Di rumah Mertua

1667 Words
“Saya terima nikah dan kawinnya Adila Humaira binti Almarhum Rozaq Rizqi dengan mas kawin dua belas juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,” ucap seorang lelaki dengan setelan jas yang senada dengan pasangan pengantinnya. Rasanya lega, telah menyelesaikan ijab qobul tanpa harus diulang-ulang. Hatinya berucap syukur mendengar suara serempak dari para saksi yang mengucapkan kata ‘Sah’. Adila Humaira, perempuan yang dia nikahi turut tersenyum, menyambut tangan suaminya begitu semua selesai mengamini do’a yang dipanjatkan penghulu dalam acara sakral itu. Akhirnya, setelah melewati banyak aral melintang, kini Ilham dan Dela resmi menjadi suami istri. “Kamu cantik banget, Sayang,” puji Ilham dengan senyum manisnya. Mencuri kesempatan untuk berbisik di telinga perempuan yang sudah sah menjadi istrinya dengan tersenyum bahagia. Keduanya kini duduk anggun di atas singgasana ratu dan raja sehari. Bahagia, itulah yang saat ini meliputi hati keduanya. Mendapatkan pujian dari suaminya, Dela tersenyum canggung. Pipinya bersemu merah bagai kepiting rebus. “Kamu juga ganteng, kok." Tak mau kalah, Dela balas memuji suaminya. Diakuinya bahwa sekarang Ilham jauh lebih cerah wajahnya dibandingkan hari-hari biasanya. Entah karena dia sedang bahagia, atau karena sudah di make over. Yang pasti, Dela akui bahwa Mas Ilhamnya memang tampan dan lebih cerah wajahnya. “Nanti aja, liat-liatannya. Masih banyak tamu, nih,” kelakar Luna, sahabat baik Ilham sekaligus bawahannya di kantor tempat dia bekerja. Luna tiba-tiba saja sudah ada di depan mereka. Padahal, sejak tadi para tamu sibuk dengan makanan yang ada. Dela dan Ilham reflek menoleh bersamaan. Keduanya tertawa malu-malu. “Selamat, ya,” ucap Luna lagi saat dia berada tepat di depan Dela. Dia menyalami Dela, lalu kemudian Ilham bergantian. Tak terasa, resepsi yang digelar dengan konsep sederhana itu telah selesai. Alhamdulillah ... Meski tak mewah seperti pernikahan pada umumnya, tapi tak ada raut sedih diantara semua yang hadir di sini, terutama di wajah kedua pengantin kita yang ganteng dan cantik. “Akhirnya ... Kita sah menjadi suami istri, aku senang sekali,” ucap Ilham saat mereka sudah sampai di kamar hotel yang disediakan oleh EO pernikahannya. Ilham memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Dela yang kini turut merebahkan diri di kasur pengantin kamar mereka. “Kenapa kita mesti ke sini dulu, sih? Kenapa kita ga langsung ke rumah kita?” Dela masih saja membahas keinginannya untuk tinggal terpisah di rumah yang Ilham beli sebagai hadiah pernikahan untuk dirinya. “Sudah adat di sini begini, Sayang.” Ilham dengan sabar memberi pengertian kepada istrinya yang entah kenapa selalu saja masih menolak untuk tinggal semalam di rumah orang tuanya. Ya, rencananya ... Setelah cekout dari hotel, Ilham akan memawa Dela untuk menginap di rumah orangtuanya, orang tua Ilham. Tapi beginilah reaksi Dela, tampak tak suka dan selalu mencoba untuk tidak perlu mengikuti adat. Dela bangkit dengan menampakkan wajah kesal, dia duduk di depan cermin sembari melepaskan satu persatu aksesoris pengantin yang bertengger di kepalaku, tanpa peduli pada Ilham yang saat ini menatapnya heran. Kenapa, sih? Orang tuaku, kan juga orang tuamu sekarang, Dela? Ilham tak habis pikir, dikiranya Dela tak mau menerima orang tuanya. Seingatnya, hanya sekali saja Dela pernah ke rumah ini, ke rumah tempat Ilham tinggal dan tumbuh besar bersama kedua orangtuanya. Ilham bukan tipikal lelaki yang pemaksa. Justru sebisa mungkin, dia akan selalu menuruti semua keinginan Dela, bahkan dari saat mereka masih pacaran dulu, hingga setelah tiga bulan pacaran, dia memutuskan untuk mengikat Dela ke jenjang yang lebih serius, yaitu pertunangan dan sekarang, Pernikahan. Dela masih saja seperti dulu, terlihat kesal dan gelisah saat harus ikut tinggal walau sementara di rumah Ilham, suaminya. Ilham tadinya akan langsung membawa Dela ke rumah yang sudah dia beli, tapi ibunya memberitahu, bahwa adat istiadat dalam keluarga haruslah dijaga. Pasangan pengantin yang baru menikah harus tinggal di rumah si suami walau hanya semalam. Ah, Ilham harus bisa membujuk Dela untuk mengalah tinggal di rumahnya sementara waktu. Dela mau tidak mau menurutinya, dengan syarat hanya semalam. “Iya, hanya semalam.” Ilham memperjelas dan menyetujui dengan diikuti senyum tulus mendengar Istrinya bersedia menurutinya. Tapi, meski sudah ada kesepakatan hanya semalam, tetap saja Dela merasa was was dan hatinya menjadi tak karuan. Dia menolak turun untuk sekedar malam, hingga dengan sangat terpaksa, Ilham membawakan sepiring nasi yang sudah lengkap dengan lauk pauknya ke kamar untuk istri tercintanya. Dela barusaja selesai mandi. Merebahkan dirinya di kasur empuk milik suaminya yang sama sekali tak membuat dia merasa tenang. Huft ... Seharusnya dia merasa sangat bahagia, bukan? Itulah yang dia dengar dari teman sesama guru yang mereka ceritakan betapa bahagianya saat menjadi pengantin baru. Tapi kenapa Dela tidak merasa demikian? Pikirannya kalut, bahkan kacau karena harus bergumul dengan ketakutan yang tak bisa hilang dari pikirannya. Namun pada akhirnya, dia ikut tertidur setelah mendengar Ilham mendengkur di sisinya. **** Pagi yang sedikit menjengkelkan bagi Dela, sebab tiba-tiba Ilham menghujaninya dengan ciuman padahal Dela masih ingin melanjutkan tidur. Matanya enggan terbuka, seperti ada lem perekat yang membuatnya sangat malas beranjak dari sana. "Ayo siap-siap. Ibu dan bapak udah nungguin kita." Shit, akhirnya tiba juga waktunya. Dengan malas, Dela bangkit dan menuju kamar mandi. Sementara Ilham terpaksa harus menahan hajat ingin menyusuri lekuk tubuh Dela yang terdapat nikmat tiada tara kata yang sudah berpengalaman. Kini, keduanya tengah berada dalam perjalanan pulang. Mobil berjalan mengikuti arus jalanan kota yang sedikit padat, tidak pelan namun juga tidak kencang. Terbilang normal sebab biasanya jam segini, kota Jakarta sudah macet. Dela sengaja tidur lagi sebab tak ingin nanti saat sampai di rumah mertuanya, malah disambut dengan mulut Bu ibu yang seringkali hanya membuatnya badmood. Tidur adalah solusi menurutnya. Dan rupanya itu benar. Saat tiba di rumahnya, sudah banyak kerabat Ilham menunggu dengan wajah berseri. Ilham tentu tak kan tega membangunkan Dela. Meski semalam mereka belum melakukan apa-apa, tapi Ilham begitu sangat pengertian dengan membiarkan isrinya tetap tidur. Dia bahkan menggendong Dela, membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelahnya, Ilham menyelimuti Dela dan langsung keluar lagi untuk berbincang-bincang dengan kerabatnya yang kata ibu akan pulang kembali ke kampung sore ini. Tentu diantara mereka menanyakan keberadaan sang besan, tapi beruntung Ilham pandai bicara sehingga kerabat yang tadinya bertanya-tanya hanya manggut-manggut meski dalam hati sedikit menyoraki. Dela yang sebenarnya terbangun saat Ilham menggendongnya ke kamar kini bangkit. Huft ... Nggak mungkin kalau dia tidur seharian. Bisa pegel semua badannya. Meski malas, Dela pun keluar. Mengikuti arah pembicaraan dengan Bu ibu kerabat suaminya yang ngobrol ngalur ngidul tak jelas. Hingga pada akhirnya, Bu ibu, pak bapak dan semua kerabat Ilham berpamitan karena mobil travel yang akan mengangkut mereka sudah tiba. Akhirnya ... Dela tersenyum, menyalami mereka satu persatu. Setelah mobil menghilang dari pandangan, Dela langsung masuk lebih dulu ke kamarnya, lebih tepatnya kamar Ilham, suaminya. **** Ini sudah sedikit larut, Dela yang sekali lagi mengalah dan ikut makan malam bersama ke luar meski sebenarnya badannya terasa sangat lelah. Satu Minggu dia kurang istirahat. Mempersiapkan kebutuhannya juga Ilham dengan berkeliling mall Jakarta mencari segala macam keperluannya di rumah yang akan dia tinggali berdua dengan Ilham. Arkh ... Ternyata satu Minggu yang melelahkan itu membuat Dela ingin membayar hutang dengan rasa kantuk dan selalu ingin tidur berlama-lama. Dan sekarang, dengan perasaan yang tiba-tiba menyusup tak jelas dalam pikirannya, Dela berlari ke kamar. Dia perlu waktu sendiri tanpa mendengar ocehan ataupun pertanyaan seputar Ambu-nya di kampung. Krieet ... Pintu terbuka, Dela hampir loncat dan berlari kalau saja dia tidak melihat bahwa yang datang saat ini adalah Ilham, suaminya. “M_mas Ilham.” Suara yang jelas terdengar gemetar keluar dari mulut Dela. Dia meringkuk di atas kasur dengan keringat dingin yang membasahi keningnya. “Kamu kenapa, Sayang?” Ilham terheran dengan sikap istrinya. “Kamu sakit?” Ilham menyentuh kening istrinya setelah sebelumnya dia mengusap keringat yang ada di kening Dela. Dela menggeleng. “Ayo ke rumah kita aja, Mas.” Dela masih saja merengek dan meminta hal yang sama. Hey, ini belum semalam. Bisa tidak sih, kita tidur dan aku meminta hakku malam ini? Ingin rasanya Ilham berkata demikian, tapi dia tidak egois. Bahkan tidak ada kata seperti itu dalam kamus hidupnya, terlebih ketika menyangkut Adila Humaira, perempuan yang merupakan anak dari saudara neneknya. Perempuan yang dia cintai beberapa bulan setelah mendapatkan pesan terakhir dari sang Nenek. Ya, mereka dipertemukan saat Nenek Hindun meninggal, dan merupakan wasiat dari sang nenek, untuk menjaga dan melindungi Dela sebelum nenek Hindun meninggal. Nenek Hindun adalah nenek Ilham yang dari ibunya. Sedangkan Dela adalah anak dari saudara Nenek Hindun yang bernama Indun. Ilham sampai sekarang masih memanggil Indun dengan panggilan Nenek, sebab sudah terbiasa sejak kecil. Indun adalah ibu Dela. Dia sangat sulit mempunyai anak dan baru setelah berumur hampir menginjak usia lima puluh tahun, dia baru dikaruniai putri cantik, yaitu Adila Humaira. Itulah mengapa, Ilham lebih sering menuruti kemauan Dela daripada harus menuntut apa yang menjadi keinginannya sendiri. Karena pesan terakhir neneknya-lah, Ilham selalu mengutamakan kebahagiaan Dela dan pada akhirnya dia jatuh hati pada gadis itu dan sekarang menikahinya karena saling mencintai. Seperti saat ini, kalau bukan karena adat, sudah pasti Ilham akan membawa Dela keluar dan lalu tinggal di rumahnya yang baru. Dia gelisah saat tadi Dela menolak makan, tapi dengan tidak menyerah, Ilham membujuknya dengan penuh kesabaran hingga Dela mau makan dan akhirnya tertidur. Huft ... Akhirnya kamu tidur juga, Sayang. Ilham mengusap puncak kepala istrinya dan lalu menciumnya. Jujur, Ilham ingin lebih. Tapi baru dicium keningnya, Dela menggeliat dan menepis tangannya, membuat Ilham akhirnya menjauh dari tubuh Dela dengan perasaan kecewa. Kamu kenapa, sih, nggak mau banget tinggal di rumah ini? Ilham menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya. Menatap langit-langit kamarnya dengan memburu jawaban yang sampai detik ini tidak dia temukan sama sekali. Yang dia tahu, Dela selalu menolak ketika diajak mampir ke rumahnya. Dan bahkan, kalau masih bertunangan dulu, ketika di rumah Ilham ada acara penting, Dela pasti meminta maaf sebab tidak bisa datang karena urusan yang tak bisa dia tinggal. Entah urusan apa? Ilham tak pernah ingin bertanya. Bukan tak peduli, hanya saja dia lebih suka mengalah ketika menyangkut masalah Dela. Ah, sudahlah. Ilham tertidur setelah pikirannya lelah memikirkan sesuatu yang sejak dulu tidak dia mengerti akan sikap Dela. Apapun itu, Ilham bahagia karena Dela sudah menjadi miliknya seutuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD