Bab 2. Pertemuan Meja Bar

1113 Words
Perasaan Reyna lumayan lebih baik saat berada di dalam sebuah klub malam, musik yang menghentak gembira seolah memberinya kebebasan. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama, sambil mengamati orang-orang berjoget di tengah ruangan. Beberapa yang mengenalnya sebagai anggota klub, melambaikan tangan ke arahnya. Ada yang memberi kode mengajaknya berdansa, dan Reyna tentu saja menggeleng karena suasana hatinya yang sedang tidak enak. “Nggak turun?” tanya seorang pelayan bar laki-laki sambil menuangkan minuman rendah alkohol untuk Reyna yang duduk di depan meja bar. “Nggak,” jawab Reyna pendek, meneguk minuman dan memintanya lagi. “Kamu lagi nunggu seseorang?” “Nggak.” “Biasanya ada teman cewek tatoan di punggung yang nemenin kamu.” “Oh, dia lagi nggak mau diajak.” Reyna malas menjelaskan tentang ketidakhadiran Indy, perempuan yang ditanya pelayan bar. Indy memang selalu menemaninya ke klub sambil bersenang-senang, dan dia malam ini ingin menikmati kesendirian di tengah orang-orang yang bersenang-senang. “Tambah lagi, Boy.” “Haha, lagi ada problem nih?” “Menurut kamu?” Si Boy tertawa renyah, tidak sempat menjawab karena buru-buru pergi melayani pengunjung lain. Tiba-tiba ada seorang pria berkemeja kerja warna putih polos dengan kancing bagian d**a terbuka duduk di samping Reyna. Dia memanggil si Boy dan memesan minuman beralkohol tinggi. Reyna menoleh ke arahnya, tersenyum dalam hati, karena laki-laki itu sangat tampan dan berhidung mancung. Ah, Reyna, padahal sebelumnya dia ogah melirik laki-laki selain Iben, baginya Iben adalah laki-laki tertampan dan terbaik di dunia, tapi malam ini dia berpikir bahwa Iben adalah laki-laki terburuk dan terjahat. “Hai,” sapa pria itu, tersenyum ramah ke arah Reyna. “Hai,” balas Reyna dengan senyum tipisnya. Tampak pria itu terkesima melihat bibir tipis Reyna yang memikat. Dia menyodorkan tangan kanannya. “Tama,” ucapnya memperkenalkan diri. Reyna merasa harus membalas jabat tangan Tama. “Reyna.” Tama masih menggenggam erat tangan Reyna, seolah pernah mendengar nama itu, dan Reyna memandangnya heran dan bingung. “Reyna … apa?” tanya Tama. “Reyna A F,” jawab Reyna sekenanya, dia tidak mau menyebut nama lengkapnya. Tama manggut-manggut sebentar sebelum melepas tangan Reyna. “Kuliah?” “Baru wisuda tadi pagi.” “Ke bar sendirian setelah wisuda?” “Ya.” Tama terkekeh, “Baru kali ini aku bertemu cewek ke bar sendirian dan dia baru saja mengikuti wisuda.” “Ada yang aneh?” “Ya, aneh menurutku.” Tama meneguk satu gelas kecil minuman yang diberi si Boy barusan. “Harusnya setelah wisuda ramai-ramai ke bar, pesta dan turun ke lantai dansa. Bersenang-senang.” Reyna gusar mendengar kata-kata Tama yang membuatnya semakin kesal dan sedih, dia meminta Boy untuk menuangkan minuman untuknya. Tama melarang Boy, “Kasih minuman yang sama denganku.” Reyna berdecak kecil, tidak biasa minum kadar alkohol lebih tinggi. Tapi hasrat ingin mabuknya juga tinggi, dan dia pun mengangguk. “Kamu kerja di mana?” tanya Reyna, melirik jam tangan milyaran di pergelangan tangan Tama, menebak Tama yang memiliki jabatan yang lumayan tinggi di sebuah perusahaan. Tama berpikir sebelum menjawab, “Kerja … di kantor.” Reyna tertawa renyah, jawaban Tama mengundang tawanya. “Ketawa,” decak Tama. Reyna masih tertawa. “Tawa orang sedih,” ucap Tama sinis. Tawa Reyna mereda. “Ya.” “Coba aku tebak masalahmu. Hm … pacar?” Reyna mengangguk, wajahnya berubah murung. “Pasti selingkuh.” Reyna menghela napas panjang. Tama menyerahkan satu gelas minuman lagi untuk Reyna dan Reyna meminumnya. “Aku melihatnya telanjang dengan wanita itu,” ujar Reyna menggeram amarah, memegang gelas kecilnya kuat-kuat. “Aku melihatnya menindih wanita itu dan keduanya mengerang, berpelukan, berciuman, mereka berhenti saat aku berteriak.” Mata Reyna berkilat, bayangan Iben yang sedang berhubungan badan dengan perempuan lain di apartemennya sangat jelas di benaknya, dan dia masih bisa mengingat wajah perempuan bertubuh sintal itu. Reyna minum lagi dan lagi. “So sad.” “Kamu … punya masalah?” Tama terkekeh, “Tidak seburuk masalahmu. Aku ditinggal pergi tanpa izin.” “Istrimu?” “Aku belum menikah.” “Pacar.” “Ya.” Reyna mengamati bahu bidang Tama. “Laki-laki?” “Fu*k.” Reyna tertawa lepas, mengira Tama penyuka sesama jenis. Tapi, Tama tampaknya nyaman berada di dekat Reyna yang ceplas ceplos dan santai. Baru kali ini dia langsung betah berbicara dengan perempuan yang baru saja dia kenal. Biasanya dia cepat merasa bosan lalu melangkah pergi. Reyna masih tertawa. “Dia pergi lama, akan kembali tahun depan. Lalu aku yang dipaksa menikah dengan wanita pilihan keluargaku, dan papaku yang sedang sakit keras. What the he**. Jangan dengarkan cerita sampahku.” Reyna tertawa lepas, minuman yang dia minum sudah membuatnya sedikit demi sedikit mabuk. Tama meneguk minumannya lagi dan lagi. “Anggi—“ “Anjing?” “Anggi. Haha, kamu jahat sekali merubah nama pacarku.” “Aku tidak merubahnya, aku kira kamu mengumpat.” “Lalu kenapa kamu mengulang?“ “Aku ingin memastikan pendengaranku.” “Haha, kamu brengsek.” “Kamu … Anjing!” Tama melirik sinis Reyna, sedikit tersinggung dengan ucapan Reyna, dan Reyna yang mengumpat keras. Dia tahu Reyna sudah mabuk, dan dia yang masih bertahan. Tapi, Tama menambah minumannya lagi. “Masukkan ke billku, Boy,” ujarnya ke Boy. Boy mengangguk, dan dia menambah minuman untuk keduanya. “Bilang sekali lagi, Reyna.” “Bilang apa?” “Tadi itu … apa ya … anjing.” “Ya, kamu anjing!” umpat Reyna keras. Dia mengusap-usap wajahnya, entah kenapa dia melihat wajah Tama seperti wajah Iben. Tentu saja dia semangat mengumpat, mengingat perbuatan Iben yang menjengkelkan. Tama yang setengah mabuk, tidak membalas umpatan Reyna ke dirinya. Dia diam dan pikirannya entah ke mana. Cukup lama dia memandang wajah Reyna, dan terkekeh pelan. “Hahaha. Kenapa kamu? Ditinggal pacar? Sama aku saja. Haha,” ujar Reyna yang tidak bisa menguasai diri. “Ya, sama kamu.” Tama menambah minumannya dua cangkir sekaligus, lalu tanpa ragu mencium bibir Reyna. Tanpa disangka Reyna membalasnya dengan lumatan bibir. “Oooh. Aku bebas. Bebaskan aku dari masalah ini.” Tama sudah mabuk sekarang, dia kembali melumat bibir Reyna, dan Reyna semangat membalasnya. Lidah keduanya sama-sama berebut masuk ke dalam mulut lawan, menjalin dan saling menghisap. “Aku pesan kamar, Boy,” ujar Tama yang teler. Boy mengangguk, lalu dia mengetik di komputer di depannya, dan mengangguk ke arah Tama, pertanda urusan pemesanan kamar sudah selesai. Tama mengangkut tubuh Reyna di atas punggungnya dan membawanya masuk ke dalam kamar hotel yang menyatu dengan ruang klub. Dentuman musik sayup-sayu terdengar saat Tama sudah berada di depan sebuah pintu kamar. “Mau apa kamu, Woy!” “Mau bersenang-senang.” Tama menurunkan tubuh Reyna ke atas tempat tidur, kembali menjejal leher Reyna dengan lidahnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD