Aiyra POV
Sumpah ya adik judesku ini mau membiarkan kakaknya menunggu sampai jam berapa? Harus ya aku nunggu selama 30 menit? Hiks. Aku kan sudah lelah akibat tugas kuliah. Meneliti satu persatu biota laut itu melelahkan sumpah. Coba aja ada Om Wahyu. Gak perlu aku nungguin Si Judes menjemput. Sayangnya Om Wahyu harus pulang ke kampung halaman selama seminggu karena ibunya sakit. Jadinya, aku harus menahan diri menghadapi kejudesan dan kekakuan adikku.
Kemana pula anak satu nih? Katanya pulang sekolah jam 2. Katanya sudah mau on the way jam setengah 3 tadi. Kok sampai jam setengah 4 aku tak kunjung dijemput? Jangan-jangan nih anak sengaja ya ngerjain aku? Atau dia masih nyantol di toko kembang buat nyari bunga dandelion. Ya, gegara film korea “Goblin”, dia jadi terobsesi gitulah sama bunga dandelion. Tumbenan, seorang Amirra gitu? Mungkin dia mulai puber kali. Sampai kelas 3 SMA belum puber juga. Kemana aja kamu, Dek?
Saat aku sedang berproses menjadi seorang lumut hidup, ada yang memecah kebuntuanku. Aku menoleh karena namaku terpanggil. Kulihat siapa pemilik suara yang memanggilku. Sepertinya aku tak asing. What? Dia? Ya iyalah aku tak asing dengan pemilik suara itu. Dia kan Khanza Aulia Rehanindy, kakak sepupuku. Sepupu paling gak jelas, tukang plagiat, dan peniru ulung tapi gak pernah ngaku. Dia layaknya Aiyra supercopy gitulah.
“Hai Aiyra!” sapanya sok ceria sambil memamerkan tas kotak kecil Dyor berwarna putih. Serupa dengan milikku sekarang, tetapi punyaku warna merah.
“Kak Nindy? Ngapain di kampusku?” tanyaku cuek. Dia duduk di sebelahku dan mulai memamerkan Iphone 6s warna putih emas, sama denganku lagi. Hempt!
“Aku kan kuliah di sini mulai pagi tadi. Aku mau nemeni adikku, Ibra, yang mau UN bentar lagi. selain itu, Ibra jadi kuliah di Malang aja. Kedokteran Unibraw,” jelasnya merasa tak bersalah.
Apa? Pindah kuliah dari Unair ke Unibraw hanya demi adiknya? Serius? Gak ada alasan yang lebih masuk akal dikit gitu? Sumpah ya sepupuku yang sok cantik ini memang annoying sekaleee! Gak cuma sekali ini dia selalu ngikut gaya dan hidupku. Sejak SMP dia selalu mengajakku bersaing. Potongan rambutku apa, dia juga apa. Warna kesukaaanku biru, dia biru juga. Aku ranking 1, dia juga mengaku ranking 1. Padahal dia ranking 10. Aku suka musik manca, dia juga suka. Kayak gak punya kreativitas sendiri gitulah.
Kadang aku berpikir Kak Khanza ini krisis identitas atau apaan sih? Sampai dia gak punya identitas dan ciri khas sendiri. Dia selalu ngikut gaya dan penampilanku. Dia selalu membandingkan hidupku dan hidupnya. Dia juga selalu mau apa yang kumau. Pasti semua gegara mama yang dulu pernah menyusui kami bebarengan. Jadi genku sedikit campur sama dia gitu. Ah, entahlah. Yang jelas Kak Khanza masuk dalam salah satu daftar hitamku. Saudara paling menyebalkan dan mengesalkan. Beda banget sama adiknya, Ibra dan Adam.
“Oh gitu. Rempong amat ya? Demi adik sampai pindah kuliah segala. Kak Khanza gak lagi ngikut hidupku kan?” sindirku halus. Dia tertawa tanpa bersalah.
“Ngapain ikut kamu? Kamu GR ajalah sama aku, Aiy. Emangnya tas yang kamu pakai itu cuma kamu aja yang boleh makai? Aku gak boleh makai? Emangnya yang suka sama jurusan kelautan cuma kamu aja? Aku gak boleh gitu?” ye, aku ngomong apa, dia ngomong apa. Gak nyambung!
“O ya udah deh kalau gak ikut-ikut aku. Tapi kok bisa ya, dari ujung rambut sampai ujung kaki samaan sama aku,” ya, menatap Kak Khanza bagai melihat diriku sendiri di depan cermin.
“Perasaan kamu aja kali!” ucapnya santai sambil membenarkan pashmina instan yang modelnya sama denganku. Pengen kujambak saja mbak satu ini. Hiiiii!
“Bukan perasaan doang, Mbak Khanza! Udah sejak lama aku lihat gayamu yang serupa sama aku! Berhentilah melongok hidup orang lain! Gak capek ya jadi plagiat terus! Nyadar kenapa sih? Temukan gaya sendiri!” olokku jengkel. Mood-ku tambah acak-acakan sejak kedatangannya 5 menit yang lalu.
“Aiy kok gitu? Aku gak niru kamu kok. Kalau kita punya gaya yang sama emangnya salah?” tanyanya polos sok tak berdosa. Membuatku ingin makan daging gajah sekarang juga! Pakai manggil aku kayak ke pacarnya lagi!
“Dih, udahlah terserah! Pusing!” keluhku sambil melongok layar ponsel yang bergetar. Yes, Amirra akhirnya meneleponku.
“Halo Dek, kamu dimana sih? Kakak tuh sampai jamuran nunggu kamu nih. Lama banget sih!” keluhku super manja dan kesal. Pengen ngemut adikku sekarang juga.
Tetapi jawaban Amirra dari seberang membuatku lemas seketika. Dia berkata sedang kena tilang. Aku disuruh datang secepatnya ke depan Polres Malang sekarang juga. Sesaat kulongok isi tasku, dan benar ada dompet polos Amirra di sana. Hiks. Aku melakukan sebuah kesalahan. Siap-siap ditelan kejudesan adikku sebentar lagi. Hiks. Naik apaan ke sana? Taksi? Angkot? Apaan dong? Ih, andai aku punya pacar yang bisa kusuruh mengantar. Apa daya diriku jomblo sejak sebulan yang lalu.
“Iya, Kakak kesana sekarang, Dek,” ucapku lesu sambil mendengarkan nada telepon terputus.
Amirra mematikan telepon tanpa mengucap salam. Dia pasti sedang mendidih sekarang. Bisa kurasakan hawa panas dari sini. Aura kejudesan adikku memang sempurna. Ckck. Aku saja sampai keder dimarahi oleh anak itu. mau dikata apa kalau aku memang tak setanggap dia. Aku ceroboh dan berantakan tak serapi Amirra. Hii, kenapa sih jiwa kami tertukar?
Sejenak kurasakan debar jantungku lebih cepat dari biasanya. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena takut pada amukan Ara. Secara Amirra bisa jadi kloningan papa ketika marah. Hiks. Siap-siap menghadapi taring Amirra dan papa. Ya Allah, semoga mama tidak ikutan marah. Pastilah. Mamaku kan seperti bidadari. Tak pernah memarahiku dan selalu memberikan kata-kata lembut sepanjang hayat. Mendadak kangen mama.
---
Aku sampai di tempat yang dimaksud Amirra. Di sana sudah ada mama dan papa yang wajahnya super khawatir. Mama terlihat tak banyak bicara sambil menatapku penuh sesal. Ya aku tahu, akulah biang kerok semua ini. Belum lagi taring adikku yang sudah terpampang ganas. Hiks. Benar saja, setelah aku menyodorkan dompetnya, dia merampas benda itu dengan kasar. Dia melangkah kaku ke arah seorang polisi muda yang…ganteng.
Sumpah, lelaki di depanku ini bukan sembarang polisi kali ya? Ganteng banget siiih. Lucuuuu banget. Wajahnya lonjong, pipinya tirus, hidungnya mancung, bibirnya tipis, rambutnya dipotong jabrik dan ditutupi topi polisi putih, serta aroma tubuhnya yang wangi segar seperti aroma lautan. Kurasakan ada desir aneh dan hangat di batinku. Serasa aku jatuh cinta di pandangan pertama.
“Ini Pak surat mobil, SIM, dan KTP saya. Kartu pelajar, BPJS, asuransi juga ada. Ini kakak saya yang salah bawa dompet,” omel Amirra sambil menyodorkanku pada polisi tinggi itu.
Mata tajam dengan bulu mata lentik itu terlihat mengamati satu persatu surat yang disodorkan Amirra padanya. Sementara aku hanya asyik menciumi aroma parfum segar itu. gak tahu wajahku seperti apa sekarang. Mungkin aku melongo. Bodoh amatlah. Aku terlanjur terpesona dadakan padanya. Ibarat tahu bulat, digoreng dadakan. Perasaanku masih panas. Aku gak peduli walau harus menghadapi taring Ara sebentar lagi. Sekarang puas-puaskan dulu ngamatin polteng, polisi ganteng.
“Baik Dek, suratnya sudah lengkap. Tapi Adek tetap ditilang ya? Karena sudah memilih slip biru maka dari itu silahkan membayar denda di BRI yang sudah kami tentukan. Silahkan bawa bukti p********n ke petugas kami atau saya juga tak apa-apa. Setelah urusan dinyatakan selesai di pengadilan, surat kendaraan dan SIM akan saya kembalikan,” jelas pak polisi ganteng itu. Aduhai suaranya sungguh membius kesadaranku. Tegas, serak, berat, dan menggoda.
“Pakai sidang di pengadilan juga, Pak?” protes Ara tak suka. Dih, anak cantik ini mengganggu proses terpesonaku saja.
“Tentu tapi tidak lama kok. Hanya mengambil nomor antrean dan mengikuti alur,” jelas bapak itu enteng yang membuat adikku, Amirra, makin tak suka.
“Ya terserah deh!” putusnya kesal sambil meninggalkan polisi itu. Meninggalkanku juga yang masih terpaku menatap wajah gantengnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” pertanyaannya memecah lamunanku.
“Eh, tidak Pak. Mungkin saya bisa minta nomornya atau kontak yang bisa dihubungi untuk mengambil suratnya kembali,” untung aku tak lemot kali ini. Tetiba ide itu muncul dari belahan otakku yang lain.
“Oh iya, ini nomor saya,” ujarnya yang kusambut dengan memunculkan ponselku langsung. Wajib harus dicatat!
“082143343341 atas nama Ipda Arganathan Lionel Aditya,” ucapnya dengan suara yang membiusku. Sumpah ya dia manusia bukan sih?
“Te…terima kasih, Mas,” desahku terbata begitu saja. Saking terpesonanya aku jadi seperti orang bodoh.
“Ya? Mas?” tegasnya seperti tak percaya. Aku hanya mengangguk tanpa ekspresi.
---
“Pokoknya mulai sekarang Ara gak mau jemput Kak Aiyra lagi,” ceplos Amirra kapok sambil manyun tak jelas. Kami sudah ada di perjalanan pulang dari BRI yang sudah tutup. Ya iyalah secara hari sudah sore. Terpaksa urusan p********n ditunda besok pagi.
“Sabar Dek Ara. Namanya juga musibah,” tenang mama yang tak kutanggapi. Aku masih asyik membayangkan pertemuanku barusan dengan Pak Nathan. Aku yakin cowok seganteng dia itu bukan manusia, tapi bidadara.
“Kalau habis ini aku Dyomeli papa, Kak Aiyra yang harus tanggung jawab!” ujarnya lagi dengan emosi. Dia mengomel sepanjang jalan dan sesekali meremas tangannya kesal. Sementara itu, kemudi beralih ke mama. SIM Ara kan sedang ditahan.
“Kakak!” teriaknya tepat di depan wajahku. Aku terkaget-kaget.
“Ya Mas Nathan?” jawabku penuh kebodohan.
“Hah? Jangan bilang kalau Kakak lagi bayangin polisi tadi dan gak dengerin aku?” protesnya judes. Aku meringis seperti gadis polos.
“Maaf deh, Dek. Maaf banget!” ucapku penuh ketulusan. Dia melirik sinis dan kembali bersikap cuek bebek.
Ya sudahlah. Biarlah si judes marah dan menunjukkan taringnya. Aku tak mau mengusir bunga-bunga yang baru kuncup akan mekar. Ya, aku merasa jatuh cinta lagi beberapa menit yang lalu. Pada seorang polisi muda yang aku tak tahu masih lajang atau tidak. Entah kenapa aku merasa ‘klik’ saja ketika melihat dan mendengar suara bidadara itu. berasa ada degupan aneh dan debar keras di dalam dadaku. Apa aku jatuh cinta? Atau aku sekedar kagum? Aneh juga jatuh cinta pada pandang pertama pada orang yang belum jelas statusnya apa.
***