Rengga POV.
“Reng…maaf…” rengeknya lalu berhambur memelukku.
Aku menghela nafas pelan. Rada jengah sih dia tiba tiba memelukku. Tapi lalu aku ingat di balik sikap galak dan emosian Sinta, dia juga tipe perasa dan mudah jatuh iba. ingatkan yang dia nabrak anak kucing?, sampai mewek seperti orang aja yang terbunuh. Sekarang aja dia menangis dalam pelukannya.
“Sin…udah doang, gak apa kok” kataku.
“Tapi gue sempat mikir jahat sama elo. Sang Dewi lain, gue pikir…” dia lalu mengadah menatapku.
Aku jadi melengos menghindar.
“Maaf Reng…ternyata nyokap elo” rengeknya lagi.
“Ya udah…sekarangkan elo udah tau” jawabku.
Baru dia mengangguk lalu melepaskan pelukannya. Lalu aku lihat dia beranjak duduk di tepi kuburan mamaku. Dia terpakur sebentar sambil mengadahkan tangannya. Aku jadi tertarik duduk di hadapannya di sisi lain makam mamaku. Tak lama dia mengusap wajahnya lalu mengusap batu nisan mamaku.
“Gayatri Sintasari Natalegawa…another sang Dewi…masuk akal. Apa karena ada nama Sinta sari juga sama kaya nama gue?. Walaupun Sinta Sarinya di sambung beda dengan nama gue yang di pisah?” tanyanya tanpa menoleh.
“Gue malah baru nyadarin itu sewaktu buat kartu ucapan peringatan 2 tahun kematian mama” jawabku jujur.
Sinta beralih menatapku.
“Elo doa ya Sin?” tanyaku.
Dia menganggguk.
“Al fatihah doang sih sama doa orang tua. Gue bisanya itu doang” jawabnya menatapku sambil mengusap airmatanya.
Aku tersenyum.
“Makasih” jawabku.
Dia mengangguk.
“Elo sedih gak kalo gue tanya gimana mama elo meninggal?” tanyanya.
Aku menghela nafas lalu merubah posisi dudukku jadi sila di tanah. Bagus tidak becek jadi celana seragamku tidak terlalu kotor nantinya. Sinta bertahan jongkok.
“Kecelakaan mobil dua tahun lalu itu” jawabku jadi terpakur menatap nisan mamaku.
“Kecelakaan tunggal atau….”
“Tunggal, mama kayanya ngantuk jadi nyetir gak focus, trus oleng waktu ada motor yang nyalip dari sisi kanan trus selip dan nabrak trotoar jalan” jawabku jadi ingat moment mama yang aku temukan sudah tidak bernyawa di rumah sakit bersama papaku.
“Berarti kenceng Reng?” tanyanya lagi.
“Mungkin ya, gue gak tau. yang pasti mobil mama ringsek benturan dengan pohon di pinggir jalan. Dia pakai mobil kaya elo, makanya gue kadang khawatir lihat elo bawa mobile lo. Kaya apa ya?, takut aja kejadian sama berulang. Apalagi elo sering banget kelihatan cape kalo habis latihan cheers” ungkapku jujur lagi.
“Astaga…Reng….” desisnya bangkit lalu ikutan duduk di sebelahku.
Aku tertawa pelan.
“Jangan dipikiran, efek traumatis doang kali. Sama artinya ketakutan gue doang. Nyatanya elo baik baik aja sampai saat ini. Elo juga lebih jago nyetir dari mama gue. Mungkin bedanya di situ” jawabku.
Sinta menghela nafas lalu bersandar di bahuku. Aku biarkan karena malah dia yang kelihatan sedih.
“Terus mama elo meninggal di tempat?” tanyanya tanpa menoleh lagi.
Aku menghela nafas lagi.
“Gitu deh. Gue di jemput papa di sekolah, lalu di ajak ke rumah sakit. Udah ada kak Laras yang mewek di UGD rumah sakit terus…” lalu aku diam untuk berusaha melupakan moment gimana harus menghadapi kenyataan kalo mamaku sudah tidak bernyawa lagi.
“Elo lihat nyokap elo udah meninggal?” tanyanya menatapku lagi dengan airmatanya.
Aku mengangguk.
“Gue sempat ada di titik selalu bertanya kenapa mesti nyokap yang meninggal, kenapa gak gue?” jawabku.
“Reng….” rengeknya.
Aku tertawa getir.
“Nyokap kecelakaan pas waktu mau lihat gue tampil lomba baca puisi, sementara dia baru begadang karena ada proyek teater sama mahasiswanya” jelasku.
“Astaga…” desis Sinta lagi.
“Gak salahkan kalo gue tanya kenapa harus nyokap yang meninggal, dan bukan gue?. Karena kalo bsia gue jujur, gue gak pernah bisa Sin, gak ada nyokap gue, walaupun gue anak cowok” ungkapku lega karena airmataku akhirnya luruh juga.
Tidak ada rengekan Sinta yang ada hanya isak tangis yang sama denganku dan dia mengusap punggungku. Cukup lama kami terdiam dalam kebisuan dan hanya isak tangis kami yang terdengar.
“Gue sedikit pun gak pernah malu di bilang anak mami. Gue pikir anak memang akan selalu butuh mamanya. Mau nanti dia tumbuh besar sekalipun. Gue selalu nyari mama gue, saat gue merasa menemukan kesulitan sekecil apa pun. Seperti saat gue gak bisa kerjakan soal matematika, saat gue gak bisa buka tutup botol minuman soda aja, gue cari mama. Apalagi saat gue sakit…bukan obat yang sembuhin gue Sin, tapi pelukan mama dan doa mama supaya gue cepat sembuh dan gue ceria lagi” jadi mengalir begitu saja mulutku bercerita.
Entahlah, apa mungkin aku merasa Sinta tau kesedihanku atau rasa kehilanganku karena kepergian mamaku. Buktinya dia terus terisak dan mengusap punggungku. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya, karena merasa malu mengeluh karena aku lelaki. Padahal kalo bicara soal kehilangan ibu, semua orang pasti akan merasa kehilangan yang sama denganku, dan mereka mungkin lelaki juga.
“Lalu tiba tiba, semua harus berusaha dalam satu hari setelah mama meninggal. Gak ada yang hentikan tangis gue lagi, saat gue sedih melihat mama di makamkan. Walaupun ada papa dan kak Laras, mereka gak bisa mengisi ruang kosong yang mama tinggalkan. Walaupun rutinitas di rumah gak ada yang berubah, karena papa tetap ada saat sarapan dan makan malam kalo sedang ada di Jakarta dan kak Laras mutusin berhenti kos demi gue. Tetap semua gak lagi sama Sin” keluhku.
Sinta mengangguk pelan waktu aku menoleh menatapnya.
“Semenjak mama gak ada, gak ada lagi tuh pertanyaan, apa gue mau bawa bekal ke sekolah, karena gue sering terlambat bangun dan gak sempat sarapan. Gue suka baca buku kumpulan puisi hasil mahasiswa mama. Gue suka sastra lama punya mama, karena gue suka rangkaian katanya. Gak tau ya, sastra lama, macam puisi pujangga lama terutama, seperti punya daya magis, yang hanya gue baca, tapi bisa membangkitkan emosi dalam diri gue. Kalo sastra itu pantun, gue jadi ketawa, kalo puisi tema romantis, gua jadi senyam senyum sendiri. Kalo puisi itu satir, gue bisa mendadak marah. Beragam emosi gue bisa keluar karena rangkaian kata itu, dan menurut gue itu luar biasa. Bayangkan tanpa perlu lihat orang melawak, gue ketawa. Tanpa perlu lihat orang pacaran bermesraan, gue bisa baper. Gak perlu lihat orang berantem gue bisa marah, kerenkan?” tanyaku menoleh lagi.
Sinta mengangguk.
“Gue jadi merasa usaha papa dan kak Laras jadi sia sia, padahal mereka sampai mengorbankan tanggung jawab pekerjaan, dan kuliah. Jadi gue minta mereka untuk beraktifitas lagi seperti waktu mama ada. Dan itu butuh kerja keras banget. Gue harus pura pura bersikap semua baik baik aja, padahal gue hancur di dalam” keluhku lagi.
Sinta menghela nafas.
“Tapi akhirnya semua bisa gue bohongin dengan gue gak pernah buat masalah apa pun di sekolah. Gue tetap sekolah dan tetap naik kelas. Gue memang gak pernah punya prestasi apa pun di sekolah, karena gak penah ikutan kegiatan apa pun. Gue lebih suka pulang cepat ke rumah, berharap bisa ketemu mama atau bisa nemanin mama kerja, karena gue tau, mama kesepian karena papa sering keluar kota karena pekerjaan. Kalo gue sibuk di luar mama akan semakin merasa sendiri, semenjak kak Laras kuliah” jelasku.
Sinta mengagguk sebelum aku beralih menatap makam mama.
“Kalo gue yang pendiam, papa dan kak Laras memang tau, gue tipe yang memang gak banyak ngomong seperti mama. Mereka tau gue lebih suka diam diri di kamar main gitar atau nulis lirik lagu buat Andi. Satu satunya teman gue ya memang cuma Andi karena kami satu kelas dari kelas 1 SMP” jelasku.
“Lalu elo jadi berteman akrab sama Andi?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Andi itu tipe yang cuek, apa aja dia anggap remeh. Gue kurang cocok bagian ini. Walaupun dia sama sama suka seni, tetap beda Sin. Music dan sastra walaupun bisa di satukan, tetap berdiri sendiri. Music jelas banyak genre dari yang mengalun lembut sampai yang hingar binggar. Satra itu lebih focus ke soal rasa dan emosi. Music itu lebih bersifat umum atau universal jadi bisa d terima banyak orang. Kalo satra hanya terbatas pada orang orang pemikir dan detail karena pakai perasaan dan emosi tadi. Itu kenapa gue sama Andi gak pernah bisa benar benar berjalan bareng dan klop. Bagian positifnya buat gue, sifat dan karakter Andi yang cuek itu, jadi jauh dari baper dann jauh dari kepo. Dia santai aja kalo gue nolak di ajak gabung nongkrong, dan gak pernah benar benar cari tau, kenapa gue begini dan kenapa gue begitu, dia cuek aja, dan kami tetap berteman. Ya minimal bertegur sapa” jelasku mulai santai dengan obrolan kami.
Sinta sama sepertiku yang berhenti terisak.
“Trus elo ngapain kalo akhirnya bokap dan kakak elo kembali dengan rutinitas mereka?. Elo jadi sendirian bukan?” tanyanya pintar.
Sudah aku bilang Sinta itu perasa.
“Paling tidur di siang hari sepulang sekolah, lalu malamnya gue baca atau corat coret gak penting. Gue mendadak jadi nocturnal yang aktif di malam hari supaya gue gak sadar mama udah gak ada, dan yang lain memang sejak mama masih ada, sudah jarang ada di rumah. Gue bisa anggap mama lagi tidur kalo gue melek di malam hari, dan baru menjelang subuh baru gue tidur supaya bisa langsung ke sekolah dan anggap gue kesiangan bangun jadi gak lihat mama di meja makan, karena biasanya mama udah jalan pagi ke kampus tempat dia ngajar” jawabku.
Sinta meringis.
“Kasihannya…” desisnya.
Aku tertawa pelan.
“Gue memang semenyedihkan itu sih” komenku.
Sinta bersandar di bahuku lagi.
“Trus anak anak komunitas teater itu?” tanyanya ikutan menatap makam mamaku lagi
Aku menghela nafas pelan.
“Gue ketemu mereka saat peringatan 1 tahun kematian mama. Sebelumnya udah kenal karena sering ikut mama ke sanggar tempat mereka latihan. Bertemu mereka, buat gue happy karena mereka sering antusias menceritakan mama gue. Apalagi yang mereka ceritakan selalu hal baik tentang mama, dan gue jadi semakin bangga jadi anak mama. Mama di kenang banyak orang dengan cara yang baik. Mama itu loyal dan konsisten dalam dunia seni, apa pun. Mama idealis sekali karena kecintaannya pada seni satra dan teater. Mama sampai nolak jadi artis film, padahal bakat aktingnya bagus. Dia memilih berada di balik layar suksesnya artis seniman dan bukan seperti teman atau seniornya yang nyambi jadi artis film atau sinetron. Mama bilang gak butuh materi karena papa mencukupi dan memberikan kebebasan mama untuk tetap berkesenian asal tetap bertanggung jawab sebagai istri dan ibu. Dan mama buktikan dengan ada di rumah saat papa ada di rumah, atau ada kapan pun anak anaknya butuh mama. Bagian terakhir yang buat gue kesal, karena harus buat mama memaksakan diri nonton gue lomba baca puisi dan buat mama berakhir seperti ini” jawabku mengeluh lagi.
Sinta mengangguk. Aku jadi melihat jam tanganku, sudah hampir sore.
“Pulang yuk Sin, kita cari makan yuk, gue laper” ajakku supaya dia bersedia pulang.
“Yuk!!” ajaknya bangkit lalu mengibas bagian belakang roknya yang kotor.
Aku ikutan bangkit.
“Yuk, gue tau tempat makan enak, dan itu kesukaan mama. Gue jadi kangen mama lagi, elo sukakan iga bakar?” tanyaku.
Sinta mengangguk.
“Wait!!” cegahnya saat aku beranjak.
Aku menghentikan langkahku lalu diam mengawasi Sinta yang menatap lama makam mamaku.
“Tante, aku gak sempat kenal tante. Tapi aku kenal Rengga, tante pasti seperti Rengga yang manis” ungkapnya.
Aku tertawa pelan.
“Aku suka juga, karena kita punya nama yang sama. Sinta Sari…Rengga bilang aku cantik dan anggun macam sang Dewi. Bagian aku, Rengga pasti dusta, tapi bagian tante pasti Rengga gak dusta. Aku yakin tante memang sang Dewi yang sebenarnya” lanjut Sinta lalu menoleh sekilas ke arahku yang tersenyum.
Lalu dia beralih pada makam mamaku lagi.
“Jadi tante mesti yakin satu hal. Rengga itu akan selalu sayang tante, walaupun gak lagi bisa bilang sama tante. Eng…aku gak bisa janji sama tante kalo aku akan jadi sang Dewi seperti tante. Tapi aku janji sebisa mungkin akan temanin Rengga, jadi tante tenang ya di sana. Rengga memang cengeng dan penakut…”
“HEI!!” protesku.
Sinta tertawa pelan waktu menoleh ke arahku.
“Tapi mamiku bilang, di balik ketakutan seseorang sebenarnya ada keberanian yang besar. Tante taukan anak bujang tante sebenarnya pemberani, cuma…dia malu aja sama aku, karena aku jago gelud sama nembak. Buktinya dia doang yang gak takut dekat aku walaupun sering buat aku kesal” katanya lagi.
Aku tertawa menanggapi.
“Tenang tante, aku gak pernah benar benar niat kok hajar anak tante apalagi nembak anak tante. Aku cewek, nunggu di tembak aja” kata Sinta lagi dan di bagian akhir di berbisik.
Aku terbahak.
“BAWEL!!” protesku menarik tangannya menjauh.
Dia ikutan terbahak.
“Dah tante…nanti aku kesini lagi ya sama Rengga…” pamitnya padahal aku sudah menarik tangannya menjauh.
Ampun deh perawan jendral.
“Reng…kemarin sebenarnya elo ngapain ke rumah gue?” tanyanya setelah kami diam sepanjang jalan menyusuri makam sampai pintu keluar.
Aku menghela nafas dan bertahan menggenggam tangannya agar mengikuti langkahku.
“Mau ajak elo selamatan peringatan 2 tahun mama, sekalian jelasin siapa sang Dewi lain yang gue maksud. Elo sih gak mau dengar, gue mau maksa takut elo tembak kepala gue” jawabku lalu menoleh sekilas ke belakang ke arahnya.
Dia tertawa pelan.
“Eh malah gue nyesel ke rumah elo” keluhku terlanjuran dia tanya.
Dia diam, jadi aku diam melanjutkan langkah. Sebenarnya aku penasaran dengan sosok lelaki yang mengantarnya pulang latihan menebak seperti yang di jelaskan bibi rumahnya, saat aku tanya keberadaan Sinta hari itu. Sampai kami masuk mobil baru Sinta bicara.
“Dia Reno, teman latihan nembak sama dua anak jendral teman papi gue” jelasnya.
“Okey” jawabku lalu takut bertanya lebih jauh.
“Antrin gue balik, soalnya mau minjem pistol gue, buat nembak mantan pacar ceweknya yang ribet” lanutnya.
Baru aku menatapnya.
“Kenapa elo kasih tau soal ini?” tanyaku.
Dia tersenyum menatapku.
“Ngerasa perlu elo tau aja” jawabnya.
Aku tertawa pelan tapi dia diam menatapku sampai aku grogi sendiri.
“Gue gak akan lagi lihat sosok laki lain selain elo walaupun mata gue mungkin sesekali akan menemukan sosok lelaki yang mungkin lebih baik dari elo. Gue tetap mau jadi sang Dewi elo, asal elo janji jangan pernah cari sosok sang Dewi lain selain mama elo dan gue, andai pun ada Sinta Sari lain yang akan elo temukan di hari hari depan” katanya dan membuatku merasa sekelilingku terang benderang.
“Tapi nyawa gue aman gak kalo berani janji?” gurauku.
Suasananya terlalu intens antara kami, aku jadi takut tidak bisa menahan dirii.
“Aman…” desisnya.
Aku mengangguk.
“Gue janji” kataku dengan keyakinan penuh.
Bukan senyuman yang aku dapatkan.
“Tapi awas, kalo mata elo diam diam jelalatan terus hati elo diam diam berpaling, sebelum anak buah papi gue tembak kepala elo, elo bakalan lebih dulu mati di tangan gue!!!” ancamnya galak.
Aku terbahak dan dia cemberut dengan cara yang cantik. Orang cantik sih apa pun ekpresinya tetap aja cantik.
“Hei…gue yang tembak aja ya?” tanyaku.
Dia terbelalak.
“Jangan senang dulu, gue masih gemeter lihat pistol, apalagi megang, gak deh, nanti nanti aja ya, gue belajar nembak dulu sama elo. Itu artinya elo mesti dekat gue trus, jangan jauh jauh ya, nanti gue gak bisa bisa nembak, trus malah elo nembak kepala gue duluan. Nanti kalo gue mati, elo rindu lagi” gurauku supaya dia tertawa dan jangan ngamuk lagi.
Dia terbahak.
“Reng…jalan gak, baper…” rengeknya manja.
Aku ikutan tertawa sambil mengacak rambutnya dan dia cengar cengir menatapku. Aku rasa kami masih butuh banyak waktu. Banyak hal yang Sinta harus tau tentang aku. Aku tidak mau nantinya dia seperti papi dan kak Laras yang akhirnya sia sia melakukan sesuatu hanya karena dia kasihan. Aku hanya akan semakin lemah kalo nantinya di kasihani trus. Bukankah, pada akhirnya, walaupun Sang Dewi bisa menjaga dirinya. Aku tetap harus jadi sosok pelindungnya agar dia tetap terang benderang dan bukan sosok yang membuatnya redum karena bias kekelaman yang keluar dari dalam diriku.
Hitammu, dukaku. Putihmu, harapanku. Kalo kamu percaya aku sosok sang Dewi lain yang selama ini kamu cari, aku pun akan percaya. Untuk itu yakinlah, putihku perlahan akan merubah hitammu jadi warna abu sampai berubah putih, lalu kau akan ikut merasakan sekelilingmu jadi terang benderang sampai kau lupa, sekelilingmu pernah gelap gulita sampai kamu hilang arah, dan memilih diam dalam bisu.
Astaga Sin…harusnya tadi benaran aku tembak kamu, bukan mengulur waktu, kalo ternyata kamu bersedia merubah sepiku dan kelamnya hidupku jadi terang benderang lagi, sepeninggalan mama, sosok sang Dewi sebelumnya yang sudah di tarik kembali ke langit karena tugasnya menerangi hidupku telah selesai