Bab 12. Kaget Indy

1068 Words
Saat mobil menjauh dari pandangan, Judith yang bersembunyi di balik pohon besar, melangkah mendekati Iben yang terduduk lesu di pinggir jalan. Langkahnya tidak lagi terseok-seok. “Ada apa, Ben?” “Aku nggak tau. Mereka melarang aku menemui Reyna dan mengancamku.” Judith melempar pandangannya ke jalanan, masih tidak percaya dengan kejadian yang menimpa mereka berdua barusan. “Kamu kenal mereka siapa?” tanya Judith dengan wajah herannya. “Mana aku tau.” “Orang suruhan papa Reyna?” Iben berdecak, menggeleng tidak percaya. Meskipun dia tahu hubungan asmaranya dengan Reyna selama ini tidak pernah mendapat persetujuan dari papa dan mama Reyna, tapi dia tidak pernah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti barusan. Mereka terkesan membiarkan Reyna bersamanya, dan tidak mau tahu urusan pribadi Reyna. Dia tidak yakin orang-orang yang mengancamnya adalah suruhan orang tua Reyna. Judith mengulurkan tangannya ke arah Iben dan Iben menyambutnya. Kemudian, Iben kembali mengendarai motornya dengan pikiran yang terus bertanya-tanya. *** Mengusir rasa penasarannya, Iben menghubungi Indy, mengira Indy yang mungkin saja tahu siapa yang telah menyerangnya dan mengancamnya untuk tidak mendekati Reyna. Namun, panggilannya tidak digubris Indy. Iben pun mengirim pesan, yakin Indy pasti akan membalas panggilannya. Iben : Aku baru dari rumah Reyna, dan aku diancam orang nggak dikenal setelah menemui Reyna. Benar saja, ponselnya langsung berbunyi beberapa saat kemudian. “Yang benar. Ben?” “Astaga, masa aku bohong sih?” “Hah? Gimana aku percaya kamu, kamu saja sudah bohongi dia pake bilang acara sakit, nggak taunya malah selingkuh. Itu kebohongan besar!” “Oke, oke … yang itu memang aku bohong. Tapi aku benar-benar diserang orang dan mereka mengancamku. Mereka naik mobil sedan hitam, aku masih ingat wajah orang yang mengancam, ada baret di pipinya.” “Kayaknya nggak mungkin suruhan papa Reyna, Ben.” “Aku juga berpikiran seperti itu, papa Reyna nggak mungkin terlibat kegiatan bau-bau mafia seperti itu.” Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. “Sebaiknya kamu nggak usah temui Reyna lagi. Untuk saat ini aku nggak bisa menebak siapa. Hm … lagi pula kamu sudah melakukan kesalahan fatal. Kamu nggak bisa memaksanya lagi.” Iben berdecak penuh penyesalan, dalam hati mengakui kesalahannya. Seandainya dia tidak menuruti keinginan Judith, lalu tetap menghadiri wisuda Reyna, akan lain ceritanya dan dia sekarang masih tetap bersama Reyna, juga bisa bersenang-senang dengan Judith. Tapi, semua sudah terjadi dan dia tidak bisa memperbaiki kesalahannya. *** Ini pertama kalinya Indy mendengar kabar dari Iben yang mendapat kesulitan dan ancaman setelah pulang menemui Reyna, dan dia jadi bertanya-tanya. Dia tahu bahwa kedua orangtua Reyna tidak pernah menyukai Iben, sama seperti pendapatnya. Tapi mereka terkesan membiarkan, sampai Reyna sendiri yang menyadarinya bahwa Iben bukan laki-laki yang baik untuk menjadi pasangan. Akan tetapi, Indy yakin papa Reyna tidak sampai mengupah orang untuk mengancam Iben, apalagi sampai hampir menyelekainya. Papa dan mama Reyna adalah orang-orang yang berpendidikan dan jauh dari kehidupan keras para mafia kelas atas. “Ada apa lagi dengan kamu, Rey?” decak Indy, mulai khawatir, karena dia tidak bisa menghubungi sahabatnya itu. Indy memutuskan nekat pergi ke rumah Reyna sore itu juga. *** Indy menepikan mobilnya di depan pagar rumah Reyna sambil memastikan keadaan sekitar. Setelah yakin, dia ke luar dari mobil dan menemui penjaga rumah Reyna yang dia kenal. “Oh, saya ke dalam sebentar, Mbak Indy.” “Pak Sudin, tunggu.” Pak Sudin membalikkan badan dan mendekati Indy. “Ya, Mbak?” “Tadi emang Iben datang ke sini?” Pak Sudin agak kaget mendengar pertanyaan Indy. “Ya, datang sama cewek bule, pas non Reyna baru pulang dari kantor.” “Oh.” Indy manggut-manggut, Iben tidak bohong. Dia memilih berdiri menunggu di halaman depan rumah Reyna, membiarkan pak Sudin memanggil Reyna yang berada di dalam rumah. Indy yakin Iben datang ke rumah Reyna bersama selingkuhannya, yang tidak dia kenal. Tak lama kemudian, Reyna muncul dari dalam rumahnya dan duduk di bangku teras depan rumah, sambil menunggu Indy mendekatinya. Wajahnya menunjukkan keseriusan yang mengundang rasa penasaran Indy. “Sorry ganggu waktu kamu, Rey. Aku tau kamu pasti capek habis kerja.” Indy duduk di samping Reyna, mengamati wajah Reyna dengan perasaan was-was. “Ok, aku tadi dihubungi Iben.” “Kamu bilang sama dia aku nggak cinta dia lagi dan jangan temui aku.” “Ya, aku sudah bilang begitu, Rey. Kamu tau, ‘kan selama ini aku nggak suka kamu sama dia. Aku selalu dukung kamu dan nggak mau kamu terjerat cinta penuh toksik dengan dia. Nggak ada untungnya dan bahkan kamu yang rugi,” ketus Indy. “Dia datang ke sini sama selingkuhannya, minta maaf dan ingin kembali lagi kepadaku.” Indy memiringkan bibirnya, menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan apa yang Iben lakukan. “Dia sakit, Rey.” “Ya, dan aku usir dia. Dia sujud-sujud di hadapanku sambil menangis, dan aku tahu itu air mata buaya.” Indy menepuk-nepuk pundak Reyna, bangga akan keputusan sahabatnya itu. “Dia tadi menghubungiku, dia bilang dia dikuti orang yang nggak dikenal sampai gerbang depan, orang itu mengancamnya, agar tidak menemuimu lagi.” Reyna mendelik heran, dahinya mengernyit menatap Indy tidak percaya. “Dan kamu percaya dia?” Indy mengerutkan bibirnya, dia juga tidak tahu kenapa dia mempercayai Iben. “Aku … nggak tau kenapa. Lagi pula kamu bikin aku kepikiran, Rey. Kamu susah dihubungi.” Reyna menghela napas panjang, wajahnya berubah seolah memikirkan sesuatu, dan dia mulai percaya kata-kata Indy barusan, bahwa Iben yang memang diancam, dan dia tahu siapa dalangnya. Indy diam-diam memperhatikan Reyna, dan dia curiga bahwa sahabatnya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Dia memegang tangan Reyna erat-erat, berkata dengan pelan, “Rey. Ada apa sama kamu? Kamu cerita dong, jangan dipendam sendiri. Seberat itukah masalah kamu?” Pandangan Reyna kosong ke depan, dia bingung harus bercerita atau tidak. “Lusa aku akan menikah,” gumam Reyna lirih. “Ha?” Indy mendadak gemetar. “Reyna?” desahnya tidak percaya. Reyna mengatur emosinya pelan-pelan. “Oke, oke. Maaf, Rey. Aku nggak mau membuat kamu bingung. Aku nggak mau kamu bertambah resah—“ “Aku akan menikah dengan Dewangga Tamawijaya.” Indy menatap Reyna antara percaya dan tidak percaya, setelahnya dia tertawa lepas, bahagia karena sepertinya Reyna akan terlepas dari jeratan cinta toksik Iben. Akan tetapi, tentu saja dia ingin mendapat penjelasan dari Reyna. Bagaimana Reyna bisa menikah dengan petinggi Tamawijaya yang dikenal memiliki kehidupan kelas atas dan keras akan persaingan bisnis. “Pernikahan kontrak.” Wajah Indy mendadak murung. “Reyna?” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD