangannya.
Nora meminta Marry agar menunggunya di tempat mereka biasa bertemu. Sebuah café kecil kesukaan keduanya.
Setelah kemarin malam, Nora berancang-ancang nekat meminta tolong Marry dini hari. Meminta tolong perihal kartu keluarga dan buku pernikahan untuk berjaga-jaga.
Wanita itu awalnya memang marah, bahkan langsung terbangun begitu mendengar permintaan gila Nora. Tapi saat tahu tujuannya, amarah Marry surut seketika.
“Nora!” Suara panggilan familiar terdengar menggema di dalam café. Nora yang awalnya tengah membaca majalah sembari menyender pada sofa empuk langsung menengadah, senyumannya mengembang. Sosok Marry berlari mendekati wanita itu dengan pakaian tugas seperti biasa.
Sembari membawa berkas coklat, Marry langsung mengambil tempat di depan Nora. “Kau tiba-tiba menghubungiku pagi buta, kukira ada masalah apa,” Wanita itu sudah lebih dulu mendumel.
Sementara Nora terkekeh tipis, “Maaf, mengganggu tidur nyenyakmu, Marry. Tapi ini benar-benar genting,” ucap sang Adela, menempelkan kedua tangannya singkat. “Aku akan mentraktirmu makan, oke?” lanjutnya.
Marry menggeleng kecil, “Hahaha, aku hanya bercanda! Bukannya sudah kubilang, kalau kau perlu bantuanku, kapan pun itu, Marry pasti akan selalu siap!” Tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
Nora mendesah lega, “Terimakasih, Marry.”
“Oh, iya. Sebelum kau menangis terharu melihat kebaikanku, ini dia berkas permintaanmu, Nora.” Marry bergegas memberikan berkas yang Ia pegang sejak tadi pada Nora. Menatap sahabatnya yang terkekeh kecil.
Mengambil berkas itu, Nora langsung saja membukanya. “Aku benar-benar membutuhkan ini,” gumam sang Adela lega.
Sementara Marry menatap wajah sahabatnya, “Hh, kebiasaanmu tidak pernah berubah, Nora.” desah Marry, “Laki-laki itu mungkin saja berbohong kau tahu?” ucapnya lagi.
Nora mendengus tipis, “Kenapa dia harus berbohong?” Sembari melihat buku pernikahan palsu yang disiapkan Marry. “Orang kaya sepertinya datang ke desa, hanya untuk bunuh diri,”
Tentu saja Marry terkejut saat Nora memberitahukan identitas laki-laki yang Ia selamatkan. Wanita itu lebih tahu informasi dibandingkan dirinya. Mendengar nama Clayton, langsung saja membelalakkan manik Marry yang setengah tertidur kemarin.
“Kau ingin mencari kenyamanan tinggal di desa itu, tapi sekarang kau malah menyelamatkan seseorang yang berpengaruh besar di Indonesia, orang-orang terdekat Clayton pasti akan gencar mencarinya.” Mencoba memperingatkan Nora.
“Akan sangat bahaya bagimu berhubungan dengan laki-laki itu, Nora.” Lanjut Marry, menekuk wajahnya khawatir.
Melihat seperti apa sikap Nora, wanita itu tersenyum kecil setelah mengecek semua berkas yang Ia inginkan akhirnya lengkap. Sebuah buku pernikahan palsu, kartu keluarga yang cukup untuk mengelabui orang-orang desa.
Pandangan keemasan itu menatap lurus tanpa ragu, “Jika aku melarikan diri dan membiarkannya bunuh diri, mungkin seumur hidup aku tidak akan hidup dengan tenang, Marry.” balas wanita itu yakin.
“Kau tahu seperti apa sifatku yang sebenarnya ‘kan? Terimakasih karena sudah mengkhawatirkanku.”
Tidak ada gunanya lagi memberitahu, Marry terdiam sejenak. Sebelum akhirnya mendesah panjang, “Lalu bagaimana dengan Moran?” Tiba-tiba menanyakan hal tentang Moran.
Nora yang baru saja menyambet minumannya langsung tersedak. “Apa? Kenapa menyebut namanya tiba-tiba?” Sedikit gugup bertanya balik.
Marry seolah tahu, “Untung saja dia bekerja di kantor yang berbeda denganku, sejak kau pergi. Mungkin hampir seharian penuh dia tidak mampir ke sana, padahal biasanya dia selalu mampir tiga kali sehari ‘kan?” jelasnya panjang lebar.
Nora hanya diam mendengarkan, “Hm, begitu?” Menundukkan manik, sengaja bermain dengan cangkir minumannya.
Gerak-gerik yang aneh, Marry tahu itu. “Apa dia sempat melamarmu?” tanya Marry kembali.
Pertanyaan super gila, tengkuk Nora reflek terasa gatal, menggaruknya tipis pertanda gugup. “Mm, ya mungkin,” bisik wanita itu tipis.
Hanya Marry yang bisa mendengar, Ia menggeleng kecil. “Lalu kau tolak? Lamaran dari komandan super tampan seperti Moran Khiel?” Sedikit melebih-lebihkan sang komandan.
Nora mengangguk kecil, “Aku tidak ada waktu untuk mengurus pernikahan, Marry. Jadi,” Sebelum menyelesaikan perkataannya. Nora sudah lebih dulu melihat raut wajah sang sahabat.
Tertekuk dan bingung, “Kau baru saja menolak Moran yang menyukaimu bertahun-tahun dan sekarang tiba-tiba tinggal bersama seorang laki-laki yang baru saja kau kenali? Oh, astaga, Noravayne Adela.” Desahan Marry menggema, terdengar frustasi dengan sifat aneh Nora.
“Kenapa kau aneh sekali? Moran kalah oleh laki-laki yang baru kau temui beberapa jam saja. Kalau sampai dia tahu, ah- aku tidak tahu harus bagaimana,” lanjut wanita itu lelah.
Marry benar-benar sibuk dengan pemikirannya sendiri, sampai tidak menyadari seorang laki-laki ternyata mengetahui keberadaan mereka berdua.
Masuk ke dalam café, berniat menyapa keduanya. Pandangan seorang Moran yang langsung menangkap sosok Nora. Kedua manik mereka bertemu, tapi tidak dengan ucapan Marry yang bergema memenuhi seluruh isi café.
Nora terbelalak kaget, tangannya bergerak mencubit Marry. “Marry, hentikan bicaramu.” bisik wanita itu cepat, saat melihat Moran berjalan mendekati mereka.
Kenapa Nora bisa melupakan, kebiasaan Moran dan dirinya yang selalu datang ke tempat ini untuk menikmati sarapan seusai menjalani pekerjaan lembur.
“Apa sih, Nora. Aku tidak salah bicara ‘kan?” Marry masih tidak sadar, sementara Nora menengadah menatap Moran yang kini sudah berdiri di belakang sahabatnya.
Tersenyum seperti biasa, menarik perhatian semua wanita di dalam café. Apa dia mendengar perkataan Marry tadi?
“Kalian sedang membicarakan apa?” Suara berat itu langsung bertanya. Tanpa ucapan selamat pagi. Nora reflek meneguk ludahnya.
Kenapa dia seperti wanita yang sedang tertangkap basah selingkuh di belakang kekasihnya?!!