Amirra POV
Aku menatap langit-langit kamar yang bergambar bintang-bintang. Tak begitu kelihatan karena sinar matahari siang masuk ke kamarku yang selalu rapi. Di siang yang terik sepulang sekolah di pukul 2, aku merebahkan tubuh lelahku di kasur sambil menikmati alunan lagu milik Adele “Make You Feel My Love”. Sebuah lagu manca rekomendasi Arvan yang katanya aku banget. Hah? Jadi maksudnya aku disuruh merasakan cintanya gitu? Merasakan jatuh cinta saja aku tak pernah.
Tetapi, lagu itu cukup mellow diputar di siang yang terik seperti ini. Inti lagu memang bagus sih. Seseorang yang selalu memberikan cinta pada orang lain walau cinta itu tak pernah ditanggapi dan dibalas. Apalagi lirik yang ini ‘I’d go hungry, I’d go black and blue’, ‘I’d go crawling down the avenue’, ‘No, there’s nothing that I would’n do’, dan ‘To make you feel my love’. Artinya, aku rela menahan lapar, aku rela kesakitan, aku rela merayap di jalan, semua rela kulakukan, agar kau merasakan cintaku. Mendadak aku merasa perasaan. Apa benar dia menyukaiku?
“Aku punya saudara rahasia,” kata Arvan lesu, tadi setelah bel pulang sekolah berdenting.
“Hah? Maksudnya papamu nikah lagi gitu?” ceplosku yang membuatnya cemberut.
“Dih, Ara. Mungkin maksudnya Arvan bukan anak papa dan mamanya,” timpal Iben yang membuat Arvan makin cemberut. Dia merangkul kami tetapi langsung kulepas. Gak suka disentuh cowok lain selain papa!
“Gini ya Sohibku yang agak oon, aku punya rahasia kelahiran yang baru kutahu sekarang. Hal itu pula yang bikin rumahku geger kemarin. Papa jujur semuanya dan mama marah tak karuan. Kalian tahu kan betapa seremnya mamaku,” ucap Arvan setengah berbisik. Hatiku makin deg-degan. Apaan sih maksudnya?
“Aku punya kakak rahasia. Dia adalah anak papaku dengan pernikahan sebelumnya. Ternyata papaku bukan lajang ketika menikahi mama. Papa udah pernah nikah tetapi istrinya meninggal ketika melahirkan. Itulah yang membuat papa gak kunjung menikah lagi. Akhirnya, papanya Ara jodohin papa dengan mamaku. Lahirlah aku,” jelas Arvan yang membuatku melongo. Ya, rahasia besar itu tentu saja bak letusan bom Hiroshima.
“Terus kakakmu itu selama ini dimana?” tanya Ibra pelan. Arvan menghela napasnya.
“Dirawat saudara papa di Magelang. Ya demi nama baik papa dia disembunyikan. Papa udah menyesal karena melakukan tindakan konyol itu. Sampai sekarang suasana rumahku tak baik. Mamaku marah karena merasa ditipu selama ini. Aku apalagi, jadi sasaran kemarahan mama. Sekarang mamaku pulang ke Malang nih, demi menenangkan diri,” ujar Arvan lesu.
“Sabar ya Van. hal sebesar itu pasti mengejutkan semua pihak kan. Apalagi mamamu,” hiburku sambil menepuk pundaknya.
“Makasih ya Ara. Kuharap kamu bisa bantu aku hibur mama. Kali aja kalau kita jalan bertiga, mamaku bisa agak terhibur.”
Harapan Arvan tadi membuatku terhenyak seketika. Yakin akan mempertemukan aku dan Tante Aruni dalam satu bingkai? Bakalan jadi apaan ntar? Tahu kan kalau Tante Aruni itu kaku dan galak. Lantas aku juga kaku dan judes. Yakin kami bisa teman jalan yang baik? Bukannya malah bikin Arvan stres ya karena jadi kambing congek? Errr, that’s not a good idea.
“Ngomong-ngomong kakakmu itu cewek atau cowok?” tanya Ibra yang mengandung sedikit modus. Dasar aneh!
“Modus amat sih kamu, Bra!” celetukku kesal. Ibra nyengir ala kuda poni.
“Cowok! Umurnya 24. Aku belum pernah ketemu langsung sih, tapi udah lihat di i********:-nya. Dia masih tugas di luar Jawa sekarang. Lumayan cakeplah kayak papa. Ada lesung pipinya. Kapan-kapan aku kasih tahu wajahnya deh. Moga dia gak ambil kasih sayang papa dan mamaku,” ucap Arvan sedikit sedih. Iya sih, aku tahu perasaan Arvan. 18 tahun dia jadi satu-satunya tumpuan kasih sayang orang tua sebagai anak tunggal. Sekarang dia harus bersiap membagi kasih dengan kakak tirinya itu.
“Tugas? Emang dia tentara?” tanya Ibra pelan. Arvan mengangguk lesu.
“Be strong, Van!” ucapku dan Ibra hampir bersamaan. Arvan hanya tersenyum kecut.
“Hai dunia! Hari ini Senin, 8 Januari 2017, belum dapat ide apa-apa buat tugas akhirku. Kata Arvan disuruh bikin cerita tentang degupan cinta pertama. Yakinkah itu ide bagus?” gumamku sambil menatap kamera ponsel. Membuyarkan lamunanku tentang cerita Arvan tadi.
“Amirra, lagi apa Sayangku?” pecah mama lembut sambil duduk di tepi kasur.
Mama mencium keningku lembut. Aku merindukan mama karena kemarin sore baru pulang dari tugas dunia Persitnya. Kedatangan mama dan papa kemarin lusa ke rumah menciptakan kehebohan karena Kak Aiyra terlambat pulang dari mall. Harusnya jam 5 sudah di rumah, jam setengah 7 aku baru sampai rumah. Tak hanya Kak Aiyra yang diomeli, tetapi aku juga ikut kena semprot papa. Aku dianggap tak bisa tegas pada Kak Aiyra. Resiko punya kakak gak dewasa ya gini. Harusnya dijagain malah disuruh jagain.
“Lagi bingung Ma, harus bikin tugas apa buat TA Bindo. Kan disuruh bikin buku harian digital pakai video HP atau handycam. Oh iya, mama udah tahu belum tentang rahasia besar keluarga Om Ivander?” curahku. Raut wajah mama berubah.
“Rahasia apa? Amirra yakin mau cerita? Ya sudah rekam saja kegiatan sehari-harimu. Itu kan mudah sekali, Nak.” Kutimbang sebentar dan akhirnya kuputuskan untuk tidak membocorkan rahasia keluarga Om Ivan. Harus bisa jaga rahasia dong!
“Em, gak jadi deh Ma. Ngomong-ngomong, Ara gak terbiasa bikin curhatan model gitu. Harus pakai tema yang menginspirasi dan ngena di hatilah apalah. Arvan bilang Ara disuruh curhat mengenai cinta pertama. Cinta apaan? Ara aja gak pernah ngrasain apa yang namanya cinta,” curahku panjang lebar. Dengan mama aku tak perlu hemat omong. Sebab mama paling tahu kalau aku itu sebenarnya manja dan belum dewasa sepenuhnya.
“Masak anak cantik mama ini gak pernah ngarasain cinta? Dek Ara gak pernah merasakan degup-degup aneh gitu kalau lihat cowok?” tanya mama lekat sambil membelai rambut panjangku.
“Pernah sih kalau lihat papa. Deg-degan takut,” ucapku polos. Mama terbahak ceria.
“Ya kalau sama papa sih Kak Aiyra juga pernah merasakan. Papa kan cinta pertama anak perempuannya, Dek Ara,” aku mesem mendengar penuturan mama.
“Emang rasanya cinta itu gimana sih, Ma?” tanyaku polos. Ilmu cinta gak perlu jadi pelajaran formal aja tuh?
“Perasaan aneh, hangat di d**a, jantung jadi berdetak lebih cepat dari biasa bahkan hingga terdengar suaranya, waktu terasa melambat, dan kamu terpaku pada satu titik,” mama menjelaskan itu sambil menatap lurus dan tersenyum.
“Hee, gitu ya Ma? Kok aneh ya?” komentarku.
“Ya sudahlah nanti kamu juga merasakannya. Hem, waktunya jemput Kak Aiyra kan dari kampusnya? Tadi nelepon mama katanya jam setengah 3 udah selesai kuliah,” pesan mama yang membuatku ingat dengan suara manja Kak Aiyra.
“Duh, bisa gak sih Kak Aiyra tuh suruh naik taksi aja! Udah besar gitu,” komenku sinis. Mama tersenyum dan membelai rambutku.
“Kamu tahu kan kalau papa suruh kalian saling menjaga? Ya udah Dek Ara gak usah ganti baju. Udah nanggung. Pakai seragam sekolah aja! Dipakai jilbabnya!” suruh mama cepat-cepat karena melihat jam menunjukkan pukul setengah 3 lewat 10 menit. Alah bodoh amat!
---
Aku mengendarai Yaris kuning hadiah ulang tahunku dan Kak Aiyra dengan kecepatan sedang. Kami memang memiliki ulang tahun yang tak berjauhan. Aku 9 September dan Kak Aiyra 30 September. Tak usah terlalu terburu karena aku ingin Kak Aiyra bisa belajar sabar. Mau sampai kapan dia dimanjakan dan bergantung sama orang lain. Gak selamanya kan aku, papa, dan mama ada di dekatnya. Pasti sekarang dia sedang manyun tak jelas secara ponselku terus bergetar sedari tadi. Kasihan deh Kakak!
Kuputar lagu milik Zedd berjudul “Beautifull Now”. Lagu berirama beat dan memicu semangatku. Kalau papa tahu isi playlist musik beat dan manca di mobil ini, sudah kupastikan kalau aku bakal Dyomeli sepanjang jalan. Secara papa sukanya kami mendengarkan lagu militer atau lagu nasional atau ayat suci Qur’an. Ya aku menaati itu sih. Tapi kan gak setiap naik mobil melulu lagunya itu terus. Dengerin lagu manca boleh saja kan? Sekalian belajar grammar English.
Mobilku sampai di Jalan Jaksa Agung Suprapto depan Rumah Sakit Saiful Anwar masih dengan kecepatan sedang. Aku malas ngebut hanya gegara Kak Aiyra. Selain itu, lalu lintas juga agak ramai. Namun, aku merasa aneh dengan lalu lintas di depan. Kenapa tetiba motor dan beberapa mobil berhenti sih. Mereka memilih untuk meminggirkan kendaraannya di pinggir jalan. Ada apa ya?
Mulai paham. Ternyata ada razia kendaraan bermotor di depan kantor Polres Malang. Lantas kenapa mereka malah menghindari itu? Pasti karena surat kendaraan mereka tak lengkap. Dasar! Berani bawa kendaraan tapi gak berani bikin SIM. Aku? Gak mungkinlah aku kayak gitu. Santai ajalah, toh di kursi sebelah sudah tergeletak tas berisi dompet dan identitas lengkapku. Ngapain takut kalau benar. Akhirnya, dengan santai kupinggirkan mobilku di pinggir jalan ketika seorang bapak polisi menghentikan mobilku. Aku membuka kaca mobil dan menatap petugas yang masih muda itu.
“Selamat siang, Dek. Saya Ipda Arganathan Lionel Aditya, Kanitlaka Satlantas Polres Malang. Kami sedang mengadakan razia rutin pada kendaraan bermotor. Bisa saya periksa surat kendaraan dan identitasnya?” jelas pak polisi muda itu sambil memberikan hormat.
Deg-deg, jantungku berdetak agak keras 2 kali ketika mendengar suara berwibawa bapak polisi itu. Seketika keringat dinginku menitik. Bukan karena aku takut pada razia, tetapi karena suara pak polisi berompi kuning menyala ini terasa mendayu. Stop! Jangan delu! Kembali ke bumi sekarang juga dan mulai kelabakan mencari dompetku. Tunggu, bapak ini memanggilku ‘dek’? Sejak kapan aku jadi adiknya dia? Oh, mungkin karena aku masih memakai seragam sekolah.
“Oh iya, tunggu sebentar, Pak,” ucapku bergetar. Kenapa sih aku ini? Berasa aneh deh!
Kuambil tas kecil dan mulai mencari dompet di dalamnya. Kuambil sebuah dompet kotak yang tidak terlalu besar. Kubuka dengan cepat dan mendapati sebuah kenyataan aneh. Ini kan bukan dompetku. Sejak kapan dompetku jadi berwarna pink menyala dan dihiasi pita-pita? Bukannya dompetku warna pink pastel dan polos. Loh, ini kan dompet Kak Aiyra? Kenapa bisa di dalam tas kecilku? Sejak kapan dia ngendon di sini? Alamat jelek nih!
“Ada masalah, Dek?” tanya pak polisi itu lagi. Aku menoleh kecut dan tersenyum getir.
“Eh, ini. Saya…” aku terbata seperti maling tertangkap. Pak polisi berwajah putih dan hidung mancung itu menyuruhku keluar dari mobil. Aku menurut.
“Ini Pak, dompetnya,” desahku pasrah. Jantungku makin berhentak dan keringat dingin sudah mulai membanjiri. Apalagi setelah ada seorang polwan wangi mendekatiku dan pak polisi tinggi itu.
“Ada apa Pak Nathan?” tanya polwan itu tegas. Makin ciut nyaliku. Kak Aiyra! Aargggghhtt!
“Ini benar identitas Adek? Nama di seragam sekolah dan KTP ini berbeda. Namamu Aiyra atau Amirra?” tanya Pak Nathan galak. Wajah judesku harus menyusut sedikit nih.
“Nama saya Amirra. Siswi SMAN 4 Malang. Dompet ini milik kakak saya. Sepertinya tertukar, Pak,” jelasku mencoba kuat.
“Yakin? Jangan-jangan Adek ini belum punya SIM dan KTP ya?” telisik pak Nathan tak percaya.
“Enggak beneran udah punya kok, Pak!” tolakku keras-keras hingga membuat pengendara dan polisi lain menoleh dan memandangiku.
“Kalau udah punya mana sekarang?” tanya bu polwan yang wajahnya judes seperti aku.
“Saya kan udah bilang kalau dompet saya tertukar sama yang kakak!” jelasku judes.
“Adek tahu kan kalau anak di bawah umur mengendarai kendaraan itu bisa membahayakan orang lain. Sebab dibutuhkan kedewasaan ketika membawa mobil ataupun motor. Tidak bisa asal bawa kendaraan. Rumahnya mana?” Pak Nathan mulai menasehatiku. Duh, gimana ya cara membuktikannya.
“Iya Pak. Rumah saya di dekatnya Balai Kota,” ucapku pelan sambil menunduk. Ya sih, aku salah. Salah deh.
“Gak jauh dari sini. Mau kemana?” tanya pak polisi itu tadi. Nyesal sempat terpesona akut.
“Jemput kakak di Unibraw,” jawabku pelan.
“Adek saya tilang ya? Mau pilih slip merah atau slip biru? Slip merah artinya adek menolak mengakui kesalahan dan bersedia ikut sidang di pengadilan. Slip biru artinya adek mengakui kesalahan dan membayar uang denda,” jelas pak Nathan lebih lunak. Ya mungkin karena melihat wajah melasku. Iyalah siapa yang gak kaget baru kena tilang pertama kali. Tunggu, aku ada ide.
“Kalau ada penjamin saya gimana, Pak? Papa saya di Rindam loh,” duh, apa benar ya omonganku barusan?
Wajah Pak Nathan sedikit aneh, “Adek mau coba-coba suap petugas ya?”
Tuh kan aku bilang juga apa. Ngapain sih aku punya ide kayak gitu? Sembarangan saja bawa-bawa nama papa. Bisa jadi papa malah gak suka aku berbuat seperti itu. Iyalah, aku sembarangan bawa institusi militer buat nutupin kesalahanku. Bukannya selamat malah habis Dyomeli papa. Ini semua gegara Kak Aiyra! Sembrononya! Cerobohnya! Arrgg! Sumprit aku marah besar sekarang.
“Ya tidak sih, Pak. Saya beneran udah punya SIM dan KTP kok. Saya udah umur 17 hampir 18 tahun. Saya punya SIM dan KTP. Gak bisa ya ditunggu sebentar?” elakku masih sedikit ngeyel. Pak Nathan terlihat menghela napas.
“Adek mau menghalangi-halangi petugas ya?” lah, kok malah gitu? Ckckc. Nih bapak satu ya…
“Ya tidak. Saya cuma gak mau mobil saya ditahan. Bapak bisa tunggu sebentar? Bentar lagi mama dan papa serta kakak saya ke sini,” aku masih berupaya untuk menghindari tilang.
“Kalau begitu Adek memilih slip merah yang berarti tidak bersalah dan bersedia ikut sidang di pengadilan? Bahkan, adek bisa naik banding,” putus Pak Nathan yang membuatku tercenung sebentar.
Kok makin runyam sih? Kalau aku memilih menyatakan tidak bersalah aku harus ikut sidang di pengadilan untuk membuktikannya. Lagian kalau dirunut aku yang salah sih. Secara aku sudah membawa mobil tanpa identitas. Kalau nanti aku duduk di kursi pengadilan, nama papa pasti jadi buruk. Apa mau dikata anaknya Danrindam duduk di kursi pesakitan akibat tidak mau ditilang! Gak bagus juga. Ya sudahlah, tampaknya tak ada jalan untukku lagi. Menyerah sajakah?
“Ya udah saya pilih slip biru deh!” ucapku pasrah. Pak Nathan mengangguk-angguk. Dia sedikit berdiskusi dengan polwan wangi dan cantik yang kurasa wajahnya agak mirip itu.
“Baik kalau begitu, kendaraan ini akan kami tahan sampai suratnya ada. Selain itu, Adek harus membayar denda di BRI yang sudah kami tentukan. Semakin cepat Adek menyelesaikan administrasi, masalah juga akan cepat selesai,” jelas Pak Nathan tegas lagi.
“Terima kasih, Pak,” ujarku sambil melangkah gontai ke trotoar di pinggir jalan.
Aku menyerahkan kunci mobil ke pak polisi beraroma parfum maskulin itu. membiarkan mobil kuning itu diamankan mereka. Aku menatap lesu layar ponsel setelah melapor kepada mama dan bingung harus apa. Ya, aku harus menelepon biang kerok alias tersangka utama penyebab aku tertilang ini. Siapa lagi kalau bukan Kak Aiyra Sybilla, cewek manja dan ceroboh.
“Halo Dek, kamu dimana sih? Kakak tuh sampai jamuran nunggu kamu nih. Lama banget sih!” keluhan yang membuatku ingin makan peluru.
“Halo halo, Kakak tuh yang kesini sekarang! Bawa dompetku yang di dalam tas Kakak! Bawa ke depan Polres!” balasku super sinis dan judes.
“Emangnya ngapain kamu ke situ? Gak mau pokoknya Ara ke sini sekarang!” Ya Salaam masih ngajak debat lagi.
“Aku ditilang, Kak. Mobil ditahan. Gegara aku gak bawa SIM dan KTP! STNK juga di dompetku. Dan dompetku tertukar sama dompet anehmu!” jelasku sambil menggertakkan gigi geligiku.
“Apa…” jawabnya lemas di seberang. Time is over, Kakak! Bisa gak sih pindah tempat ke sini, right now!!!
Hatiku berdegup kencang saat melihat pak polisi berwajah ganteng dan beraroma wangi itu. Kukira karena jatuh cinta, ternyata karena aku sedang kena tilang. Dih, jadi degupan cinta itu mirip kayak degupan tadi? Sumpah ya baru kali ini kurasakan waktu melambat, aku terpaku pada satu titik tanpa bisa beranjak. Aku juga bisa mendengar dengan jelas suara degup jantungku. Apa aku jatuh cinta? Enggak woy, aku jatuh sial kena tilang gegara Kak Aiyra!
***