STORY 06 - Destiny
***
“Menikahlah denganku.” Kalimat Moran seolah terngiang di telinga Nora. Berulang kali terucap, sukses membuat wanita itu shock. Mengerjapkan manik sesaat.
Sebelum akhirnya mendapat kembali reflek yang Ia punya, “Komandan Moran!” Mendorong tubuh tegap itu dengan semua kekuatannya.
Napas Nora terengah, berdiri tegap menatap Moran. “Ke-kenapa kau tiba-tiba mengatakan itu?” Pasalnya selama ini Nora hanya terbiasa mendengar kata suka dari Moran. Tidak lebih!
Moran hanya diam, menatap lekat Nora dengan manik sayu tanpa ekspresi. “Apa aku tidak boleh mengatakannya?” tanya laki-laki itu balik, Nora semakin bingung. Dia tidak bisa menjawab langsung.
Haruskah Nora menolak Moran lebih tegas? Walau usia Nora sudah menginjak 26 tahun, dia sendiri sampai saat ini tidak memikirkan hal-hal berbau pernikahan. Bahkan membayangkan seseorang bisa jatuh cinta dan melamarnya seperti sekarang.
Manik keemasan itu menatap balik Moran, sedikit ragu menggigit bibir bawah sesaat. “Kau sudah tahu ‘kan jawabanku? Hal yang kupikirkan sekarang bukanlah menikah, Komandan.” jawab Nora tegas.
Moran bersikeras, seolah enggan untuk menyerah. “Aku sudah mengatakan bahwa semua permasalahanmu akan kita tanggung bersama. Aku tulus menyukaimu, Nora.” Wajah yang memelas hampir membuat sikap dingin sang Adela luluh.
Tapi tidak boleh, kedua tangan wanita itu sudah lebih dulu mengepal kuat. Menggeleng beberapa kali. Selain dia tidak bisa memikirkan pernikahan untuk saat ini. Sejak awal mereka bertemu, Nora mungkin tidak pernah mempunyai perasaan lebih pada Moran.
“Aku tidak mau melimpahkan masalah ini pada orang lain.” Berjalan mendekati Moran, tanpa menyentuh laki-laki itu. Nora tersenyum tipis. “Terimakasih atas lamaran mengejutkanmu, Komandan. Aku benar-benar menghargai itu.” Kalimat Nora terhenti sejenak.
“Tapi untuk saat ini, aku belum bisa menerima lamaranmu. Ada hal lebih penting yang harus kuselesaikan. Kau pasti tahu itu,” lanjut Nora tipis.
Sementara Moran hanya berdiri di tempat, menatap Nora dengan sendu. “Apa aku benar-benar tidak punya harapan untuk menyentuh hatimu sedikit saja?”
Nora terdiam, tanpa jawaban wanita itu tersenyum tipis. Berbalik menuju mobilnya kembali. Kali ini Moran tidak bisa menghentikan dia lagi.
Tepat saat wanita itu membuka pintu mobil. Barulah Nora bersuara, “Carilah wanita yang lebih baik dibandingkan sosok keras kepala sepertiku, Moran.” Tegas Nora kecil. Berharap Moran mengerti maksudnya.
Sayang, perasaan Moran tidaklah sedangkal itu. Sang komandan sama sekali tak ada niat untuk menyerah. Pandangan sendu Moran justru berubah menjadi tatapan yakin. “Kau masih ingat ‘kan kalau seorang Moran tidak akan bisa diberitahu satu, dua, bahkan tiga kali oleh siapapun. Jangan berpikir bahwa aku akan menyerah Nora.” Sosok itu tersenyum yakin.
Sikap yang mampu membuat sang Adela kembali tertegun. Nora mendengus tipis. “Keras kepala sekali kau, Komandan.” Tidak ada sanggahan lagi, Nora hanya terkekeh geli.
Sepertinya percuma jika dia berulang kali memperingati Moran. Laki-laki itu bahkan lebih keras kepala dibandingkan sang Adela.
“Aku pergi dulu, Komandan. Permintaanku padamu hanya satu, jika kau sempat tolong bimbing pemimpin baru pasukanku. Diantara semua pemimpin kepolisian yang lain, hanya kau yang kupercaya.” Tersenyum yakin, membuka pintu mobil.
Melihat kembali raut sendu di wajah Moran. Nora tidak boleh luluh lagi. “Maaf, Moran.” Satu kalimat terakhir, Nora bergegas masuk ke dalam mobil.
Meninggalkan laki-laki itu, keluar dari area kepolisian. Kali ini dia harus fokus pada satu hal dulu. Mencari pekerjaan lain untuk melunasi hutang sang ayah.
***
Lamaran Moran tentu saja masih melekat di pikiran Nora. Selama perjalanan sudah berapa kali Nora termenung, bahkan hampir menabrak mobil yang berhenti di depannya.
“Hh, aku tidak menyangka kalau dia benar-benar akan melamarku,” Mendesah panjang. Tidak habis pikir, bahwa Moran akan bertindak sangat nekat.
Laki-laki yang begitu keras kepala. Mencintai wanita payah seperti Nora adalah satu kesalahan besar. Moran sendiri sebenarnya tahu, bahwa sekarang Nora tidak akan ada waktu untuk memikirkan masalah percintaan.
Sampai semua masalah sang ayah selesai. Nora baru bisa bernapas lega. ‘Maaf, Moran.’ batin Nora pelan. Kedua maniknya menatap sendu ke depan. Berusaha untuk fokus.
Kali ini pun mereka tidak akan bertemu, mungkin dalam waktu yang lama. Nora harus mencari tempat yang jauh dari perkotaan. Menenangkan diri dari pengatnya kota dan pekerjaan.
Dia sudah menentukan kemana harus pergi. Satu tempat dimana Nora masih bisa memantau kondisi sang ayah. Berada tak jauh dari kota Jakarta. Desa kecil yang asri dan masih hijau, Sukasari.
Satu rumah kecil berhasil Nora kontrakan untuk dua tahun ke depan. Selagi dia mencari pekerjaan dan merilekskan diri. Nora rasa tidak ada salahnya bersantai sejenak.
***
Perusahaan Clayton – pukul 14.00 pm
“Tuan Drake.” Houven menatap sosok sang tuan selama beberapa minggu tepat setelah kematian ibunya. Sampai saat ini pun baik ayah atau ibu tiri laki-laki itu tidak memberitahu tentang kematian wanita yang melahirkan Drake.
Mereka tetap menyembunyikan fakta pada Drake, mengira bahwa Drake tidak akan tahu masalah ini selamanya.
Tubuh tegap itu berbalik menatap Houven, wajah tanpa ekspresi seolah sadar kembali dari lamunan. Drake berjalan menuju tempat duduknya,
“Ada apa?” Mengecek berkas file, dan melakukan pekerjaan seperti biasa.
Houven mungkin terdengar keterlaluan, tapi apa daya. Keselamatan sang tuan lebih penting dibanding apapun.
“Mengenai perkataan anda beberapa minggu lalu, saya tidak bisa berhenti memikirkannya.” Tentu saja Houven khawatir.
Gerakan tangan Drake terhenti, wajah itu menengadah, menatap sang asisten. “Maksudmu kalimat bunuh diriku?” Mendengus tipis.
Tubuh Houven menegang, “Tolong jangan melakukan hal berbahaya, Tuan. Saya tidak akan bisa beristirahat dengan tenang.” Menundukkan tubuh,
Walau dia hanya sekedar asisten bagi sang tuan. Houven tentu saja sudah menganggap Drake bagai putranya sendiri. Mengurus sejak kecil, hingga dewasa.
Saat keluarga sang tuan masihlah utuh, melihat seperti apa perlakuan orang-orang dewasa itu pada Drake. Menumbuhkan sindrom aneh dalam tubuh tuannya.
Drake terdiam sejenak, memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya Ia tersenyum tipis. “Tentu saja, Houven. Hidupku masihlah panjang. Tidak ada waktu bagi Drake untuk mati lebih awal.” Setengah bercanda.
Mau tak mau Houven merasa lega, Ia mendesah paham. “Baiklah. Jika anda memerlukan saya, silahkan hubungi saya kembali, Tuan Drake.” Ucap Houven ringan.
Menundukkan tubuh sesaat, berjalan meninggalkan ruang Drake. Membiarkan laki-laki itu sendiri.
Tidak ada yang tahu isi pikiran Drake yang sebenarnya. Sosok dengan kepiawaiannya dalam berakting.
“Hh, bahkan Houven pun bisa tertipu.” dengus Drake singkat. Menghentikan kegiatannya, menatap pintu kecoklatan yang kini tertutup rapat.
Drake memang sengaja tidak memberitahu tentang semua rencana Ia miliki. Keputusasaan yang begitu mendalam. Menjadikan sosok Drake begitu sensitive.
Tidak ada siapapun yang bisa menghentikan laki-laki itu lagi. “Terkadang manusia itu biasa melewati fase lelahnya berulang kali. Ini sudah yang keseratus, dan aku benar-benar lelah sekarang.”
Menarik napas panjang, figure laki-laki sempurna di depan public. Tubuh yang kuat, hati penuh dengan kehangatan, dan wibawa. Semua topeng itu berhasil Drake pertahankan sebaik mungkin.
Tanpa membiarkan siapapun menarik celah untuk melihat kelemahannya. ‘Aku harus mencari tempat yang cukup jauh dari sini,’ batin Drake singkat.
Tempat jauh, tidak ada siapapun yang bisa mengira bahwa Drake akan pergi ke sana. Sebuah desa terpencil mungkin bagus. Butuh waktu beberapa jam untuknya ke sana.
Drake harus mencari alasan yang tepat.
Kalian mungkin menganggap laki-laki ini gila dan lemah. Drake tidak peduli, kekayaan yang Ia miliki sekarang pun tak bisa membeli hidupnya lagi.
***
Mencari tempat dimana siapapun tidak mungkin melihat atau menemukannya. Dalam waktu yang cukup bagi laki-laki itu untuk kabur tanpa sepengetahuan.
Malam pukul dua dini hari, saat dingin udara pedesaan menusuk tubuh. Drake sengaja tidak menggunakan jaket tebal. Hanya bermodalkan baju kantor lengan panjang yang tipis.
Sengaja mencari desa yang memiliki jembatan cukup besar, dan sungai cukup dalam. Desa Sukasari, mungkin pilihan yang sangat tepat.
Tubuh tegap itu berdiri memegang sebuah teralis besi berwarna perak. Desa ini tergolong tempat yang sangat asri. Perumahan begitu rapi, bagaikan berada di perumahan belanda dengan bentuk rumah mereka yang unik.
Pohon hijau berjejer lengkap dengan hutan kecil, rerumputan serta pegunungan menjulang tinggi. Jika mungkin Drake masih bisa membawa sang ibu kabur ke tempat ini.
Mungkin mereka akan menikmati waktu bersama di sini. Bersantai tanpa memikirkan hal-hal buruk di perkotaan. Menjauhi segala macam kekayaan dan ketamakan kedua orangtuanya.
Andai saja-
Sekarang sudah terlambat. Wajah tampan itu tersenyum tipis. Mengingat kembali wajah sang ibu. Saat usianya masih kecil, wanita itu memeluk Drake begitu erat. Terisak mengucapkan maaf berulang kali.
Namun beberapa hari kemudian, tepat setelah ibunya pergi dari rumah. Sang ayah dengan sengaja mencuci otak Drake, mengatakan berbagai kemungkinan kenapa wanita itu pergi tanpa mengajak Drake karena alasan benci.
Menganggapnya pengganggu, pengacau yang akan menghancurkan hidup baru wanita itu di luar sana. Tidak ada lagi yang bisa Ia percayai di dunia ini. Tidak anggota kepolisian, para petinggi, kedua orangtua. Semuanya hanya memalingkan mata melihat semua penderitaan yang Drake alami.
Menjadi sosok pemimpin bak boneka selama bertahun-tahun, ancaman tanpa henti datang dengan sang ibu sebagai jaminan. Menguras semua emosi, ekspresi, bahkan melekatkan topeng yang begitu tebal di wajahnya.
Drake berusaha keras menahan sindromnya, dalam suasana gelap gulita, hanya cahaya remang saja yang menemani. Tubuh laki-laki itu hampir gemetar dan berteriak ketakutan.
‘Cepat akhiri, sebelum Houven tahu mengenai keberadaanku!’ batin Drake berulang kali. Manik abunya menatap sungai di depan sana. Suara deburan arus begitu keras terdengar.
Satu lompatan saja Ia perlukan. Setelah ini semua akan berakhir. Dia hanya perlu melompat.
Tubuh tegap itu berusaha bergerak, menaiki teralis. Menguatkan keputusan, manik yang awalnya menatap takut perlahan berubah kosong. Melemaskan tubuhnya, Drake menutup mata.
***
“Apa yang kau lakukan di sana, Tuan?!”
Satu suara yang kencang, sukses menghentikan pergerakan Drake. Suara melengking, berbaur dengan angin malam yang kencang.
Tanpa ekspresi Drake berusaha mengabaikan suara itu, mungkin itu hanya suara yang selalu mengganggu dan menghentikan dia. Untuk apa Drake peduli?
Tidak mungkin, ada orang selain Drake di sini. Tidak mungkin.
“JANGAN BERPIKIR UNTUK MELAKUKAN HAL YANG BODOH, TUAN!!”
Satu suara itu semakin membesar, kali ini berteriak kencang. Diiringi derap langkah yang cepat. Membuyarkan semua bayangan Drake mengenai bayangan halusinasinya tadi.
Itu bukan halusinasi. Manik abu Drake melihat sendiri, seorang wanita dalam kegelapan, lengkap dengan pakaian tebalnya berlari mendekat.