Suasana sepi di dalam mobil, Aland masih fokus menyetir karena jalanan ramai dan sedikit macet. Aland melirik gadis cantik yang sedang tertidur di kursi sampingnya. Dia melihat hidung gadisnya yang sangat mancung, lalu dia beralih ke bibirnya yang pink. Dia ingin mengecup bibir manis itu lagi.
Saat lampu merah, Aland mencari kesempatan untuk mengecup bibir gadisnya yang sedang tertidur. Sungguh berada di dekat Vanya membuat hormonnya bergejolak. Dia sangat menginginkan gadisnya itu, tapi lagi-lagi dia menekan keinginannya agar lebih sabar menunggu waktu yang sudah ditentukan.
Dia mengecup bibir Vanya sekilas, tapi efek yang sangat luar biasa masih bisa dia rasakan. Apalagi ditambah gadisnya yang tiba-tiba menggeliat untuk mencari posisi nyaman. Aland merapikan rambut gadisnya itu, dia ingin melihatnya lebih dekat lagi. Ia berani melakukan itu saat Vanya tidur. Karena saat gadisnya bangun, dia pasti akan mencak-mencak memaki Aland.
Tin tin tin!
Suara klakson membuatnya sadar kalau lampu hijau sudah menyala, dia langsung melajukan mobilnya. Oh, Tuhan! Vanya sungguh membuatnya lupa diri.
✧✧✧
Tak lama kemudian, mereka akhirnya sampai di kediaman tunangannya. Mau tak mau Aland harus membangunkan Vanya, karena nggak mungkin juga mereka akan terus berdiam diri sampai menunggu Vanya bangun dari tidurnya. Aland mengelus pipi Vanya, lalu menepuknya pelan.
"Bangun," ucap Aland.
"Entar, ah," balas Vanya. Wanita itu masih memejamkan matanya.
"Bangun, atau cium?" ancaman Aland membuat Vanya seketika langsung membuka matanya.
"Udah bangun, ih. m***m terus! Cium-cium terus!" kesal Vanya. Gadis itu langsung keluar dari mobil Aland dan masuk kedalam rumahnya karena ingin melanjutkan tidurnya lagi.
Aland tertawa melihat tingkah Vanya. Bahkan Vanya lupa dengan semua barang belanjaannya. Laki-laki itu segera menyusul tunangannya dengan membawa belanjaan tadi. Aland langsung masuk ke dalam kamar gadisnya. Dia tahu gadisnya masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur siangnya.
"Ini mau dibuang, atau gimana?" tanya Aland karena gadisnya masih saja acuh saat dia sudah ada di dalam kamar sana.
"Jangan!" cegah Vanya. Gadis itu langsung mengambil barang tersebut dan ditaruh di samping ranjang.
Vanya menjatuhkan badannya di ranjang kesayangannya, dan Aland ikut membaringkan badannya di sana.
"Jangan tidur juga dong, Om," Vanya melarang Aland untuk tidur di sampingnya.
"Tadi udah janji apa?" tanya Aland yang langsung menghadap ke arah tunangannya itu.
"Iya, maaf. Aku masih ngantuk tau," ucap Vanya merasa bersalah.
"Ya udah, tidur. Aku pulang ya?" pamit Aland, tapi Vanya menahannya.
"Jangan, Mama sama Papa tiba-tiba pamit ke rumah nenek. Katanya sih, nenek sakit. Abang malah bilang liburan di puncak bareng temannya," ucap Vanya. Dia tadi dikasih tahu lewat chat oleh mamanya dan sekarang dia nggak mau sendirian di rumahnya.
"Ya udah, mau ikut ke rumah?" ajak Aland. Dia juga nggak tenang kalau Vanya sendirian di rumah, makanya dia menawari gadisnya untuk sekalian menginap di rumahnya.
"Nggak mau," tolak Vanya. Dia itu sebenarnya takut sendirian di rumah, tapi gengsi aja. Makanya sok-sokan nolak kayak gitu.
"Maunya gimana?" tanya Aland. Dia bisa sabar kalau sama Vanya dan keluarganya saja. Kalau sudah di kantor dia nggak akan mentolerir segala sesuatu yang nggak disiplin dan memancing amarahnya.
"Temanin aku dulu, ya?" pinta Vanya.
"Ya udah," ucap Aland. Laki-laki itu langsung menutup matanya.
"Jangan tidur dong," Vanya lagi-lagi merengek pada tunangannya itu.
"Terus aku harus gimana, Anya?" tanya Aland geram. Dia itu gemes, campur kesel, dan pengen gigit pipi tunangannya itu.
"Kamu jangan tidur sebelum aku tidur," pinta Vanya lagi.
"Ya udah, cepet tidur. Kalau nggak, aku tinggal!" ancaman Aland membuat gadis itu menurut.
"Iya," Vanya langsung memejamkan matanya. Aland melihat gadisnya dengan seksama, dia masih seperti mimpi bisa sedekat ini dengan Vanya.
Aland lalu ikut tidur, tanpa sadar dia memeluk gadisnya dengan erat. Bahkan Vanya bukannya menolak, malah ikut mengeratkan pelukannya.
✧✧✧
Sekarang sudah pukul setengah empat sore. Vanya baru terbangun dan pertama kali yang dia lihat adalah hidung Aland yang mancung itu, pas di depan matanya. Dia merona karena tak pernah sedekat ini dengan laki-laki, bahkan mereka saat ini masih berpelukan.
"Bangun," Vanya mulai membangunkan tunangannya, tapi laki-laki di depannya itu malah semakin erat memeluknya sampai membuat jantungnya berdebar kencang karena terlalu dekat seperti ini. Dia baru sadar, terlalu dekat dengan Aland membuat kesehatan jantungnya nggak baik.
"Mas bangun ih, peluk-peluk anak orang segala." Karena gemas Vanya langsung memukul tangan Aland.
"Biarkan seperti ini sebentar lagi," pinta Aland.
"Aku pengen pipis, masa harus pipis di sini?" ucapan Vanya membuat Aland mengendurkan pelukannya, hal ini dimanfaatkan Vanya untuk ke kamar mandi.
Vanya sudah selesai mandi. Tumben banget kan dia mandi, padahal tadinya bilang mau pipis. Kalau disuruh mamanya aja, dia nggak mau. Sampai mamanya marah, dia baru melakukan apa yang diperintahkan mamanya. Padahal hanya perkara disuruh mandi saja, susah banget. Kan mamanya nggak nyuruh dia terjun ke jurang?
"Mas Aland gantengggg, aku laper!" teriak Vanya, pintar sekali kan dia mencari perhatian tunangannya itu. Hobi Vanya kalau nggak makan, ya tidur. Siklusnya selalu begitu terus tanpa putus.
"Bangun Mas! Kalau nggak, aku pergi sendiri, loh," ancam Vanya. Gadis ini tahu jika laki-laki yang sedang tidur di ranjangnya ini nggak mungkin membiarkannya keluar cari makan sendirian.
"Iya, mau kemana?" tanya Aland yang masih memejamkan matanya.
"Buka dulu matanya," suruh Vanya.
"Nih, udah," ucap Aland.
"Kamu cuci muka, trus kita ke rumah kamu, yuk?" ajak Vanya.
"Ya udah, kamu nginep di sana aja sekalian, daripada di rumah nggak ada teman," saran Aland. Daripada gadisnya sendirian malahan nggak aman, ‘kan?
"Oke, kamu buruan cuci muka. Soalnya aku mau siapin barang yang mau aku bawa," ucap Vanya dan langsung diangguki oleh Aland.
Setelah selesai bersiap, mereka langsung pergi menuju ke rumah keluarga Abelano. Vanya sangat antusias, apalagi setelah mendengar cerita dari tunangannya kalau Mama Fiona pintar masak. Kan dia pengen buru-buru numpang makan di sana.
Hubungan mereka lebih dekat sekarang, dan nggak secanggung dulu. Si Aland juga sudah nggak terlalu cuek lagi sama Vanya. Ingat ya, Aland cuek bukan berarti nggak suka. Aland cuek, itu karena dia benar-benar grogi pas lagi deket sama gadis yang dia suka.
"Kamu udah bilang sama Mamamu?"
"Udah, tadi aku izin lewat pesan."
"Mau makan apa?" sambung Aland.
"Ntar, makan di rumah tante aja," Vanya kan sudah menentukan pilihan pengen makan masakan tante Fiona. Eh, tunangannya tanya terus, mau makan di mana.
Saat di perjalanan Aland melihat penjual sate ayam. Dia langsung berhenti dan berniat untuk membeli sate itu. Vanya hanya mengikuti Aland yang sedang mengantre untuk mendapatkan pesenanya. Seperti biasa, keluarga Abelano kan suka sate ayam dan itu berlangsung sejak dulu saat Mama Fiona hamil si twins. Derdi yang tadinya anti makanan pinggir jalan pun jadi terbiasa karena Fiona ngidamnya makanan pinggir jalan. Seperti pecel lele, nasi goreng, sate ayam, dll.
Setelah mendapatkan pesanannya, mereka langsung pulang ke rumah Abelano.
"Kok belinya banyak?" tanya Vanya heran.
"Mereka semua kan suka sate ayam, kamu suka nggak?" tanya Aland penasaran.
"Aku semuanya suka, kecuali seafood. Aku alergi sama itu sih, bisa gatel-gatel soalnya," jelas Vanya.
"Oh, ya? Hati-hati aja, nggak usah makan seafood," ucap Aland memperingatkan.
Tak lama kemudian mereka sampai di rumah Aland. Mama Fiona sedang memasak di dapur dan Vanya langsung menghampirinya. Vanya menyalami tangan Fiona. Vanya itu orangnya sopan, tapi kadang juga barbar.
"Tante, Vanya nginep ya?" ijin Vanya.
"Iya sayang, memangnya Jihan kemana?" tanya Fiona.
"Mama sama Papa ke rumah nenek, Abang lagi liburan di puncak," jawab Vanya menjelaskan.
"Ya udah, Aland bawa barang Vanya ke kamar tamu," perintah Fiona, lalu menoleh ke arah Vanya, "Sana sama Aland, nanti ke sini lagi terus kita ngobrol, ya? Beresin dulu aja barangmu," ucap Fiona pada calon menantunya.
"Oke tante," ucap Vanya dan gadis itu langsung membuntuti tunangannya. Dia sendiri bingung, apalagi rumah keluarga Abelano sebesar ini.
Rumah keluarga Abelano sangat besar sekali, lebih besar dari rumahnya sendiri. Karena terlalu antusias melihat isi rumah keluarga Abelano, Vanya sampai nggak sadar menabrak punggung Aland yang keras itu.
"Aduhh!" pekik Vanya karena menabrak Aland.
"Makanya liat-liat" nasihat Aland, entah niatnya nasehatin atau marahin. Nada bicaranya judes banget soalnya.
"Rumahnya besar banget, sih," ucap Vanya mengabaikan apa yang diucapkan Aland sebelumnya, karena dia masih antusias dengan desain rumah keluarga Abelano.
"Nanti setelah menikah juga kamu tinggal di sini," ucap Aland enteng.
"Nggak di rumah Mama?" tanya Vanya memastikan lagi tentang ucapan tunangannya itu.
"Ya, weekend boleh nginep ke sana," jelas Aland.
Mereka langsung masuk ke dalam kamar tamu dan segera merapikan barangnya. Setelah selesai, gadis itu langsung menuju ke dapur untuk membantu Fiona memasak. Walau jatuhnya bukan membantu sih, tapi icip-icip doang.
"Enak banget masakannya, Tante," puji Vanya.
"Panggil Mama dong, Sayang. Kamu ‘kan calon mantu Mama," pinta Fiona,
"Iya, Ma." Vanya masih asik memakan tempe goreng yang masih hangat itu. Sebenarnya Vanya tuh nggak tahu kalau Aland sudah menyukainya dari dulu, dia mikirnya kalau Aland juga terpaksa dengan perjodohan ini. Padahal Aland sendiri yang minta dijodohin. Dasar licik!
bersambung