06 - Playing Victim

1443 Words
Alana sadar. Kisah hidupnya memang begitu memilukan sejak dulu. Ibunya meninggal saat ia masih kecil karena sebuah kecelakaan pasca mengantar Alana check up di rumah sakit. Sejak saat itu, ayah dan kakaknya perlahan seperti menjaga jarak darinya. Alana tahu. Mungkin mereka menyimpan rasa marah pada Alana dan menganggap dia sebagai penyebab kematian orang yang paling mereka cintai. Alana kecil lebih sering di rumah bersama pembantunya. Ayahnya sering bepergian ke luar kota. Sedangkan kakaknya memiliki kesibukan les sejak di bangku sekolah. Hingga ia dewasa pun, ia jarang merasakan kasih sayang keluarganya. Hingga saat ia SMA, ia bertemu dengan kakak kelas seperti Arkan yang peduli dan selalu mengayominya. Pertemuan pertama mereka adalah saat Alana menjalani masa orientasi siswa, di mana Arkan adalah ketua tim P3K yang menolong Alana saat asma Alana kambuh. Setiap harinya, mereka semakin dekat. Mereka berkuliah di kampus yang sama, meski berbeda fakultas. Hingga akhirnya, dua tahun lalu, mereka resmi pacaran. Ayah Alana yang jarang memiliki waktu untuk putrinya menyambut baik kedekatan Alana dengan Arkan. Beliau mempercayakan Arkan untuk menjaga Alana ketika beliau berada di luar kota. Beliau bahkan menuruti keinginan Alana saat anak gadisnya itu merengek meminta uang dalam jumlah besar untuk memulai usaha bersama dengan Arkan. Dan tepat dua bulan lalu, akhirnya Alana dan Arkan meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pertunangan. Alana pikir, mungkin dalam satu tahun ke depan Arkan akan melamarnya dan mereka menikah. Namun, semua itu kandas karena penghianatan tunangannya dengan perempuan yang ia percaya menjadi wajah dari produk miliknya. Sudah begitu, sekarang, kesedihan Alana kembali bertambah. Arkan sering mendatanginya dan merendahkan Alana karena menganggap Alana tidak mungkin bisa hidup dengannya. Sedangkan Langit, justru menjauhinya sesaat setelah Alana meminta pria itu menjadi pacar pura-puranya. From: Dokter Pras [Saya sudah kasih rekam medis kamu ke dokter baru kamu ya, Alana. Semoga dia bisa merawat kamu lebih baik dari saya.] [Jaga diri kamu baik-baik, dan jangan sungkan kabari saya jika kamu butuh saya!] Alana menghela napas panjang membaca pesan dokter yang sudah merawatnya selama belasan tahun tersebut. Dokter Pras adalah orang kepercayaan ibunya yang sejak dulu menangani Alana. Namun, sayangnya sekarang Alana harus berpisah dengan Dokter Pras karena Beliau ditugaskan ke daerah lain. “Atas nama Alana Kamelia!” Alana mendongak. Ia segera berdiri saat namanya dipanggil. Lalu, seorang perawat yang sudah ia kenal baik beberapa tahun terakhir, langsung mengantarnya menuju ke ruang periksa. “Alana, kamu beruntung kali ini!” seru perawat itu. Sebut saja namanya Novi. “Beruntung kenapa? Ada gitu orang punya asma menahun dan nggak bisa sembuh kamu bilang beruntung?” “Ish, kamu belum tahu aja,” ujar Novi. “Dokter yang menangani kamu sekarang, dokter baru yang masih muda. Mana ganteng banget lagi.” Alana menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap Novi yang tidak seperti biasanya. “Lagian sakit mah sakit aja. Ngapain juga harus ngerasa beruntung cuma karena punya dokter yang ganteng? Aku sih milih buat sehat aja.” Pintu akhirnya terbuka. Alana langsung menatap ke depan, dan langkahnya terhenti saat matanya mengenali sosok berjas putih yang tampak sedang menulis sesuatu itu. “Maaf, Dok. Ini pasien selanjutnya. Dan ini rekam medisnya,” ucap Novi sambil menyerahkan berkas rekam medis milik Alana. Dokter tampan itu mendongak. Wajahnya juga tampak menegang saat melihat Alana. Namun, akhirnya Alana tersadar. Ia segera melangkah dan duduk di kursi yang berhadapan dengan pria itu. “Kalau begitu, ada lagi yang bisa saya bantu, Dok?” tanya Novi. “Tidak, kamu boleh pergi,” jawab sang dokter. Alana mengedipkan matanya pada Novi. Tangan yang berada di pangkuannya bergerak gelisah. Ia berusaha memberi tahu Novi agar menemaninya di sini lebih lama lagi. Namun, perawat muda itu tersenyum jail, dan tetap meninggalkan Alana begitu saja bersama dokter baru mereka. “H- Hay …” sapa Alana gugup, saat menyadari tatapan datar pria itu. Pria itu berdehem. “Baik. Saya perkenalkan dulu diri saya-” “Tapi kan saya sudah tahu nama kamu.” “... secara formal.” Alana diam. Ia memberikan waktu pada pria itu untuk melakukan apa yang dia inginkan. “Baik. Nama saya Langit Wira Putra. Dan saya adalah orang yang akan menggantikan Dokter Pras sebagai dokter kamu mulai hari ini.” Alana mengangguk kaku. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, sehingga mulutnya hanya bisa terkatup rapat. Bagaimana tidak? Pria yang menolaknya satu bulan lalu, tiba-tiba sekarang menjadi dokternya? “Saya sudah membaca soft file rekam medis kamu dari Dokter Pras semalam. Jadi, apa yang kamu keluhkan satu bulan terakhir?” tanya Langit. Alana ingin mengatakan jika dirinya baik-baik saja jika ada seorang pria yang menanyakan kabarnya. Sayangnya, pada Langit, ia tidak bisa menyembunyikan apapun terkait kesehatannya, kan? Karena itu bisa berdampak fatal untuk dirinya di kemudian hari. “D- satu bulan lalu setelah check up terakhir, asma saya sempat kambuh dan saya dilarikan ke rumah sakit, terus opname semalam,” terang Alana. Padahal, tanpa menjelaskan satu hal itu pun, pasti Langit tahu apa yang terjadi pada Alana satu bulan lalu, kan? “Terus, setelah hari itu, saya sering merasa sesak kalau malam. Nggak selalu, sih. Tapi cukup sering. Bisa dua sampai tiga kali dalam seminggu.” Langit bangkit dan mengambil stetoskopnya. Ia memeriksa gadis yang masih duduk di kursi itu dengan stetoskop miliknya. Sudah satu bulan berlalu. Dan harusnya, Langit menjadi orang asing bagi Alana. Namun anehnya, Alana merasakan kegugupan yang luar biasa saat ia berada di jarak sedekat ini lagi dengan Langit. Ia meremat dress yang ia pakai. Ia berusaha keras untuk menutupi kegugupannya saat ini. Namun … “Apa kamu juga pernah ada riwayat jantung?” “Enggak, kok.” “Aneh. Detak jantung kamu sedikit tidak wajar. Apa memang biasanya seperti ini kalau kesehatan kamu sedang memburuk?” Alana refleks memundurkan kursi yang ia duduki hingga rodanya menggelinding menjauhi Langit. Stetoskop di dadanya pun terlepas. Melihat hal itu, Langit cukup terkejut. Namun, pria itu diam dan segera kembali ke kursinya. “Kamu mau sekalian saya rekomendasikan untuk pemeriksaan jantung?” Alana merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya ia bereaksi aneh seperti itu karena pria asing yang sekarang ada di hadapannya. “Ayolah, Alana … dia cuma orang asing yang pernah berbuat baik sama kamu. Kenapa kamu seolah-olah berharap lebih, sih?” “Alana?” “Eh, iya- eh, nggak usah. Saya nggak papa. Kayaknya efek kurang tidur semalam saja. Tadi juga katanya tekanan darah saya turun. Jadi, mungkin kepikiran dan agak stres, dan ngaruh ke detak jantung saya. Iya, mungkin seperti itu.” Langit mengernyit tidak yakin. “Kalau kamu mau, saya bisa coba rujuk kamu buat-” “Saya bilang saya nggak papa. Saya nggak ada riwayat penyakit jantung,” tegas Alana. Ia sangat malu, dan berusaha menutupi fakta jika debaran jantungnya yang tidak normal tadi disebabkan oleh kehadiran Langit. Alana memegangi dadanya tanpa sadar. Keningnya tampak berkerut dan tatapannya tertuju pada meja di depannya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Langit. Alana terperanjat dan tesadar dari lamunannya. Ia segera menurunkan tangannya yang memegangi d**a. Lalu, kepalanya mengangguk. “Baik. Ini resep obat kamu. Saya juga resepkan obat tidur berdosis rendah dan vitamin agar kamu tidak banyak begadang dan punya waktu istirahat yang cukup. Kamu bisa langsung menebusnya setelah dari sini. Jaga kesehatan dan jauhi sumber penyebab asma kamu kambuh, ya!” Alana mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kalau begitu, terima kasih ya, Dok. Permisi.” Rasanya lidah Alana kelu saat ia harus memanggil pria itu dengan sapaan Dokter. Ia masih tidak menyangka jika mulai hari ini, ia akan rutin bertatap muka dengan Langit - setidaknya sekali dalam sebulan. Alana keluar dari ruang periksa. Ia pun menuju ke bagian farmasi untuk menebus obatnya. Ia duduk setelah meletakkan resep pemberian Langit di tempat yang disediakan. Ia memainkan ponselnya sembari menunggu namanya dipanggil. Namun, saat ia sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba saja ia mencium aroma parfum yang sangat familiar baginya. Ia menoleh, dan mendapati sang mantan kekasih duduk tepat di sampingnya. “Kamu ngapain di sini?” heran Alana. “Nemenin kamu. Kamu kok nggak bilang kalau hari ini mau check up? Aku hampir aja lupa,” kata Arkan. Alana mengernyitkan alisnya. “Kamu ngigo? Nggak lupa kan, kalau di antara kita sudah tidak ada apa-apa?” Arkan terkekeh. Tawanya terkesan sinis dan merendahkan gadis malang di sampingnya. “Kamu nggak usah sok kuat, Alana. Biar bagaimana pun, kamu butuh aku. Jadi nggak usah sok jual mahal dan sok-sokan mau mencampakkan aku.” “Arkan, kamu nggak ngaca siapa yang mencampakkan siapa?” “I’m not. Ayolah, aku cuma butuh suasana baru dan Keisha bisa kasih itu. Tapi aku nggak benar-benar mau pisah kok dari kamu. Jadi, gimana kalau-” “Atas nama Alana Kamila?” Alana segera bangkit dan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil obatnya. Setelah itu, ia beranjak dari sana tanpa mempedulikan Arkan yang tampak menunggunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD