Malam kelam 2

1094 Words
"Lu pegang tangannya," perintahnya. Sementara ia sendiri melanjutkan usaha membuka resleting celananya yang tetiba sempit sebab sesuatu di baliknya yang sudah mengeras sejak tadi. Memang selalu seperti ini setiap kali ia melihat anak tirinya. Berkat benda pusaka yang sudah menegang itu, membuatnya kesulitan membuka resleting celananya. Kesal tak kunjung kebuka, ia menyentaknya dengan keras. Dan dengan sekali hentakan, resleting itu terlepas juga. Tak hanya terlepas tapi berakhir di kata rusak sebab pengatur buka tutupnya sudah tak lagi berfungsi akibat slidernya yang sudah terlepas entah ke mana. Sekarang, tampaklah sebuah pisang Ambon besar dengan warna gelap milik lelaki itu. Ia mendekat dengan seringai menjijikkan di wajahnya. Dengan kedua tangan ia membuat kedua paha gadis itu terbuka, menampakkan sebuah kain tipis berwarna merah menyala di sana. "Tolong, Jangan!" Gadis itu hanya bisa menangis dan memohon agar dilepas. Tapi percuma, ia tak akan semudah itu dilepas sebelum nafsu bapak tirinya terpuaskan. Dengan sekali hentakan pengaman segitiga yang ia kenakan terlepas bahkan robek tak bersisa. "Lepasin aku, Pak." Sekali lagi ia memohon namun malah dijawab dengan kekehan dan tawa. Lucu sekali ketika ia mendengar anak tirinya memanggilnya pak. Sedangkan saat di rumah, ia sama sekali tak pernah menganggap keberadaannya. "Lepasin dia," ucapnya kepada kedua temannya. Hal itu membuat tangis si gadis mereda. "Tolong suruh mereka pergi, Pak. Lalu biarkan aku juga pergi dari sini," pintanya lagi. "Keluar kalian," titah lelaki itu pada dua temannya dengan mata menyipit penuh tipu muslihat. Lagi-lagi gadis itu merasa lega. Ia merasa kali ini bapak tirinya tidak sekejam biasanya. Kriieettt ... Ceklek, Suara pintu ditutup dan dikunci dari luar. Hal itu membuat raut gadis itu berubah panik seketika. Tapi ia terlambat menyadari bahwa sekarang ia sudah tak punya kesempatan untuk kabur lagi. Terlebih kini bapak tirinya sudah siaga dengan tubuh tanpa busana. "Jangan, Pak ...." Gadis itu beringsut mundur namun langkah tegap bapak tirinya mampu memangkas jarak sekian centi hingga tubuh gadis itu membentur dinding di belakangnya. Sraak ... Ditariknya kaki gadis itu hingga ia berada pada posisi telentang, dengan sekali hentakan, paha gadis itu ia buka. Tampaklah gua kecil yang menjadi candu untuknya. Kalau di rumah, ia tak punya kesempatan bermain-main sebab takut dengan kemunculan istrinya. Tapi di sini, ia bisa menikmati permainan ini sesukanya. Kedua tangan gadis itu mencoba mendorong kepalanya yang hendak masuk diantara kedua pahanya. Dan hal itu membuat sebuah ide muncul di kepala lelaki itu. Srat ... Hijab hijau tosca yang dia kenakan ditarik paksa lalu dijadikan tali untuk mengikat kedua tangannya. "Dengan begini, kamu tidak akan bisa menggangguku." Cuih ... Gadis itu meludah, ia sudah muak. Percuma berontak karena ia tahu akhirnya tubuhnya lah yang akan menjadi korban kekerasan bapak tirinya. Dengan sebelah tangan, lelaki itu mengusap wajahnya yang terdapat ludah gadis itu. Tanpa rasa jijik, justru ludah di tangannya dia jilat. "Dasar b******n! Pergi dari rumahku, jauhi ibuku. Kamu hanya benalu yang membuat hidup ... Emmppp ...." Sumpah serapah yang ingin dia ucapkan harus terhenti sebab sekarang mulutnya disumpal dengan kain segitiga miliknya sendiri. "Di rumah kamu diam karena takut ibumu sakit hati, tapi di sini aku tidak punya alat untuk bisa membungkam mulutmu selain itu." "Emmmppp ...." Ia tak bisa lagi bicara, tangannya tak bisa untuk memberontak, sementara kakinya dipegang kuat dengan posisi terbuka. "Diam atau benda ini akan aku masukkan sekalian ke dalam punyamu," ancam lelaki itu, mengeluarkan sebuah belati kecil yang baru ia temukan di dekat kepala gadis itu. Sungguh surga dunia saat ini bagi lelaki itu. Ia bisa bebas menikmati tubuh anak tirinya yang selalu berhasil membuat senjata pusakanya terbangun dan tegak. "Kalau di rumah, aku tak punya kesempatan untuk ini, slep ... slep ...." Lidahnya begitu lihai mencumbu pucuk yang timbul diantara rerimbunan kecil di bawah gadis itu. Gadis itu menangis, ia takut belati itu dimasukkan ke dalam miliknya. Terbayang wajah Ambu yang selalu tidak percaya ketika ia memberitahu kelakuan suaminya. Puas bermain dengan pucuk berimba, lelaki itu lantas merobek paksa kemeja putih yang dikenakan gadis itu. Dengan rakus ia melahap gundukan kenyal di atasnya. Gadis itu menangis, sungguh malang nasibnya. "Kamu menikmatinya kan, Sayang?" Tangan kasar lelaki itu membingkai wajah gadis yang kini basah oleh air mata. Pucuk satunya dia kecup dan dia hisap dengan rakus sementara yang satunya ia remas dengan kasar nan brutal. Sangat nikmat. Harusnya ... Setiap malam ia tunggu gadis kecilnya ini di pos, jadi libidonya bisa tersalurkan tanpa harus keluar uang. Kini, sudah saatnya masuk di acara inti. Dengan sekali hentakan, pusaka tumpulnya sudah berhasil masuk dan mencetak gol. Sebab ini sudah yang ke sekian kali setelah cukup lama ia tidak mencumbu anak tirinya. Erangan keluar dari mulut lelaki itu saat senjatanya menemukan sarang sempit yang memberi sensasi diurut plus-plus. Gadis itu terisak tanpa bisa berbuat apa-apa, terlebih saat salah satu temannya yang tadi pingsan kini sadar dan meminta ikut dalam permainan gila bapaknya. Ini gila. Aku bisa gila. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala saat bapak tirinya justru menyetujui permintaan temannya. Sakit, Tuhan .... Gadis itu merasa kepalanya berdenyut lalu pandangannya gelap. Namun hal itu justru membuat dua lelaki itu bebas berbuat sesuka mereka. Puas dengan berbagai pose, pada akhirnya senjata pusakanya menyemburkan lava yang menjadi bukti betapa nikmat malam panas yang ia lalui. Meski lelah, lelaki itu menyempatkan diri mengecek nadi gadis yang sejak tadi tak bergerak itu. Masih hidup. "Cepet panggil Mamat sama Dulla," titahnya pada temannya yang sekarang sibuk memakai kembali pakaiannya karena lebih dulu nyerah. Tak lama, dua orang yang dipanggil masuk dan menuntaskan hajat yang sebenarnya sejak tadi meledak-ledak saat mendengar erangan dua temannya. Mereka bebas dengan kegilaan mereka sebab gubuk yang mereka tempati berada di tengah sawah yang saat malam begini tak ada sesiapapun di sini. Dua orang yang ikut menyicip nikmat lubang anal tiri temannya, mengerang dan mendesah bersama. Membuat lelaki yang sebelumnya sudah lemas itu kembali semangat dengan nafsu dan birahinya. Kasihan sekali gadis itu. "Cepatlah. Aku tak sabar ingin ronde kedua." Bunyi penyatuan di tengah sawah itu bak ciplokan pada air. Sebab milik gadis itu sudah basah oleh lava dua orang yang sebelumnya sudah menggagahinya. Digilir empat orang dengan satu diantaranya yang mengambil jatah dua ronde, tak serta merta membuat gadis itu mati seperti dalam film. Ya, kalo mati ntar ganti genre jadi horor dong, wkwk. Gadis itu justru terbangun dengan baju ganti yang seolah sudah dipersiapkan untuknya. Ia terbangun dengan sakit di sekujur tubuhnya. Dan lebih daripada itu, ia merasa sangat kotor, lahir dan batin. Gadis itu menangis, tergugu memeluk lututnya dengan masih tanpa busana. "Cepat pakai pakaian itu atau keburu ada warga yang datang ke sawah dan menemukan kamu dalam keadaan seperti ini." Itu suara yang detik ini semakin ia benci berkali-kali lipat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD