Rambut Siapa Ini, Nira?

1023 Words
"Mas? Kamu sudah pulang?" tanya Nira kaget saat melihatku berdiri di depan pintu. Mungkin tak menyangka bila aku telah menunggunya di sana. Wajahnya tampak terkejut. Tapi sesaat kemudian kembali menjadi tenang. Nira memang tidak banyak bicara dan itu membuatnya terlihat misterius. "Iya. Kamu dari mana? Ngapain bawa cangkul segala?" tanyaku penuh selidik, memandang benda keras dan tajam dalam genggamannya itu dengan hati bertanya-tanya. Ganjil saja rasanya melihat istriku itu tengah malam begini masih sibuk di kebun belakang dengan cangkul di tangan. Apa tidak bisa menunggu hingga besok pagi saja? Bukannya kebun belakang ini gelap dan biasanya perempuan takut tempat gelap seperti ini? Sendirian lagi? "Ngambil laos, Mas. Buat tambahan bumbu," sahutnya singkat sembari meletakkan cangkul itu ke tempatnya semula. Dekat kotak sampah dari drum bekas. Sehari-hari alat itu memang tergeletak di sana. "Malam-malam begini? Terus laos-nya mana?" kejarku lagi sembari memicingkan mata. Tak kulihat barang seujung jari pun laos di tangan istriku itu. Apa aku masih harus percaya padanya? "Hmm ... isinya sudah tak ada lagi ternyata, Mas. Jadi besok pagi, aku ke rumah Bik Minah saja untuk membelinya." Ia menyahut singkat, kemudian masuk dan membersihkan tangannya di pancuran air bersih. Aku pun diam sembari memperhatikan penampilan Nira yang sepertinya berbeda dari biasanya. Ada sapuan bedak dan lipstik yang dipoles tipis di wajahnya. Rambutnya yang biasanya hanya ditali karet pun kali ini dibiarkan tergerai dan tampaknya habis dipotong serta dirapikan. Ia juga mengenakan daster tipis yang terlihat masih baru dengan bagian kerah yang rendah hingga memperlihatkan bagian lehernya yang putih bersih. Ah, tumben Nira berdandan? Untuk siapa? Aku? Sudah lama aku tak melihatnya berdandan, tentu saja heran melihatnya tampil begini. Biasanya sehari-hari, ia hanya mengenakan pakaian seadanya saja. Kaos yang kerahnya sudah melar dan warnanya pun sudah pudar dipadu dengan celana pendek yang bagian bawahnya juga sudah sering dijahit ulang. Lalu tidak wajarkah jika aku merasa heran melihat penampilannya berubah seperti ini? Nira memang beda dengan Intan. Meskipun di rumah seringkali hanya mengenakan daster tipis tetapi karena bahannya dibuat dari bahan berkualitas dan wanita itu juga cepat menggantinya dengan yang baru jika pakaiannya sudah mulai lusuh, maka penampilan Intan selalu terlihat seksi dan menggoda. Beda dengan Nira yang seringkali membuat mata ini sakit saat memandangnya. Tapi sepertinya tidak untuk kali ini karena istriku ini kelihatannya mulai berubah. Lebih bersih, rapi dan ... tunggu! Bukankah daster yang dikenakan Nira saat ini sama seperti daster yang biasa dikenakan Intan? Apa Nira ingin meniru gaya berpakaian Intan supaya aku kembali b*******h padanya? Tapi, bukannya Nira tak tahu keberadaan Intan, apalagi pernikahan diam-diamku dengannya? Lalu bagaimana bisa meniru gaya berpakaian wanita itu? "Nir, sejak kapan kamu membeli daster itu?" Aku tak mampu menahan rasa penasaran hingga akhirnya mengajukan juga pertanyaan itu pada Nira. Nira tampak kaget mendengar pertanyaanku tetapi sesaat kemudian wanita itu mengurai senyumnya. "Bukannya Mas yang membelikannya untukku? Kurir yang mengantarnya sore tadi. Maaf, aku lupa memberitahumu dan berterima kasih. Terimakasih ya, Mas. Kamu sudah sangat baik memperhatikanku," ucapnya lirih tetapi sesaat kemudian mengalihkan wajahnya hingga sulit bagiku melihat air mukanya saat mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang ia ucapkan dengan suara bergetar. Entah kenapa. Apa? Kurir yang mengantar? Sial! Berarti aku yang sudah salah kirim alamat saat order barang dari toko online kemarin. Seharusnya daster itu dikirimkan pada Intan karena daster mahal itu adalah pesanan istri mudaku itu untuknya tetapi karena lupa mengganti alamat pengiriman, daster kesukaan wanita itu pun akhirnya terkirim ke alamatku sendiri dan disangka Nira untuk dirinya. "Kemarin juga ada sepatu dan tas datang, Mas. Tapi belum kupakai karena ukurannya tidak pas. Terlalu kecil. Apa Mas sudah lupa ukuran kakiku? Bukan 38 tapi 40? Tas juga ... buat apa Mas berikan? Aku kan cuma tukang cuci pakaian, buat apa tas mahal segala, Mas?" Nira tertawa kecil. Tapi entahlah. Aku seperti mendengar luka dibalik tawa itu. Sial! Itu rupanya penyebab semua barang titipan Intan itu tak pernah sampai ke tangan perempuan itu? Ternyata aku yang telah salah menulis alamat pengiriman hingga barang-barang pesanan Intan itu justru mendarat di tangan Nira? Ah, semoga saja Nira tidak curiga jika barang-barang itu sebenarnya bukan kubeli untuknya melainkan untuk Intan. Aku tak mau Nira marah dan cemburu lalu berbuat yang tidak-tidak pada istri mudaku itu. Aku sangat menyayangi Intan dan tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Syukurlah, Nira tak banyak tanya lagi. Itulah sifat yang kusuka dari istriku ini. Tak banyak tanya, tak banyak bicara dan tak banyak menuntut. Itu sebabnya, aku masih mempertahankannya meskipun sudah punya Intan yang mampu memberikan segala yang kuinginkan. *** "Mas, rendangnya sudah masak. Sarapan dulu yuk, sebelum ke kantor," ucap Nira lembut saat aku baru saja mandi dan berpakaian. Aku mengangguk kecil lalu setelah merapikan kemeja, bergegas keluar kamar mengikuti langkahnya. Di atas meja makan sudah terhidang semangkuk rendang yang baunya menggugah selera. Bergegas aku mengambil uluran piring dari tangan Nira lalu menyiduk rendang dan mulai makan. "Kamu nggak makan sekalian?" tanyaku saat menyadari Nira hanya diam sembari menungguiku sarapan. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan lalu menyahut, "nanti saja. Aku kan mau ke rumah Bi Hanun, jadi nanti makan sekalian di sana saja." Mendengar jawabannya aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kupercepat acara makan mengingat sebelum ke kantor, aku ingin singgah dulu ke kontrakan Intan karena hingga saat ini belum kudengar juga kabar dari wanita itu. Aku sudah membawa obeng, tang dan peralatan lain untuk mencongkel paksa kunci dan gembok kontrakan Intan jika benar Intan belum kembali. Namun, tiba-tiba aku harus menghentikan suapanku dengan cepat karena sudut mataku menangkap sesuatu yang tidak biasa berada di sela-sela bumbu rendang. Sesuatu yang hitam, panjang dan lurus yang langsung membuatku mual saat melihatnya. Rambut? Ya, Tuhan ... kenapa banyak sekali rambut kutemukan pada daging ini sedari kemarin? Rambut siapa sebenarnya? Dan kenapa Nira membiarkannya bercampur pada masakan ini? Sengaja atau tidak sengaja sebenarnya ia melakukannya? "Kenapa, Mas?" tanya Nira saat aku mengambil rambut itu dengan tangan gemetar dan mengamatinya dengan seksama. Rambut ini aku yakin bukan milik Nira. Rambut Nira ikal bergelombang sedangkan rambut ini lurus seperti rambut ... Intan??? Ya, Tuhan ... apa jangan-jangan Intan sudah dibunuh dan rendang ini adalah rendang daging ... . Seketika aku dilanda mual yang hebat dan bergegas ke belakang untuk memuntahkan seluruh makanan yang masuk ke dalam mulutku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD