Wisuda berlangsung dengan hikmat di kampus Universitas Nusantara Dua pagi ini. Reyna berjalan dengan langkah tegap menuju podium begitu namanya disebut. Tepuk tangan pun riuh rendah terdengar karena dia disebut-sebut sebagai salah satu mahasiswi lulusan terbaik lima besar tahun ini. Dia tersenyum bangga atas pencapaian dirinya, berhasil meraih prestasi dan yakin masa depannya akan cerah dan gemilang. Belum mendapat ijazah resmi sarjana saja lamarannya sudah diterima di sebuah perusahaan ternama di pusat kota Jakarta, sebagai sekretaris sekaligus asisten pribadi pimpinan tertinggi di sana.
“Wah, pesta kita malam ini?” seru Indy, sahabat Reyna yang masih berjuang menyelesaikan skripsinya.
“Iya dong. Kita senang-senang, Indy!!” sorak Reyna.
Indy dan Reyna berpelukan sambil melompat-lompat dan berteriak keras, tidak peduli orang-orang sekitar yang melihat mereka dengan tatapan aneh.
Reyna menghela napas panjang saat sudah berada di dalam mobilnya.
“Sudah, Rey. Jangan sedih. Tadi udah seneng-seneng, orangtua kamu pasti bangga sama kamu,” ujar Indy, membujuk Reyna yang sedih karena keduaorangtuanya tidak bisa menghadiri acara wisudanya. Mereka saat ini berada di Florence, mengikuti acara konferensi bisnis internasional di sana, dan papanya menjadi salah satu nara sumber dalam konferensi tersebut.
“Kalo mama dan papa kamu sih wajar nggak bisa hadir, tapi Iben? Apa alasan dia nggak datang wisuda kamu hari ini?”
“Katanya sakit.”
“Oh ya?”
Reyna menekan pedal gas mobilnya pelan-pelan. Di balik kebahagiaannya yang telah menyelesaikan kuliah, dia merasakan kesedihan mendalam, bukan karena keduaorangtuaya yang tidak bisa hadir, tapi dia sedih lantaran Iben, kekasihnya, menyatakan tidak bisa menghadiri acara wisudanya dengan alasan pusing mendadak dan sakit. Reyna berniat datang untuk menjenguknya di apartemennya semalam, tapi Iben melarangnya karena dia yang harus bersiap-siap mengikuti wisuda. Ini kali kedua Iben menolak menghadiri momen penting dalam hidupnya, sebelumnya Iben juga menolak menghadiri ujian akhir kuliahnya.
“Bilangin tuh sakit karena keseringan begadang gim setiap malam, pasti ujung-ujungnya sakit. Udah, putus aja kamu dari dia, pengangguran kok dipelihara.”
“Dia bukan pengangguran, Indy. Dia kerja kok.”
“Halah, kerja juga nggak jelas, banyakan main dari pada kerjanya. Dibilangin marah-marah pula.”
Reyna tersenyum tipis, kekasihnya itu memang terlihat seperti pengangguran, tapi sebenarnya dia bekerja sebagai content creator sekaligus bekerja secara online di salah satu platform desain terkenal, dan dia mendapat bayaran yang lumayan besar, meskipun tidak selalu.
Beberapa menit kemudian, Reyna menepikan mobilnya di depan gedung kost mewah.
“Habis ini mau ke mana?” tanya Indy yang sudah siap-siap membuka pintu mobil.
“Pulang, mau istirahat.”
“Nanti malam jadi nggak?”
“Ya. Aku mau ruang VIP.”
“What? Banyak uang kamu?”
“Iyaaa. Aku wisuda dan lusa aku mulai kerja.”
“Astaga, Reyna. Aku hampir lupa kalo kamu nanti jadi sekretaris cantik. Jangan jadi w*************a yaaa.”
“Sudah sana. Gerah nih. Mau mandi.”
Indy cepat-cepat turun dari mobil.
Reyna tidak langsung melajukan mobil saat Indy sudah berjalan masuk ke dalam gedung kost. Dia merogoh tasa kecilnya dan mengambil ponsel, menghubungi Iben.
Reyna menghela napas pendek, jengkel karena panggilannya tidak kunjung diangkat.
Tapi beberapa saat kemudian, jengkel Reyna berubah resah, berpikir bahwa mungkin saja Iben pingsan atau memerlukan pertolongan, karena mengaku sakit tadi malam.
Reyna memutuskan untuk mendatangi apartemen Iben, meskipun masih berkebaya.
Setiba di parkiran apartemen, Reyna berdecak kesal, dia lupa membawa sendal jepitnya. Mau tidak mau dia harus berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi yang masih dia pakai sekarang.
Reyna masih berusaha menghubungi Iben, tapi masih saja tidak ada tanggapan, dia semakin resah dan gelisah, sangat mengkhawatirkan Iben. Apalagi semalam Iben menghubunginya dengan suara berat dan serak, terdengar kesakitan.
Reyna sudah berada di depan pintu apartemen Iben. Dia memiliki kunci duplikat karena kerap datang berkunjung ke sana.
Betapa terkejutnya Reyna, dia melihat Iben dan seorang perempuan seumuran dengannya sedang berhubungan badan tanpa busana di atas sofa ruang tamu.
“Iben!!” pekik Reyna, matanya melotot tajam, dan jantungnya berdetak sangat kencang.
Iben buru-buru mengambil celananya dan memakainya.
“Rey!”
Reyna masih bertahan, memasati wajah perempuan yang sedang digumuli kekasihnya.
“Rey! Hei!”
Reyna terdiam terpaku memandang Iben yang memegang kedua bahunya. Iben menatapnya penuh rasa bersalah.
“Rey, maaf. Aku—“
Reyna menepis kedua tangan Iben dari bahunya, lalu menampar pipi Iben kuat-kuat. Dia berbalik, dan berjalan cepat. Dia sempat pula tersungkur karena sepatu tingginya. Reyna cepat-cepat melepas sepatunya dan memilih berjalan bertelanjang kaki.
“Rey! Tunggu, aku jelaskan dulu!” Iben yang hanya bercelana pendek masih berusaha mencegah Reyna, tapi Reyna sudah masuk ke dalam lift.
“Rey! Please,” mohon Iben, dia menatap nanar wajar Reyna yang menahan kesal.
Reyna memandang wajah kekasihnya, berkata dengan nada geram, “Aku tidak mau bertemu kamu lagi.”
Dan pintu lift pun tertutup.
***
Di dalam kamarnya, Reyna menangis tersedu-sedu, masih tidak menyangka apa yang dia alami barusan, melihat dengan mata kepalanya sendiri, kekasihnya yang sangat dia cintai berselingkuh secara nyata dengan seorang perempuan yang tidak dia kenal. Tanpa busana lagi. Reyna tidak mau mencari tahu, tidak peduli penjelasan Iben. Dia langsung memblokir semua kontak Iben.
Reyna : In, malam ini nggak jadi ke klub.
Indy : Lo, kenapa?
Reyna : Nggak apa-apa. Aku lagi males. Mau mager aja di kamar.
Indy : oh, oke. Kalo ada apa-apa kasih tau ya.
Reyna : Ya.
Reyna meletakkan ponselnya di atas nakas samping tempat tidur, lalu memejamkan mata dan tidur.
***
Dewa melempar ponselnya ke atas lantai kantornya, kesal karena Anggi, kekasihnya, ternyata sudah berada di kota Paris tanpa sepengetahuan dirinya sejak minggu lalu. Anggi mengaku sudah mendapat kontrak selama satu tahun di sana sebagai salah satu model di bawah manajemen internasional, dan dia tidak bisa menolak karena ini adalah sebuah kesempatan besar. Anggi ingin karirnya melejit dan berharap pengertian Dewa. Dia juga berjanji akan kembali setelah satu tahun dan mengikuti setiap keinginan Dewa.
Bagaimana Dewa tidak kesal, dia juga sedang berada di dalam tekanan yang sangat hebat, orangtuanya memaksanya menikah dengan Felisha, sepupunya, seorang dosen di universitas ternama di kota Jakarta. Dia dipaksa menikah dan diancam tidak akan mendapat warisan apapun dari keluarga jika tidak menikah secepatnya. Ayahnya sedang sakit-sakitan dan sudah membuat perjanjian bahwa seluruh harta dan perusahaan keluarga akan dilimpahkan ke putra satu-satunya jika putranya menikah dengan wanita pilihannya. Terlebih, usia Dewa yang sudah menginjak tiga puluh lima, juga keinginan orang tuanya akan kehadiran cucu.
Telepon kantor Dewa berbunyi beberapa saat kemudian.
“Dewa, dengarkan Mama dulu. Oke, kamu bisa paksa Anggi untuk pulang dan menikah dengannya, jika tidak, kamu harus menikah dengan Felisha.”
“Beri aku waktu, Ma. Papa belum meninggal.”
“Dewa, tapi ini keinginan mendesak papamu.”
“Oke. Minggu depan. Minggu depan aku akan menikah, tapi tidak dengan Felisha, aku … aku tidak mencintainya.”
Dewa sebenarnya bisa saja menikah dengan Felisha meskipun dia tidak cinta, demi menyelamatkan posisinya sebagai pewaris tunggal Tamawijaya Group. Tapi dia tidak mau menikah dengan Felisha karena wanita itu pasti tidak bisa diajak kompromi, sekiranya dia masih menjalin berhubungan dengan Anggi. Felisha terlalu pintar, apalagi dia adalah seorang akademisi yang pasti tidak akan mau tunduk kepada aturannya.
Dewa mengetuk-ngetuk bolpoin birunya di atas meja, sambil berpikir keras, mencari jalan untuk ke luar dari masalah berat ini.
Dewa menggeleng dan berdecak kesal, tidak ada jalan ke luar dalam benaknya.
“Iwan, antar aku ke klub nanti malam.” Dewa menghubungi sopirnya. Dia benar-benar stress sore ini.
“Baik, Pak.”
***
Reyna terbangun dari tidurnya, dan dia masih merasakan kesedihan dan kekecewaan yang amat dalam. Dia melangkah gontai menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Setelah mandi dan hendak berpakaian, entah kenapa pikirannya mendadak ingin pergi ke klub malam. Dia tidak mau terkungkung dalam kamar dan terus-terusan sedih. Tapi dia memilih untuk pergi sendiri dan tidak mau ditemani Indy atau siapapun.
Bersambung