SATU

1572 Words
Mendiang Mama pernah berkata, “Cinta itu datang ketika kamu merasa tenggelam dalam tatapan matanya yang tulus, tapi di waktu yang sama kamu merasa didukung untuk terbang bebas. Cinta itu datang ketika kamu merasa aman menangis lemah di pelukannya, tapi di waktu yang sama kamu tidak merasa takut menunjukkan kekuatanmu.” Dengan menepuk tanganku lembut, Mama yang terbaring lemah di tempat tidur melanjutkan kata-katanya, “Mama yakin suatu saat Phoebe akan bertemu dengan laki-laki yang akan melihat kamu sebagai sebuah berlian yang akan dia jaga seumur hidupnya.” Aku seperti ditarik paksa menghadapi kenyataan. Mana mungkin ada laki-laki seperti itu? Rasanya sukar percaya ada laki-laki yang mau menerima diriku apa adanya. Pekerjaan saja aku belum punya, apalagi prestasi dan kelebihan yang bisa kubanggakan. Sekarang ini, aku cuma ingin berfokus untuk wawancara kerja pertamaku. Riuh rendah dari jalanan seakan tahu detak jantungku yang semakin cepat dan tak beraturan. Suara klakson mobil, derum motor, dan teriakan petugas parkir seakan membersamai kegugupan yang memuncak dalam diriku. Aku mencengkeram tali tasku sembari menatap gedung tinggi yang ada di hadapan. Tanpa diperintah, tangan kiriku mengusap dan merapikan blazer hitam yang kukenakan. Aku menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Kamu bisa,” bisikku berusaha menenangkan diri. Sekali lagi aku mengembuskan napas, kali ini lebih keras, berharap sedikit menghempas gugup yang masih menguasai. Lalu aku melangkah yakin menuju pintu utama. Orang-orang berlalu-lalang. Langkah-langkah tergesa memenuhi lobi gedung. Resepsionis yang berjaga di balik konter menawarkan senyum terpaksa ketika berkata, “Interviu di lantai 20. KTP bisa diambil ketika selesai nanti.” Dia menyodorkan lanyard bertuliskan “TAMU” yang segera kukalungkan di leher. Sikapnya yang sedikit dingin itu sungguh tidak membantu, membuatku makin gelisah. Belum lagi embusan pendingin ruangan yang membuatku bergidik. Segera saja aku menuju ke lift yang ditunjukkan oleh resepsionis tadi. Ada antrian panjang dan padat di hadapan dua pintu lift yang masih tertutup. Begitu salah satu terbuka, rombongan itu berdesakan ingin masuk. Aku melirik jam tangan, mendapati masih ada 45 menit sebelum jam interviu. Tak ingin bersesak ria di dalam sana, kuputuskan menunggu gerombolan itu menipis. Begitu tak ada lagi orang yang mengantre, aku menekan tombol naik dan menanti pintu terbuka sembari terus mengatur napas. Dari sudut mata, aku melihat bayangan yang setengah berlari dari pintu utama. Aku melirik ke arah itu dan melihat seorang laki-laki bertubuh tegap dengan banyak bawaan yang menghambat langkahnya. Ting! Pintu lift terbuka. Sekali lagi aku melirik dan mendapati jarak yang cukup jauh sebelum laki-laki itu tiba di depan pintu lift. Ragu, aku memutuskan untuk masuk ke dalam lift. Namun, entah apa yang merasukiku, jariku memencet tombol yang membuat pintu lift tetap terbuka. Kasihan juga bila laki-laki itu terlambat hanya karena lama menunggu lift. Benar saja. Beberapa detik kemudian, laki-laki itu sampai di depan pintu lift yang masih terbuka. Napasnya terengah dan dia meletakkan tas serta dua kardus berukuran sedang di lantai. Rambut tebalnya sedikit berantakan. Ada jas dan dasi yang tersampis di lengan kanannya. “Perlu bantuan, Pak?” tawarku. Tak menunggu jawaban, aku melangkah dan meraih sebuah kardus dan memindahkannya ke dalam lift. Laki-laki itu mengangkat tangannya, seakan memberi tanda bahwa dia bisa memindahkan sisa barang miliknya. “Lantai berapa, Pak?” tanyaku ketika pintu lift sudah tertutup. Setengah terbata, di tengah usahanya mengatur napas, laki-laki itu menjawab, “Lantai 25. Terima kasih.” Aku membalasnya dengan senyum dan anggukan, sembari menekan angka 25. Aku tak berani lagi menatapnya. Rasanya tidak sopan saja menatap seorang yang tidak dikenal lama-lama. Walaupun, aku harus mengakui, laki-laki ini punya pesona yang tak mudah diabaikan. Rasanya aku ingin mengetok kepalaku ini. Bukankah pagi tadi aku sudah mengingatkan diri bahwa sekarang pekerjaan adalah fokus utamaku? Lagipula, tidak mungkin laki-laki akan tertarik pada perempuan sederhana seperti aku. “Pegawai baru?” Suara bariton itu memecah keheningan di dalam lift. Aku melirik dan menemukan laki-laki itu sedang memasang dasi, menggunakan dinding lift sebagai cermin. Aku berdeham pelan. “Masih akan wawancara, Pak. Bapak juga?” Duh, pertanyaan bodoh! Dari penampilannya saja, aku bisa menebak kalau laki-laki ini tidak pantas menjadi pegawai baru seperti diriku. Kemeja putihnya yang tampak mahal bersanding dengan dasi abu-abu motif garis yang aku tahu bukan berasal dari toko online. Belum lagi jas hitam yang kini terjepit di siku kanan tangan laki-laki itu. Sepatunya tersemir rapi. Lagi-lagi bukan jenis sepatu yang mudah didapatkan di department store yang ada hampir di setiap mall. Berdiri di samping laki-laki ini sudah cukup membuatku merasa seperti pelayan di cafe yang melayani tamu prioritas. Bagai bumi dan langit. Seperti remah rengginang dan menu utama fine dining. Tawa renyah lolos dari mulut laki-laki itu. “Kamu bisa baca pikiran orang ya? Ini memang hari pertama saya di kantor ini.” Aku tersenyum kecut. Mungkin, laki-laki ini hanya bersikap baik saja. Untung denting lift memberi tanda telah tiba di lantai tujuanku. “Mari, saya duluan, Pak,” pamitku sopan. Laki-laki itu tersenyum. Dengan dasi yang sudah terpasang rapi, dia mengulurkan tangan memberi tanda menyilakan aku melangkah keluar dari lift. Dan ketika pintu lift tertutup, aku masih menangkap bayang gerakan tangkas laki-laki itu mengenakan jas hitamnya. Gagah, berwibawa, dan sopan. Kurang apa lagi coba? Aku yang kurang beruntung. Aku menertawakan pikiran konyolku dan memutuskan untuk melangkah menuju ruang interviu. Ah, tak buruk juga. Perjumpaan sejenak dengan laki-laki itu membuatku sedikit lupa akan kegugupan menghadapi wawancara tahap akhir yang ada di depan mata. Barang kali, ini pertanda bahwa hariku akan berjalan lebih baik. Semoga. – “Yang terakhir….” Pak Rudi, salah satu yang tadi mewawancara kami, sedang membacakan nama-nama calon pegawai yang lolos proses panjang yang sudah kami lewati hari ini. Setelah wawancara satu per satu dengan kepala HRD perusahaan dan beberapa supervisor, kami menghadapi focussed group discussion, dan kemudian diterjunkan dalam simulasi berkelompok. Jarum jam di dinding sudah menunjuk di angka 3. Entah dengan peserta lain, aku sudah sangat kelelahan. Dari 20 peserta wawancara yang duduk dalam formasi setengah lingkaran ini, sudah ada 9 nama yang dipanggil tanda mereka dinilai sebagai yang paling cocok menjadi karyawan yang diinginkan perusahaan. Tinggal 1 nama lagi. Dan Pak Rudi justru menoleh ke sisi tangan kanannya, jauh dari aku yang duduk di ujung sebelah kirinya. “Phoebe Rusli!” Sontak aku menengadah dan menemukan Pak Rudi menatapku dengan senyum. Di sampingku duduk Kevin, salah satu peserta wawancara yang sudah dinyatakan lolos. Dia menyerukan kata selamat sembari tersenyum lebar. “Wah, kita sama-sama diterima. Selamat, Phoebe!” Kevin mengulurkan tangan yang segera kusambut. Suara tegas Pak Rudi menyela pembicaraan kami. Tak menyangka juga, setelah diterima, esok kami sudah harus melapor ke kantor untuk memulai masa percobaan selama tiga bulan. Berbagai aturan dan imbauan disampaikan dengan jelas oleh Pak Rudi, hingga akhirnya kami dibubarkan di pukul 3.30. “Sampai ketemu besok ya, Vin. Semoga proses training dan probation lancar jaya,” kataku ramah sembari berdiri dan membereskan barang bawaanku. “Semoga kita bisa betah di kantor ini ya. Kata teman-teman gue yang kerja di sini, atmosfer kerjanya sangat membangun dan jauh dari politik-politik kotor. Yang paling penting, perusahaan ini cukup royal dengan tunjangan dan fasilitasnya.” Kevin menyeringai. Kami berjalan berdampingan menuju lift. “Ini sih pengalaman pertama gue di korporat. Dan memang gue berencana kalau diterima, gak pengen pindah-pindah terus. Semoga bisa betah,” sahutku sopan. Kami berpisah ketika lift sampai di lantai dasar. Lobi gedung ini tampak lengang. Aku memutuskan untuk duduk sejenak di sofa lobi, berselancar di gawaiku untuk mencari tempat makan terdekat. Siang tadi, aku sengaja melewatkan makan siang, karena khawatir dengan kondisi gugup seperti ini perutku malah berulah. Tak ada satu pun rekomendasi tempat makan yang menarik. Aku menghela napas dan memutuskan untuk pulang saja. Aku sedang menukarkan tanda pengenal dan menunggu resepsionis mengembalikan KTP, ketika suara bariton yang familier terdengar tepat di belakangku. “Sudah selesai wawancaranya?” “Eh, Pak…” kata-kataku terhenti. Aku bingung hendak menjawab apa. Laki-laki itu menyodorkan tanda pengenal dan mengambil KTP yang disodorkan oleh resepsionis yang bertugas. “Kok diam aja? Was it a good news or bad news?” Dari jarak sedekat ini, aku bisa mencium parfum mahal yang samar berasal dari tubuh jangkung laki-laki ini. Keuntungan bekerja di kantor tertutup adalah penampilan yang masih terlihat segar, walaupun kepala sudah kusut karena berbagai tugas yang harus dikerjakan. Aku menelan ludah dan memberanikan diri sedikit menengadah menatap laki-laki yang kini berada di sampingku. “Oh, saya … saya diterima, Pak.” Laki-laki itu tersenyum sambil manggut-manggut. “Bapak sendiri, bagaimana hari pertama kerjanya?” Aku bukan sedang kepo, hanya berusaha sopan dan membalas perhatian si bapak yang menanyakan hasil wawancara. “Not bad buat hari pertama. Not so good juga sebenarnya. Tapi, terima kasih tadi kamu sudah menolong saya. Paling tidak, saya tidak terlambat di hari pertama bekerja.” Ingin menghindar dari percakapan yang tidak tahu ke mana arahnya ini, aku segera berpamitan dan setengah berlari ke arah jalan utama. Untungnya tak lama kemudian, angkot yang kutunggu tiba. Aku segera naik dan menatap ke arah gedung tinggi itu. Dan sekelebat, aku melihat bayangan laki-laki itu berdiri di depan pintu utama. Mungkin karena kelaparan dan kelelahan, aku seakan melihat dia menatap ke arahku. Ya, pasti itu hanya pemikiranku saja. Aku harus fokus bekerja dan membangun hidupku. Pintu hatiku akan kujaga tertap tertutup rapat. Kalau laki-laki yang seharusnya menjagaku saja gagal melakukan tanggung jawabnya, apa yang bisa kuharapkan dari laki-laki yang tidak pernah mengenal diriku? Saat ini, yang harus mendapat perhatian penuh dan cinta utuh dariku adalah diriku sendiri. Ini waktunya untuk aku menggapai cita-cita dan mewujudkan mimpi yang selama ini harus tertunda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD