Arkan mengikuti Alana. Ia memaksa Alana untuk pulang bersamanya. Namun, Alana menolak dengan keras dan mengancam akan melaporkan Arkan padaa ayahnya jika Arkan nekat. Terjadilah adu mulut di depan rumah sakit antara dua insan yang pernah menjalin kasih itu.
“Aku sudah berbaik hati mengalah dan lepasin kamu loh, Kan. Aku bahkan nggak bikin perhitungan apapun ke kamu. Tapi kenapa kamu masih nggak mau ngebiarin aku hidup tenang?”
“Karena aku tahu kamu butuh aku, Alana,” balas Arkan. “Alana, siapa yang bisa antar-jemput kamu, kalau kamu check up? Siapa yang bisa nungguin kamu kalau kamu harus opname? Kamu cuma bisa mengandalkanku. Papa dan kakakmu bahkan hampir nggak pernah jengukin kamu waktu kamu sakit.”
Hati Alana begitu nelangsa mendengar penuturan Arkan yang tidak bisa ia bantah. Memang, selama ini hanya Arkan yang selalu ada untuknya. Namun, bukan berarti dia harus tetap tinggal saat ia tahu hubungan mereka sudah tidak sehat lagi, kan?
“Aku siap kok menanggung semua risiko ini sendirian. Mulai sekarang, kamu nggak perlu lagi repot-repot ngurusin aku. Harusnya kamu senang, kan, lepas dari semua tanggung jawab itu? Jadi, biarin aku pergi, Kan!”
Arkan menahan lengan Alana. “Kamu nggak akan bisa!”
“Aku bisa!”
“Bahkan nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi lima menit ke depan. Kalau tiba-tiba asma kamu kambuh waktu naik taksi, siapa yang bakal nolongin kamu? Kalau kamu jatuh di jalan, siapa yang bakal nyelametin kamu? Nggak ada. Nggak ada satu pun orang yang akan peduli sama kamu di dunia ini selain aku!”
Tangis Alana pecah. Kenapa hidupnya harus semenyedihkan ini? Ia bukan orang yang pandai bergaul. Ia bahkan tidak dekat dengan saudara serta keluarga besarnya yang lain. Namun, ia harus menderita penyakit yang selalu membayangi hidupnya itu sejak ia kecil, membuat ia tidak bisa hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain.
“Aku akan tetap jagain kamu kayak biasanya. Yang kamu harus lakukan cuma menghargai keputusan aku. Dan Keisha sekarang juga pacar aku, jadi kamu harus hargai dia!”
“Kamu gila, Kan …” ucap Alana pilu.
“Kamu juga nggak bisa egois, Alana! Aku sudah merelakan waktuku buat merawat kamu. Kamu juga harus bisa, rela berbagi tunanganmu sama wanita lain!”
Alana menangis sambil memegangi dadanya. Kakinya terasa semakin lemas, hingga ia harus mencengkram lengan Arkan sebagai pegangan.
“Apa sebenarnya mau kamu? Apa kamu masih cinta sama aku? Kalau kamu cinta sama aku, harusnya kamu nggak lakuin ini ke aku, Arkan …”
Arkan tersenyum miring. “Keisha adalah seorang publik figur. Dan aku adalah direktur produk parfum yang sedang naik daun. Kami punya nama baik yang harus dijaga. Dan sayangnya, publik terlanjur tahu kalau tunanganku adalah kamu. Aku nggak mau dicap sebagai pria berengsek dan akhirnya akan membuat karirku dan Keisha hancur.”
Pegangan Alana pada lengan Arkan akhirnya terlepas. Alana limbrung sambil meremat erat dadanya yang terasa sesak dan sakit. Namun, seseorang menopang tubuhnya dari belakang. Ia membantu Alana untuk kembali berdiri tegap dan menyandarkan tubuh lemah gadis itu di dadanya.
“Bernapas, Alana!” ucap orang itu dengan suara panik.
Alana berusaha untuk menggapai oksigen sebanyak yang ia bisa. Namun, napasnya terasa semakin berat. Dadanya begitu sesak.
Pria yang menolong Alana itu langsung mengangkat tubuh Alana, membuat Arkan geram dan menahan lengannya.
“Lepasin dia! Dia tunangan saya!” tegas Arkan.
“Tunangan? Benar begitu, Alana?” Alana menggeleng sebagai jawaban. “Lebih baik kamu pergi! Dia tanggung jawab saya mulai sekarang.”
Arkan mengepalkan tangannya. Ia berniat untuk memberi perhitungan pada lelaki itu. Namun, ia ingat jika mereka sedang di tempat umum sekarang. Arkan tidak ingin membuat keributan yang akan berdampak besar bagi perusahaannya.
Sementara itu, Alana akhirnya meronta saat pria itu membawanya ke ruang kerjanya. Pria itu merebahkan tubuh Alana di brangkar yang ada di sana. Namun, Alana berusaha untuk bangkit dan pergi.
“Kamu nggak lihat gimana keadaan kamu sekarang?” kesal pria itu. “Tidur!”
Alana menggeleng lemah. Napasnya masih tidak beraturan, membuat pria yang menolongnya iba. Pria itu meraih tas Alana dan mengambil obat gadis itu dari sana. Namun, saat ia akan membantu Alana untuk meminumnya, Alana langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Alana …”
“Dokter Langit sudah tahu gimana menyedihkannya hidup saya, kan? Menurut Dokter, kenapa saya masih harus bertahan saat saya tahu di dalam hidup saya, yang tersisa hanyalah penderitaan?”
Langit - pria yang lagi-lagi menolong Alana itu menghela napas panjang. “Kamu minum obat dulu, baru setelah itu kita bicara!”
“Kenapa Dokter mau buang-buang waktu buat bicara sama saya? Lebih baik Dokter biarkan saya pulang! Dokter juga masih punya pekerjaan lain, kan?”
“Alana, jangan keras kepala!”
Isakan Alana semakin hebat. Ia memegangi dadanya seolah ia benar-benar sudah tidak kuat menahan sakit di dalam sana.
“Nggak cuma Arkan. Semua orang akan melihat hal yang sama pada saya. Saya begitu menyedihkan, dan saya tidak bisa menyangkal itu semua.”
“Alana, saya mohon, minum obatmu dulu! Buka mulut kamu, ya!”
Langit masih berusaha untuk menyingkirkan tangan Alana yang menutupi mulutnya. Namun, Alana dengan kuat bertahan dengan sisa-sisa tenaganya, meski peluh sudah membasahi seluruh wajahnya.
“Lebih baik saya mati sekarang daripada harus-”
“Oke. Saya akan bantu kamu,” potong Langit. Sebagai seorang dokter, tentu saja ia tidak ingin pasiennya meninggal karena kesalahannya.
Ucapan Langit membuat Alana mengernyitkan alisnya.
“Tawaran kamu malam itu, saya akan kabulkan. Saya akan bantu buktikan pada orang-orang termasuk mantan kamu, kalau kamu tidak semenyedihkan yang mereka kira,” lanjut Langit.
Perlahan, tangan Alana yang memegangi mulutnya turun. Ia menatap Arkan dengan penuh harap.
“Anda mau jadi pacar pura-pura saya?”
Langit mengangguk, membuat mata gadis di hadapannya kembali berbinar seolah ia dapat melihat secerca harapan baru dalam hidupnya.
Alana berhambur memeluk Langit. Napasnya masih tersengal, membuat Langit cemas bukan main. Ia pun langsung melepas pelukan gadis itu. Ia memaksa Alana menelan beberapa butir pil yang sudah ia siapkan, dan membantunya meminum air yang tersedia di meja kerjanya.
Setelah Alana menelan semua pil itu, Langit menangkup pipi Alana. Ia menatap dalam manik mata gelap milik gadisnya itu. Ia memberi jeda sebentar, membiarkan Alana lebih dulu mengatur napasnya yang masih berantakan.
“Janji sama saya! Kamu tidak boleh punya pikiran untuk menyerah lagi! Saya paling nggak suka orang yang menyerah dengan takdir. Apalagi, hal itu berhubungan dengan nyawanya sendiri,” kata Langit. Tangan pria itu bergerak lembut menghapus jejak air mata di pipi Alana.
Alana mengangguk kecil.
“Janji, Alana!”
“I- iya, saya janji,” balas Alana dengan senyum tipis di bibirnya.
Setelah itu, Langit meminta Alana untuk menunggunya selagi ia bekerja. Lelaki itu mengantar Alana ke ruangannya yang lain dan menyuruh Alana untuk beristirahat di sana.
Langit menyerahkan ponsel milik Alana yang tadi sempat ia pinjam. “Saya sudah masukkan kontak saya di ponsel kamu. Kalau butuh sesuatu, kabari saya! Saya akan kembali saat jam istirahat makan siang buat antar kamu pulang.”
Alana mengangguk patuh. Langit bisa melihat. Gadis di hadapannya itu adalah gadis yang baik dan patuh. Bukan keinginan Alana untuk membuat pria yang sedang bersamanya dalam kesulitan. Keadaanlah yang membuat Alana jadi terlihat manja dan merepotkan. Namun, di balik fisik yang lemah itu, sebenarnya Alana memiliki jiwa yang cukup kuat untuk seorang gadis dengan nasib sepertinya.
“Aku tidak tahu bagaimana cara kamu bertahan sampai detik ini. Tapi, mulai sekang aku akan bantu kamu agar kamu bisa bertahan lebih lama lagi. Kamu punya hak buat mengejar impian dan kebahagiaan kamu lebih lama lagi.”
Langit menghentikan laju mobilnya di pekarangan sebuah rumah yang cukup megah dan besar. Ia tidak menyangka, ternyata Alana berasal dari kalangan yang cukup berada. Pembawaan gadis itu sangat sederhana. Pakaian dan make up-nya juga terkesan simpel.
Rumah itu memang megah dan besar. Namun, entah kenapa Langit merasa nuansanya begitu dingin dan sepi.
“Kamu beneran tinggal di sini?”
Alana mengangguk. “Ayo, Dok, mampir dulu!”
“Kamu tinggal sama siapa?” Pertanyaan Langit membuat Alana menghentikan pergerakannya. Ia kembali menoleh ke arah Langit, yang tampaknya enggan untuk turun.
“Sama Bibi.”
“Bibi kamu?”
Alana terkekeh. “Bi Murni, asisten rumah tangga saya.”
Langit mengangguk paham. Setelah itu, ia merasa tidak punya topik penting lagi untuk dibicarakan dengan Alana. Lagi pula, setelah ini ia juga masih harus lanjut bekerja di rumah sakit.
“Mau mampir dulu nggak, Dok? Nanti saya buatin jus, sebagai ucapan terima kasih buat hari ini,” tawar Alana. Ia tidak sekadar berbasa-basi, tetapi ia tulus menawarkan dan akan senang bila Langit menerima tawarannya.
“Enggak, saya masih harus kerja,” tolak Langit.
Alana menghela napas panjang. Ada sedikit rasa kecewa yang muncul begitu saja di hatinya. Namun, alasan Langit sangat masuk akal dan harus dimaklumi, kan?
“Sekali lagi terima kasih sudah nganterin saya dan banyak menolong saya hari ini. Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya, Dok!” Alana pun segera turun dari mobil Langit.
Alana tidak langsung masuk ke rumah. Ia berdiri menatap mobil Langit yang mulai mundur, lalu pergi dari pekarangan rumahnya.
“Maaf ya, Dok. Saya harus melibatkan kamu ke dalam masalah saya. Saya nggak punya pilihan lain. Saya nggak punya orang lain yang bisa saya mintai pertolongan saat ini,” gumam Alana.
***
Alana cukup sadar diri untuk tidak menuntut lebih pada Langit. Dia tahu, Langit sangat sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadinya. Tak heran jika pria itu jarang membalas pesannya, bahkan sama sekali tidak menemuinya setelah hampir dua minggu sejak pertemuan terakhir mereka.
Alana merasa sepi. Sejak hubungannya dengan Arkan berakhir, ia merasa seperti dirinya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Langit, satu-satunya orang yang ia andalkan juga tidak pernah berusaha menyempatkan waktunya untuk menemani Alana. Akhirnya, beberapa hari terakhir, Alana menghabiskan waktunya hanya dengan menonton drama di kamarnya. Ia juga malas pergi ke kantornya. Ia tidak ingin bertemu dengan Arkan, apalagi kekasih baru pria itu.
“Non … Non Alana!”
Alana mengernyit. Tak biasanya suara Bi Murni terdengar panik seperti itu. Alana pun segera membuka pintu kamarnya. Dan saat itu juga akhirnya ia sadar jika ternyata suasana di luar kamar cukup berisik. Ada banyak suara yang terdengar dari arah depan.
“Gawat, Non. Di depan ada banyak wartawan!”