12. Hadeh

2805 Words
Rengga POV. “Hei sayang aku!!” sapa Sinta melihatku muncul di kantin pagi pagi. Aku tertawa menanggapi. “Sini Reng!!” undang bule teman Sinta yang ikutan nongkrong. Aku mendekat. “Sinta tunggu elo nih, mau kasih roti bekal” lapor Queen atau si bule tadi. Aku menatap Sinta yang tertawa. “Sok romantis!!. Emang pacar elo” ejek Karin yang juga ada. Aku tertawa lagi menanggapi. “Sini sayang aku, duduk dong, makan nih rotinya” undang Sinta. “NAJONG!!, lenjeh perawan jendral” keluh Karin jadi bangkit lalu pindah duduk di sebelah Queen yang tertawa seperti Sinta. Nikmati ajalah perhatian Sinta yang santai membuka kotak bekalnya berisi roti isi untukku. “Elo udah sarapan?” tanyaku mengabaikan Queen yang senyam senyum tidak jelas sementara Karin tersenyum mengejek. “Udah, udah elo sarapan” perintahnya galak. Okey aku menurut makan, sambil mendengarkan obrolan 3 cewek di depanku. “Serius lo Nino datang ke rumah elo kemarin?” tanya Sinta. “Serius, gue ajak kaget, pamit beneran sama bokap nyokap gue, ngajak nonton tanding futsal” jawab Queen. “Paling cari muka biar bisa sosot elo” ejek Karin. “Dih sosot apaan sih, gue di ajak nonton latihan futsal doang, trio curut juga ikut” jawab Queen. “Obi termasuk dong Queen?” tanya Sinta. “Iya, gue pikir Karina juga ikut” jawab Noni. Karin melotot. “Dih mana ada gue ikut, emang gue pacarnya” sanggah Karin. “Gak usah jadi pacar kali Kar, kalo cuma nonton futsal sih” komenku. “Tuh dengar Rengga, lebay elonya” omel Noni mendorong bahu Karin. “Dih elo aja yang bego, ngapain si Nino pake jemput elo, sama pamit segala sama bokap nyokap elo?. Pencitraan dia mau cari perhatian elo, biar mau sama dia. Bastart!!” jawab Karin. Sinta tertawa. “Rengga juga jemput gue” sanggah Sinta. “Tapi gak pamit sama pak Jendral” sanggah Karin lagi. Aku dan Sinta tertawa. “Elo bakalan pamitkan Reng kalo papi gue ada?” tanya Sinta padaku. Aku mengangguk. “Pamitlah, karyawan bokap gue yang kerjaannya antar jemput barang aja, mesti pake surat jalan, apalagi bawa orang” jawabku. “Tuh Karina, Nino bukan pencitraan, memang aja ngerasa perlu izin bawa gue pergi” omel Noni. Karin memutar matanya. “Lagian dari kemarin, kenapa sih elo sama Obi?” tanya Sinta. “Kepo…” ejek Karin. Tapi memang aneh sih Karin dan Obi. Biasanya mereka bercanda gurau, lalu berakhir dengan saling bertengkar. Ini malah diam diaman. Obi tapi sering tanya aku, apa Karin masih suka dugem. Dan aku jelaskan kalo sekarang genk borju sudah tidak pernah lagi dugem semenjak Sinta hajar orang di club. Kami hanya akan nongkrong sepulang sekolah di mall, atau main ke tempat bilyar kalo malam weekend. Karin dan Andi yang sering rencanakan ini itu. Aku cenderung ikutan, dan hanya bermaksud tetap mengawal Sinta selama kami nongkrong bareng. Sinta itu selalu bermasalah dengan emosi, kalo teman temannya di ganggu. Memang sih tidak pernah lagi hajar orang, tapi tetap aja emosian. Waktu Andi kena tilang di jalan, kami semua jadi terpaksa berhenti karena Sinta ngomel pada polisi yang menilang Andi. “Masalahnya apa pak?, kok teman saya di tilang?” tanya Sinta. Andi sudah meringis menatapku melihat perawan jendral tidak ada takutnya pada dua polisi yang menghentikan mobil Andi sampai kami ikutan. “Masih pelajar sudah bawa mobil, bahaya” jawab si pak polisi. Dan itu kesalahan. “Memang ada undang undangnya?, pelajar gak boleh bawa mobil?. Bukannya yang penting surat suratnya lengkap?" sembur Sinta galak. “Mana surat surat kamu?” tanya si pak polisi yang satu. Andi menurut mengeluarkan STNK dan SIM mobilnya. “Bereskan surat suratnya?, teman saya punya SIM, pajak STNK aja masih aktif. Bapak jangan ngadi ngadi cari kesalahan orang yang sudah taat hukum. Dan jangan karena pelajar jadi bisa bapak begoin” omel Sinta. Kedua polisi itu menghela nafas. “Punya kamu mana?, dan kamu juga?” tanyanya padaku dan Sinta. Jadi kenakan?, Andi enak sudah nembak umur trus buat SIM. Aku yang belum begitu karena malas urusnya. “SIM nya mana?” tanya pak Polisi padaku dan Sinta. “Gak ada, belum 17 tahun” jawab Sinta enteng. “Lalu mau gimana?, kalian belum punya SIM, sudah bawa mobil, mambahayakan pengguna jalan lain” omel pak Polisi yang tadi menerima STNK aku dan Sinta. “Lah udah bisa pak bawa mobil, ayo balapan kalo bapak gak percaya” tantang Sinta. Andi semakin meringis menatapku. “Bahaya nih bro…bawa pistol gak sih perawan jendral?” bisik Andi. Aku hanya menggeleng kerena mengawasi Sinta yang berhadapan dengan dua polisi. “Kamu kurang ajar sekali ya!!” omel pak Polisi yang satu lagi yang dari tadi diam. Ini yang aku takut, keberanian Sinta takutnya memancing emosi orang lain yang jadi lawan. “Udah pak damai aja pak” jeda Andi. Sinta langsung melotot. “Damai apaan maksud elo?, nyogok?. Keenakan nih polisi, elo pikir kalo duit nyogok masuk negara?, mereka tilep” omel Sinta berbalik pada Andi. Astaga… “Kamu!!!!” geram pak Polisi. Baru Sinta berbalik. “Gak usah marah, kalo bapak gak merasa begitu. Angap aja oknum polisi lain” sanggah Sinta pada pak polisi. Kedua polisi itu menghela nafas. Sepertinya lelah pada Sinta. “Jadi kamu dan teman kamu yang saya tilang karena kalian tidak punya SIM” putus pak polisi. “Tilang aja, memang aku salah kok” jawab Sinta santai. Hadeh jadi mesti urus surat tilang. “Sini surat tilang elo, biar gue yang urus” pinta Sinta. Aku berikan saja, bisa aku bayar nanti. Ternyata besoknya sudah kembali STNK mobilku. “Kok bisa?, bayar berapa?” tanyaku. Sinta mengangkat bahunya. “Tanya aja ajudan papi gue” jawabnya. Hm…kuasa pak Jendral, baiklah, aku mengerti kenapa Sinta tidak kenal takut, apalagi dia tidak salah. Waktu kami di cegat polisi lagi di lain waktu sepulang nongkrong di Parkit Senayan, lebih gokil lagi, karena dia sudah mengantuk. “Cari masalah aja sama gue” keluhnya kesal keluar mobil. Clara yang tidur dengan Karin, seperti Putri dan Andi di bangku paling belakang jadi bangun. “Temenin Reng, tar bukan dia yang di tabok polisi, malah tuh polisi yang di tabok Sinta” kata Kendi. Aku buru buru keluar mobil menyusul Sinta. “Telpon siapa?” tanyaku menatap Sinta dan pak polisi gantian. “Diam Reng, gue ngantuk” perintahnya sebelum ngomel di telpon entah pada siapa. Aku abaikan karena pak Polisi yang patroli dengan mobil meminta STNK mobilku lagi. “Jadi gak punya SIM?” tanya pak polisi tepat Sinta selesai menelpon. “Udah saya bilang, bapak diam dulu, teman saya memang tidak punya SIM” omel Sinta lagi. “Ya sudah ikut ke kantor polisi, pelajar kok jam segini masih keliaran di jalan” omelnya. Sinta menggeram. “Gak mau, saya ngantuk, bapak tunggu aja papi saya datang” jawab Sinta lalu begitu saja masuk mobil. Aku yang jadi bingung sendiri menghadapi pak polisi sampai tiga orang. “Kalian narkoba ya?” tanya polisi yang ikut merubungku. Aku buru buru menggeleng. “Gak pak, kami baru makan di parkit” jawabku. “Kenapa temanmu gak mau ikut di bawa ke kantor, untuk buat surat pernyataan?” kejar yang lain. Aku mengusap tengkukku menatap Sinta yang melanjutkan tidur di mobil. Santai banget perawan Jendral. “Saya rayu deh pak” jawabku. “Pacarmu?” tanyanya lagi. Aku mengusap tengkukku lagi. “Bukan pak, teman aja. Kayanya dia ngantuk deh pak, jadi males di ajak ke kantor polisi, bapak juga di suruh tunggu keluarganya datangkan?” jawabku. Mereka saling tatap. “Apa mau damai di tempat kali pak. Repot juga bukan kalo pelajar seperti kami berurusan dengan polisi apalagi sampai di dengar pihak sekolah” kataku mencoba mencari alasan. Mereka saling tatap lagi. “Okey saya tunggu, temanmu itu galak sekali kaya anak siapa aja” gerutu pak polisi. Aku meringis. “Sana masuk mobil, kalo memang harus nunggu” usir pak polisi yang lain. Aku menurut masuk mobil. “Sin, udah ikut aja deh ke kantor polisi, ngapain takut kalo kita gak narkoba” kataku. Dia berdecak dengan mata terpejam. “Udah tunggu aja Reng, santuy elonya” malah Karin yang jawab, itu pun sambil tidur juga. “Berisik lo Reng” omel Clara lalu memperbaiki posisi tidurnya. Aku menatap Andi di bangku belakang. “Udah Bro tunggu aja” komen Andi santai seperti biasanya. Putri si sebelahnya apalagi, santai aja tidur dan memeluk Andi. Aku yang bengong sendiri. Aku tidak mengantuk, ingatkan kalo aku aktif di malam hari, walaupun siang tadi aku tidak tidur?. Sampai kemudian dua orang berpakaian safari turun dari mobil yang berhenti di depan mobil polisi. Aku sudah takut pak Jendral yang datang jadi membangunkan Sinta. “Udah datang ya?” tanyanya baru membuka mata. “Emang siapa?” tanyaku. Bukan jawab malah keluar mobil menghampiri mereka. Aku ikutan keluar mobil. “LAMA AMAT SIH!!, gak tau apa aku sama teman temanku ngantuk?” malah ngomel. Dan anehnya dua pria berbadan tegap dan berambut cepak malah menunduk di depan Sinta yang tolak pinggang. “Aku bilang papi ya kalian lama sekali. Gak tau apa aku di tuduh narkoba sama polisi?. Urus tuh, aku mau pulang, ayo Reng” ajaknya padaku. Aku bertahan dulu walaupun Sinta masuk mobil lagi. “Maaf pak, saya…” kataku ragu. “Sudah pulang aja mas, biar ini saya yang urus” jawab yang satu. Aku menatap mereka berdua. “Maaf bapak siapanya Sinta?” tanyaku takut takut. “Saya orang papinya mba Sinta” jawabnya. Baru aku mengangguk mengerti. Tentara ternyata, pastas rambutnya cepak. “Udah mas, antar pulang aja mba Sintanya, nanti kalo ngamuk, gak cuma kami yang repot, mas pasti repot juga” kata bapak yang satu. “Okey…makasih ya pak” jawabku lalu menjabat tangan mereka sebelum berlalu masuk mobil. “Jalan Reng, belum antar yang lain” perintah Sinta sebelum terlelap lagi. Astaga…segitu mudahnya untuk perawan Jendral. Pantas yang lain santai aja hadapi polisi. “Gue gak melanggar hukum, elo tuh yang ngelanggar karena gak punya SIM. Emangnya kenapa kalo pelajar keluar malam?, gak narkoba juga, ngapain takut. Elo juga izin bawa gue keluar sama kak Lulu. Gue jadi semakin gak lihat ada masalah di sini. Udah ah gue ngantuk, sana pulang” usirnya lalu keluar mobilku. Memang dia terakhir yang aku antar pulang. Hadeh…susah susah gampang hadapi anak Jendral tuh. Kalo hadapin polisi gak ada takutnya, hadapin pengemis anak anak malah mewek. Anehkan?. “Udah sih jangan jadi bunda Theresa terus Sin, lama lama duit elo abis kasih duit pengamen sama pengemis boca trus Sin” omel Karin. “Dih kasihan” katanya. “Masalahnya kasihan elo jadi ngundang pengamen sama pengemis jadi datang ke meja kita trus, kapan kita makan Sin” omel Kendi. Apa Sinta bisa di larang?, tentu aja gak. Sampai teman teman jadi males nongkrong di warung tenda pinggir jalan karena kelakuan Sinta yang gampang jatuh iba pada pengemis dan pengamen. Terutama pengamen dan pengemis bocah. “Masa sih elo pada tega nyuap sementara ada bocah dekil, trus kurus minta duit recehan?” keluh Sinta. Kami kompak menghela nafas. “Gak gitu juga, sebelum elo perduli orang, perduliin diri elo dulu Sin, elo tadi ribut laper” omel Clara. “Tau lo, lebay banget” omel Karin. Pasti dia menatapku. “Reng…” rengeknya. “Udah makan, nanti gue yang gantian kasih duit sama pengemis apa tukang ngamen” kataku. Baru dia bersorak. “Harga makanannya gak seberapa tekor di kasih pengemis sama pengamen. Emang cocok lo pacaran sama Rengga yang duit jajannya banyak. Jadian deh buruan” ejek Andi. Aku hanya tertawa dan Sinta yang merona. Jadian aja, gak tau aja kalo aku agak kewalahan dengan kelakuan perawan jendral. Kembali ke rutinitas sekolah kami, akhirnya kami si sibukkan dengan rapat rapat LDKS. Dan karena rapat LDKS kesenian itu, membuatku jadi bisa mengenal lebih baik dari genk 4 cowok most wanted sekolah. Siapa lagi kalo bukan Roland, teman sekelasku, Obi yang selalu mengejar ngejar Karin, lalu Nino yang sama seperti Obi ke Karin, tapi Nino ke Queen bule. Dan terakhir Omen. Omen sih yang hampir tidak pernah aku ajak bicara. Aku juga takut karena dia selalu terlihat sangar. Maklum veteran. Semua orang juga tau, termasuk kakak kelas, gimana Omen jago gelud dan sangat punya nyali untuk ikutan tawuran dengan genk kakak kelas yang hobi tawuran. Dia berteman akrab dengan Bimo, yang dulu mantan ketua taekwondo sekolah. Dari pada aku kena masalah, mending aku mingggir. “Elo bisa kawal tuh cewek tigakan?” tanyanya tiba tiba menegurku yang baru selesai sarapan di pokok kantin lalu merokok di depan pojok kantin. “Cewek tiga mana ya?” tanyaku tidak mengerti. Dia berdecak. “Tuh, bule, Karin sama perawan Jendral” jawabnya sambil menunjuk Sinta dan dua temannya. Aku tertawa pelan. “Gue males nemenin Nino nunggu bule rapat. Obi juga lagi masalah kayanya sama Karin, Roland sibuk ngawal ABG kebelet gaul. Jadi gue males nemenin Nino sendirian” katanya lagi. Aku jadi menatapnya. “Kenapa elo perduli, elo naksir salah satunya?” tanyaku. Dia terbelalak. “Jangan gila, Karin sama bule gebetan teman gue. Trus Sinta bukan gebetan elo?, apa udah jadian, Roland bilang elo mesra trus sama perawan Jendral” jawabnya galak. Aku tertawa lagi. “Gue tabok nih lama lama, tawa mulu sih lo” ancamnya. Aku langsung diam. “Sory…abis elo perduli banget, apalagi bukan apa apa elo” jawabku. Dia duduk di sebelahku. “Elo punya emak gak sih?, apa saudara perempuan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kalo elo punya harusnya elo ngerti, kalo jadi laki punya kewajiban jagain emak sama saudara perempuan elo. Mereka bertiga bukan siapa siapa gue, tapi gue kenal mereka cewek baik baik dan bisa gue anggap saudara perempuan gue. Masa iya elo gak punya rasa kasihan kalo mereka di ganggu kakak kelas yang bastart?” jawabnya. Aku diam. “Elo taukan siapa yang selalu jadi objek obrolan laki di sekolah?, khusus junior ya, kan cuma mereka bertiga. Kalo mereka punya banyak pengagum, mesti hati hati, bisa jadi salah satunya berpotensi nyakitin mereka. Gue sih gak rela, sesuatu yang bagus jadi rusak” katanya lagi. Benar juga. “Elo kawal dah, kalo ada yang macam macam, ngadu sama gue, biar gue yang beresin. Mau cewek atau cowok, kalo memang ganggu mereka bilang gue” katanya lagi. Aku hanya mengangguk. Ngeri juga kalo aku banyak bicara. Dan benar Omen, kalo Nino selalu menunggu bule rapat, dan Obi suka ikutan walaupun berakhir dengan bule dan Karin yang pulang bareng Sinta. Tapi sepertinya Nino tidak perduli. Santai aja bertahan nunggu bule selasai latihan. Hanya Obi yang akhirnya tidak ikutan. Tapi aku lihat ada yang aneh dengan Obi, aku sering melihatnya di masjid sekolah, di jam istirahat atau pun pulang sekolah. “Elo ngapain sih Bi di masjid?” tanyaku. Dia diam. “Karin gak pernah dugem lagikan Reng?” tanyanya. Aku mengerutkan dahiku. “Gak sih?, kenapa?” tanyaku. “Bagus deh, gue sekarang cuma bisa doain Karin Reng, gak bisa lagi gue deketin Karin” jawabnya. Aku tertawa. “Emang kenapa?” tanyaku lagi. “Gak apa. Titip Karin ya!!” jawabnya lalu berlalu dengan lesu. Omen nitip mereka bertiga, Obi juga nitip Karin, trus Nino juga ikutan. “Teman sialan, gue minta temanin nunggu Noni rapat, malah males, awas aja kalo butuh bantuan gue” omel Nino di hari lain. Aku tertawa. “Lagian bule bukan siapa siapa elo, ngapain No?” ejekku. Dia berdecak. “Elo sama Sinta siapa elo?” jawabnya. Aku cengar cengir. “Noni bukan siapa siapa gue, tapi gue gak rela kalo Noni ada yang ganggu, letoy Reng Noni tuh jadi cewek, cengeng, sama oon sama laki” omelnya. “Trus?” tanyaku. “Kalo gue gak bisa nunggu Noni rapat, nitip ya Reng. Kadang kadang Noni bangor banget, nanti aja kalo di ganggu orang bisanya mewek, kalo gue mau balas, dia larang. Emang angel banget Noni sih, gak pernah mikir kalo orang gak semuanya baik” jawab Nino. Aku hanya mengangguk. Kok lama lama aku seperti jasa penitipan cewek keceh. Padahal cewek keceh yang mau aku jaga, malah terkadang tidak butuh bantuan aku. Sayangnya aku tidak bisa menolak mengawal mereka bertiga, termasuk Sinta. “Mereka itu gue sama teman teman panggil Three Angel. Setuju gak sih lo?, bukan Sinta doang, karena sering mewek lihat pengemis. Bule sama Karin juga kok. Bule baik banget bantu Omen belajar trus, sampai Omen nurut. Trus Karin juga gitu. Biar mulutnya kaya mercon, tapi dia usah supaya Obi bisa belajar benar, dan aslinya memang perduli sama teman. Noni aja di kawal trus dari Nino. Jadi kawal deh Reng” kata Roland. “Lah elo?” tanyaku. Dia berdecak. “Gue lagi kawal bidadari juga. Gak tau aja lo” jawabnya penuh misteri. Hadeh, jadi pengawal dadakan gini. Bukan semakin aku punya nyali, malah aku semakin perasa karena bergaul dengan tiga cewek trus. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD